Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proyek Besar Netha
Senja turun perlahan, membasuh langit dengan warna jingga keemasan. Di balkon lantai dua, angin sore berembus pelan, membelai wajah bulat Netha yang berdiri diam menatap langit.
Tubuhnya besar, penuh daging, dan jujur saja, masih asing baginya.
“Ya ampun...” gumamnya sambil menggelengkan kepala.
“Netha yang satu ini benar-benar keterlaluan. Rumah segede ini ditelantarkan dan tak di hias. Jika di renovasi pasti rumah ini akan lebih indah. Bagaimana dengan konsep modern, ala hotel mewah?”
Baru sehari ini ia masuk ke tubuh Netha yang baru. Nama boleh sama, tapi hidup mereka jauh berbeda. Kalau dulu tubuhnya ramping dan cekatan, sekarang setiap langkah terasa seperti menenteng karung beras. Tapi anehnya, tak ada rasa sesal. Ia malah tertawa kecil melihat betapa lucunya tubuhnya saat ini terpantul di kaca jendela.
“Ya Tuhan... Ini paha atau bantal leher?” gumamnya geli, menepuk paha kanan yang mengintip dari balik daster ungu longgar.
“Setidaknya wajah ini masih mulus. Nggak ada jerawat, kulit putih bersih, masih bisa di rawat.” Netha memiringkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih seksama.
“Kalau gemuknya hilang, aku pasti akan kelihatan lebih cantik. Tapi sepertinya aku akan jadi montok meskipun nanti tubuh gemuk ini hilang. Pasti akan sexy bukan?”
Ia tersenyum tipis. “Baiklah, mulai besok pagi aku harus diet! Berat badan ini harus turun. Semangat menurunkan berat badan.”
Tapi pikiran serius segera datang mengusir tawanya.
Wajah Sean kembali terlintas di benaknya, pria yang katanya suami. Mungkin dalam dunia ini, ia memang suaminya, tapi bagi Netha yang baru saja menyeberang ke tubuh ini... semua masih absurd. Namun satu hal yang pasti, Sean sepertinya bukan pria biasa.
“Kalau cinta cuma diucap tanpa ada kontrak, ya itu namanya janji manis berlapis debu,” gumamnya pelan, menirukan peribahasa yang pernah ia dengar di dunia lamanya.
Ia memeluk tubuhnya sendiri, lebih karena dingin angin sore, lebih banyak lagi karena pikirannya yang bercabang. Bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap Sean? Apalagi terhadap dua anak kembar yang memanggilnya Mama dengan suara nyaring penuh cinta?
“Mereka manis sekali... Tapi ya, mengurus anak kembar itu bukan kerja sambilan. Capeknya dobel, rempongnya tiga kali lipat. Masa iya aku ngurus mereka full-time tanpa kompensasi?” bibirnya merengut, menghela napas berat.
Matanya menatap langit yang mulai gelap. Ia tersenyum tipis, sinis.
“Kalau di novel atau sinetron, biasanya si istri bijak bikin perjanjian, kontrak pernikahan. Hm... bisa juga. Anggap saja Sean bos besar, dan aku karyawati yang profesional. Ada tugas, ada upah. Kan kerja juga ini. Hati boleh main, tapi jangan sampai rugi,” bisiknya, sambil berjalan.
Netha keluar dari kamarnya, lalu beranjak ke ruang kerja Sean.
HUK!!! HUK!!!
“Ya ampun, wanita ini benar-benar menjijikkan, ini sudah berapa lama tempat ini nggak dibersihkan?”
Ia menyapu setiap sudut ruangan, membuka tirai dan jendela besar itu.
Peluh mulai membasahi dahinya, Ia mengipas ngipaskan dirinya dengan buku yang berada di atas meja.
Setelah beberapa saat duduk dan menenangkan napasnya.
Ia mencari sebuah kertas kosong, dan bulpoin.
Seketika, muncul pikiran iseng yang perlahan tumbuh jadi ide serius.
“Berapa juta yang pantas aku minta untuk setiap kali mengurus acara Sean sebagai seorang komandan? Menghadiri pesta, jadi pendamping atau saat tugas ibu-ibu persit, atau sekadar jadi ibu untuk menemani si kembar? Toh, ini semua juga pekerjaan. Anggap saja dia bos dan aku... karyawan,"
Ia terkekeh pelan.
“Ya, anggap saja ini kerja. Aku digaji untuk jadi istri dan ibu profesional,” gumamnya. “Toh, dalam hidup... tak ada makan siang gratis. Bahkan cinta pun, kalau hanya satu pihak yang berjuang, bisa bikin perut lapar dan hati koyak.”
Ia segera menulis kontrak perjanjian pernikahan, Netha tersenyum. Lucu? Mungkin. Tapi inilah caranya menjaga logika tetap berjalan di tengah badai perasaan yang belum tentu.
Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Netha selesai menulis perjanjian kontrak itu, ia bernafas lega. Tubuhnya yang gemuk membuatnya agak susah untuk duduk dan berdiri. Ia mencoba untuk istirahat sejenak.
Setelah beberapa menit beristirahat, Netha memutuskan kembali ke kamar membawa kertas perjanjian itu, lalu ke dalam kamar nya untuk mandi.
“Aku harus bersih-bersih lagi. Badan ini lengket banget,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia membersihkan diri dengan teliti. Air dingin membuat tubuhnya lebih segar.
Setelah mandi, kaki nya melangkah menuju ke Walk in closet, dengan menimang-nimang pakaian yang akan dipakai nya untuk menemui Sean nanti, berbicara berdua tentang surat perjanjian kontrak pernikahan itu.
“Ya Tuhan, bajunya ini-ini lagi.” Netha menyisir lemari dengan mata malas. Akhirnya, ia mengambil satu kaos yang agak longgar dan celana panjang kain berwarna cokelat. “Ini lebih mending dibandingkan baju-baju lainnya.”
Netha menarik napas dalam, mengambil ponsel nya yang ia letakkan di meja dekat ranjangnya.
Ia pergi ke aplikasi catatan, dan membuat daftar apa saja yang akan dilakukannya di masa depan.
Salah satu utamanya membuat tubuhnya turun, diet, olahraga dan melakukan aktivitas untuk membakar kalori.
Membuat anak-anak lebih dekat dengannya.
Membeli dekorasi rumah, untuk mempercantik rumahnya.
Membuka usaha rumahan.
Menjadi ibu-ibu persit, tapi ia hapus kembali. “Sepertinya ini masih belum!”
Membeli semua perlengkapan dan kebutuhan untuk dirinya sendiri, sandang, pangan, papan.
menatap refleksinya sambil berbisik, “Aku bisa melalui semua ini. Kalau memang aku harus hidup di tubuh ini, aku akan membuatnya lebih baik. Aku akan jadi lebih cantik, lebih sehat, dan lebih bahagia. Mulai besok, rencana diet dan perubahanku dimulai.”
Dengan semangat baru, Netha melangkah keluar kamar. Netha menuruni anak tangga ke lantai satu. Setiap langkah terasa berat, bukan karena ragu, tapi karena tubuhnya memang tak seenteng dulu. Tangannya memegangi sisi perut yang bergelambir, sambil mengatur napas. Baru saja kakinya menginjak anak tangga terakhir, sebuah aroma harum menusuk hidungnya, bau ayam panggang dan nasi hangat.
Di hadapannya, tampak sosok pria jangkung dengan pakaian santai membawa dua kantong plastik berisi makanan. Langkahnya tenang seperti biasa, wajahnya dingin tapi ada senyum samar yang hanya bisa dikenali oleh orang yang pernah mencintainya.
“Kau baru datang?” tanya Netha dengan nada datar.
Sean mengangguk, lalu menjawab sambil mengangkat kantong makanan, “Hem. Ayo makan. Mana anak-anak?”
“Dikamar,” sahut Netha sembari menoleh sekilas ke dalam rumah. “Panggil saja, nanti juga datang sendiri.”
Sean mengangguk dan melangkah masuk.
“El, Al! Ayo turun, Papa bawa makanan!” serunya dari depan tangga.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kecil menuruni tangga. Dua bocah kembar berambut acak-acakan muncul sambil berlarian ke arah ruang makan.
“Papa!” seru mereka bersamaan.
“Ayo makan. Papa sudah belikan makanan. Kalian belum makan, kan?” tanya Sean, meletakkan kantong di atas meja.
“Benar sekali!” keluh Al sambil menghela napas panjang dan duduk di kursinya.
“Sudah, cepat kemari. Papa kalian sudah repot-repot membawa makanan, jangan terlalu ribut,” tegur Netha sambil duduk pelan di kursi yang berderit.
Mereka pun duduk bersama di meja makan. Makanan dikeluarkan dari kantong satu per satu, ayam panggang, nasi hangat, salad segar, dan puding cokelat kecil untuk si kembar.
“Kau membelikan untukku juga, bukan?” tanya Netha sambil menatap tajam.
“Em..”" jawab Sean singkat, agak pelan.
“Am... em... am... em...” gumam Netha dengan nada menyindir.
“Makanlah.”
Mereka makan dengan tenang, bahkan bisa dibilang khidmat.
“Aku akan pergi!” ucap Sean tiba-tiba membuat suasana makan hening.
konfilk dlm rmhtga bukan selalu org ketiga..Karya terbaik thoor👍🏻👍🏻
Banyak pelajaran berharga dlm mnjalani sbuah rumahtangga,bukan sekedar cinta atopun harta...
Tetap semangat dlm berkarya💪🏻💪🏻