Aini dan Brandon saling mencintai. Cinta mereka bersemi di pesantren tempat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, perbedaan kasta di antara keduanya membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bapak Aini yang matre, sengaja menjodohkan Aini yang statusnya merupakan kembang desa, dengan anak juragan tanah setempat. Padahal, sebenarnya Brandon anak orang kaya. Orang tua Brandon yang memiliki pesantren Brandon dan Aini menuntut ilmu.
Hingga setelah sederet kesalahpahaman yang terjadi, dan delapan tahun telah berlalu, takdir kembali menemukan mereka dalam status berbeda. Aini yang hijrah ke Jakarta menjadi ART, justru bekerja di rumah orang tua Brandon. Selain mengetahui fakta bahwa ternyata Brandon merupakan anak dari orang kaya raya, Aini juga mengetahui bahwa pemuda yang statusnya masih menjadi kekasihnya itu akan menikah dengan wanita lain.
Sementara yang Brandon tahu, Aini sudah menikah, hingga akhirnya Brandon juga menyerah dan mau-mau saja dijodohkan dengan seorang perempuan cantik dari kerabat orang tuanya. Namun kini, di hadapannya, Aini justru mendadak hadir sebagai pembantu baru di rumahnya.
Kisah mereka memang belum usai. Namun masalahnya, selain bibit, bebet, sekaligus bobot mereka sangat berbeda, Tuan Muda yang dulu dianggap miskin juga sedang menjalani persiapan pernikahan di tahap akhir.
Lantas, bagaimana akhir dari kisah mereka? Akankah Brandon mengambil keputusan sulit yaitu meninggalkan persiapan pernikahannya untuk Aini yang masih sangat ia cintai? Atau, justru Aini yang akan diam-diam pergi mengakhiri kisah mereka yang terhalang kasta?
💗Merupakan bagian dari novel : Mempelai Pengganti Ketua Mafia Buta yang 💗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 : Orang Benar-Benar Kaya dan Orang Mis—kin yang Terlilit Hutang
Ketika akhirnya Aini dan pak Santoso sampai di dapur, di sana ada pemandangan mencolok yang juga sudah langsung membuat jantung Aini berdegup lebih kencang.
Wanita bercadar warna pink salem di sana, dikata pak Santoso sebagai ibu Chole. Yang dengan kata lain, beliau adalah nyonya besar selaku ibu dari Brandon.
“Wah ... assalamualaikum? Namanya siapa?” ucap ibu Chole ramah bahkan manis, tak lama setelah pak Santoso mengenalkan Aini sebagai ART baru di sana.
“Sebentar-sebentar. Ibu cuci tangan dulu, ya. Habis masak sama bumbui ayam buat besok, diungkep dulu, jadi koto*r gini.”
Sikap ramah yang benar-benar hangat dari ibu Chole, membuat Aini sulit untuk percaya. Aini tak hanya menjadi merinding. Sebab ia juga sampai lemas, tak lama setelah pelukan hangat ibu Chole menyapa tubuhnya. Ibu Chole tetap memeluk Aini meski Aini berdalih kot*or sekaligus bau.
“Kot*or, bau, kata siapa? Enggak boleh gitu. Karena jika kamu di sini, berarti kita keluarga. Di sini, Ibu yang dituakan berarti ibarat ibu kamu juga meski Ibu bukan ibu yang melahirkan kamu. Sementara anak-anak ibu yang lebih dewasa maupun muda, itu juga ibarat saudara kamu. Termasuk semua yang kerja di sini, kita semua keluarga, ya?” lembut ibu Chole sembari menggenggam hangat kedua tangan kasar sekaligus kering milik Aini yang ia dapati perlahan berkeringat. Selain itu, kenyataan tangan Aini yang menjadi dingin, juga ia yakini karena ART baru di kediamannya itu terlalu tegang bahkan takut.
Kenyataan kini benar-benar membuat Aini tertamp*ar dengan apa yang sudah sang bapak lakukan kepada Brandon. Karena setelah sempat diusir mentah-mentah setelah Aini mengenalkan Brandon sebagai pacarnya, di kedatangan hari selanjutnya, sang bapak nekat mengguyur Brandon dengan air selokan perkampungan yang warnanya saja hitam pekat. Namun kini, Aini yang bahkan merasa bau pada dirinya sendiri, Aini yang jauh dari kata cantik atau setidaknya menarik, diperlakukan layaknya anak.
Padahal, keluarga Aini bukan keluarga mampu. Aini terlahir di keluarga yang terbilang mis*kin. Alasan Aini berakhir mondok pun lantaran Aini tak punya biaya untuk melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Sementara di pondok pesantren Aini mondok dan ternyata milik keluarga Brandon karena biaya di sana tergolong murah.
“S-saya benar-benar minta maaf, yah, Bu! Pokoknya maaf banget!” ucap Aini menangis tersedu-sedu karena masa lalu yang pernah membuat Brandon diperlakukan semena-mena oleh pak Safar.
Kenyataan Aini yang sampai menjadi berlutut, langsung membuat ibu Chole bingung. “Loh, kok kamu malah minta maaf, Ni? Memangnya kamu salah apa?”
Setelah pertemuan haru di sana, antara orang benar-benar kaya yaitu ibu Chole selaku wanita yang telah melahirkan Brandon, dengan orang misk*in yang sedang terlilit banyak hutang dan itu Aini, Aini dipersilahkan untuk membersihkan diri sekaligus istirahat.
Kamar Aini dan para ART lainnya ada di ruang belakang setelah dapur bersih milik keluarga Brandon. Kendati demikian, fasilitas untuk para ART terbilang mewah. Tak hanya ada kamar yang sampai ber—AC. Karena di depan sekaligus pinggir kamar juga ada taman lengkap dengan meja dan tempat duduk untuk bersantai.
Ibaratnya, fasilitas untuk ART di sana, setara dengan keadaan rumah orang paling kaya di desa Aini tinggal. “Di rumah Jaka saja enggak semewah ini,” batin Aini sudah langsung disambut hangat oleh para ART di sana yang jumlahnya ada dua belas orang dengan Aini. Kebetulan, Aini datang bertepatan dengan waktu istirahat sekaligus makan siang. Sementara sosok Jaka yang dimaksud ialah anak dari juragan tanah di desanya, dan dulu sempat akan menikahinya.
“Ini namanya ... janda, janda, janda, janda, dua bulan lagi mau nikah, ini ... ini baru calon janda ...,” jelas Santy yang paling heboh.
Awalnya, Aini tidak percaya ucapan Santy dan Aini pikir hanya bergurau. Namun ternyata, Santy tidak bohong. Mereka yang ada di sana kebanyakan menjadi janda di usia muda karena menjalani pernikahan dini. Yang mana, kebanyakan dari mereka menjadi janda karena korban perselingkuhan sekaligus mertua dakjal. Anak dari Farida yang kiranya berusia tiga tahun lebih muda dari Aini sampai ditahan oleh mertuanya.
“Terus, kamu sudah nikah apa belum, Ni? Apa mau nikah?” ucap Farida yang memang paling pendiam dari semuanya. Namun tampaknya, setelah Aini di sana, Aini akan menjadi sosok paling pendiam.
Aini refleks mesem sambil menggeleng. “Jadi tulang punggung bikin aku lupa buat nikah. Malahan, pekerjaan ibarat suami. Soalnya tanpa kerja, aku beneran enggak dapat nafkah! Oh iya, selain kerja di sini, aku juga kerja secara online. Jadi kalau aku sibuk pegang hape, asal bukan di jam kerja dan kerjaanku maupun kalian sudah beres, oke, kan?”
Balasan Aini langsung disambut hangat oleh semuanya khususnya oleh Santy. Namun mereka kompak, kerja di sana sangat berkah karena bos mereka sering memberi hadiah. Baik berupa makanan maupun barang. Malahan bagi yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, akan diajari untuk membeli rumah KPR. Jika yang mau. Namun delapan dari mereka sudah sama-sama memiliki rumah KPR dan sampai sekarang masih jalan setoran. Sisanya termasuk Aini belum punya karena memang belum bekerja ada lima tahun.
“Orang tua mas Brandon beneran berhati malaikat. Mereka enggak hanya berbagi, tapi juga berusaha mengangkat derajat pekerja mereka. Agar pekerja yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka mendapatkan kehidupan lebih layak. Namun, kenapa mas Brandon jadi bengis begitu? Bukankah harusnya dia bahagia, punya keluarga sebaik malaikat, calon istri pun secantik bidadari dan tampaknya, ... bibit, bebet, maupun bobotnya juga setara dengan mas Brandon?” pikir Aini yang benar-benar tidak berniat mengganggu Brandon lagi.
Aini sudah memulai untuk berdamai dengan kenyataan. Aini tak akan pernah berharap kepada Brandon lagi, meski alasannya bisa terlilit hutang karena ia memperjuangkan cintanya kepada Brandon. Ia menolak lamaran Jaka berulang kali, demi seorang Brandon yang kini justru sudah punya calon istri dan itu bukan dirinya.
“Ni, ... yok nyicil susun souvenir pernikahan mas Brandon dan non Tera,” ajak Santy yang didaulat tidur sek*amar dengan Aini.
Intinya karena Santy tipikal orang rame sekaligus kelewat ceria, setiap ada ART baru pasti tidurnya satu kamar dengan Santy agar orang baru itu lebih cepat merasa nyaman.
Aini tidak tahu, kenapa hatinya mendadak teriris, sementara kedua matanya menjadi menghangat sekaligus basah, hanya karena ia diajak untuk menyusun souvenir pernikahan Brandon dan Tera.
“Ayo, Mbak!” Lembut Aini sambil mengangguk-angguk sambil melepas mukenanya. Senyum lembut juga ia berikan kepada Santy yang sungguh jadi sumber kebahagiaannya di sana.
bahasanya juga mudah dicerna ada kesalahan dikit² dalam menyebut kan tokoh sih dimaklumi karena aku sendiri kalau suruh ngarang tulisan bahasanya juga masih nggak bisa berurutan