Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Julian tidak bisa menjawab. Karena Larasati benar. Semua orang selalu expect perempuan untuk jadi yang dewasa, yang mengalah, yang memaafkan—bahkan saat pria yang menghancurkan segalanya.
"Kak Lara," kata Julian akhirnya, suaranya penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Atas nama keluarga Narendra, aku minta maaf. Gavin tidak seharusnya lakukan ini. Dan aku... aku seharusnya lebih aware, seharusnya perhatikan—"
"Ini bukan salahmu," kata Larasati, melembut sedikit karena Julian tidak deserve amarahnya. "Kamu tidak bisa kontrol kakakmu. Tidak ada yang bisa. Gavin membuat pilihan sendiri. Dan sekarang dia harus hadapi konsekuensinya."
Julian mengangguk perlahan. "Apa... apa kakak benar-benar mau cerai? Tidak ada jalan lain?"
"Tidak ada," jawab Larasati tanpa ragu. "Lawyer-ku sudah draft petition. Minggu depan akan di-serve ke Gavin. Dan Jul—" dia tatap adik iparnya dengan tatapan serius, "—aku harap kamu tidak akan represent dia dalam case ini. Karena aku punya bukti yang akan menghancurkan dia. Dan aku tidak mau kamu terlibat dalam kehancuran itu."
"Aku tidak akan," kata Julian cepat. "Aku tidak bisa represent dia dalam case yang jelas-jelas dia yang salah. Aku akan refer dia ke lawyer lain. Tapi Kak Lara... tolong jangan terlalu keras dalam custody arrangement. Gavin salah sebagai suami, tapi dia... dia sayang Abi. Meski dia sering tidak ada, tapi dia sayang."
Larasati merasakan sesuatu yang lembut di dadanya—simpati untuk Julian yang terjebak di tengah keluarganya yang hancur. "Aku tidak akan ambil Abi sepenuhnya dari Gavin. Kecuali kalau Gavin yang fight dirty. Kalau dia mau supervised visitation dan ngaku kesalahannya, aku akan fair. Tapi kalau dia coba untuk manipulasi atau buat masalah... aku akan fight dengan segala yang aku punya."
Julian mengangguk, lalu diam cukup lama. "Aku harus pergi sekarang. Aku... aku harus bicara dengan Gavin."
"Dia di mana?"
"Hotel. Dia tidak mau ganggu Kiran—ironis ya, setelah semua ini dia masih peduli untuk tidak 'ganggu' selingkuhannya." Ada nada sarkastik di suara Julian yang membuat Larasati tahu: Julian marah pada kakaknya juga.
Julian pergi dengan janji untuk stay in touch—"bukan sebagai lawyer Gavin, tapi sebagai adik iparmu yang peduli."
Larasati duduk lagi di sofa, merasakan kelelahan yang baru—bukan fisik, tapi emosional. Setiap conversation tentang situasi ini menguras energi yang sudah hampir tidak tersisa.
Ponselnya berbunyi—pesan dari Ziva: _"Mbak, Abi tanya kenapa semalam tidak tidur di rumah. Aku bilang Mama ada urusan. Dia mau bicara sama Mama."_
Larasati merasakan dadanya sesak. Abimanyu. Anaknya yang tidak tahu apa-apa, yang dunianya akan terbalik dalam beberapa hari ke depan.
Dia balas: _"Aku akan jemput dia sekarang. Terima kasih, Vi."_
Tapi sebelum dia sempat bergerak, ada bunyi ketukan di pintu—keras, tidak sabar.
Larasati buka pintu dengan hati-hati, dan terkejut melihat Julian kembali—tapi kali ini wajahnya merah, napasnya cepat, dan ada sesuatu di matanya yang mengatakan ada yang terjadi.
"Jul? Ada apa? Kamu lupa sesuatu—"
"Aku baru dari hotel," potong Julian, suaranya gemetar dengan amarah yang barely terkendali. "Aku baru bicara dengan Gavin. Dan kakak tahu apa yang dia bilang?"
Larasati tidak menjawab—hanya menatap Julian dengan waspada.
"Dia bilang dia mau fight untuk custody penuh," lanjut Julian, melangkah masuk dengan gerakan yang agitated. "Dia bilang kakak 'tidak stabil' karena selingkuh dengan Reza. Dia bilang dia akan gunakan itu di court untuk prove kakak tidak fit jadi ibu!"
Darah Larasati mendidih. Jadi Gavin memang akan lakukan itu—bahkan setelah kemarin, setelah confrontation, setelah dia ketahuan. Dia masih akan fight dengan cara yang kotor.
"Dan aku—" Julian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, "—aku tidak tahan lagi. Aku bilang dia gila. Aku bilang dia yang menghancurkan keluarganya sendiri dan sekarang mau salahkan kakak? Aku bilang dia bajingan yang tidak punya hati nurani!"
"Julian—"
"Dan dia TERTAWA, Kak!" suara Julian naik sekarang, tidak bisa dikontrol lagi. "Dia tertawa dan bilang 'ini cuma bisnis, Jul. Ini cuma strategi untuk menang.' STRATEGI?! Ini bukan bisnis! Ini KELUARGA! Ini tentang Abi! Tentang kakak Lara yang sudah kasih dia segalanya!"
Julian berhenti, napasnya cepat, mata berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi karena amarah yang begitu besar sampai dia tidak tahu harus dikeluarkan bagaimana.
"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Larasati pelan, sudah bisa menebak jawabannya dari cara Julian berdiri—postur yang masih tegang, tangan yang masih mengepal.
"Aku... aku tidak tahan lagi," bisik Julian. "Aku yang selalu support dia. Aku yang selalu bela dia saat Papa bilang dia tidak bertanggung jawab. Aku yang selalu percaya dia pria baik yang cuma lagi banyak tekanan. Tapi ternyata dia... dia monster yang aku tidak kenal."
Julian menatap Larasati dengan mata yang penuh penyesalan dan amarah sekaligus. "Aku tampar dia, Kak. Aku tampar kakakku sendiri."
Larasati tersentak. "Kamu... kamu apa?"
"Aku tampar dia," ulang Julian, suaranya lebih keras sekarang, lebih final. "Keras. Sampai dia jatuh dari kursi. Dan aku bilang—aku bilang, 'kamu bego, Vin. Kamu hancurkan sendiri keluargamu. Kamu hancurkan perempuan terbaik yang pernah kamu punya. Dan untuk apa? Untuk selingkuhan yang tidak akan bertahan lebih dari setahun? Untuk ego kamu yang sakit? Kamu pikir kamu menang dengan cara kotor? Kamu sudah kalah sejak kamu pilih untuk selingkuh. Kamu sudah kalah sebagai suami, sebagai ayah, sebagai manusia.'"
Setiap kata keluar dengan amarah yang membuat suara Julian bergetar. Larasati bisa membayangkan scene itu—Julian yang selalu calm dan collected, yang selalu professional, kehilangan kontrol dan memukul kakaknya sendiri.
"Lalu apa yang dia katakan?" tanya Larasati, meski bagian dari dirinya tidak yakin ingin tahu jawabannya.
Julian tertawa pahit. "Dia tidak bilang apa-apa. Dia cuma duduk di lantai, tangan di pipinya yang merah, dan untuk pertama kalinya... untuk pertama kalinya aku lihat dia benar-benar realize apa yang dia lakukan. Tidak ada pembelaan. Tidak ada anger. Cuma... kehancuran. Cuma penyesalan yang terlambat."
Larasati merasakan sesuatu yang complicated di dadanya—bukan simpati untuk Gavin, tapi sesuatu yang lebih kompleks. Kepuasan pahit melihat pria yang menghancurkannya akhirnya merasakan sebagian kecil dari rasa sakit yang dia rasakan? Atau kesedihan melihat keluarga—bahkan yang sudah hancur—benar-benar implode dari dalam?
"Aku minta maaf, Kak," kata Julian, duduk di sofa dengan wajah di tangannya. "Aku minta maaf aku tidak bisa stop dia lebih awal. Aku minta maaf aku tidak lihat tanda-tandanya. Aku minta maaf kakak harus lewatin ini semua."
Larasati duduk di sebelahnya, tangan di bahu Julian—menawarkan comfort untuk pria yang lebih muda tapi sekarang menanggung beban sama beratnya.
"Ini bukan salahmu, Jul," bisik Larasati. "Kamu tidak bisa kontrol pilihan Gavin. Tidak ada yang bisa. Dia membuat keputusan sendiri. Dan sekarang dia hadapi konsekuensinya. Dan kalau dia mau fight dirty... dia akan tahu aku bisa fight lebih dirty dengan bukti yang aku punya."
Julian mengangkat kepala, menatapnya. "Kakak yakin kakak mau jalan sampai sejauh itu? Maksudku, perceraian sudah pasti. Tapi custody battle yang brutal... itu akan melelahkan. Untuk kakak. Untuk Abi."
"Aku akan lindungi Abi apapun yang terjadi," kata Larasati dengan conviction yang membuat Julian tidak bisa argue lagi. "Dan kalau itu berarti aku harus destroy reputasi Gavin di court, aku akan lakukan. Karena Abi pantas untuk tumbuh dengan orangtua yang honest, yang bertanggung jawab, yang tahu bedanya benar dan salah. Dan pria yang selingkuh selama bertahun-tahun lalu planning untuk manipulasi custody bukan tipe ayah yang aku mau untuk anakku."
Julian mengangguk perlahan, understanding. "Aku akan support kakak. Apapun yang kakak butuhkan. Referensi lawyer, testimony kalau perlu, apapun. Karena Gavin salah. Dan dia harus bayar."
Mereka duduk dalam keheningan yang berat—dua orang yang terluka oleh pria yang sama, dengan cara yang berbeda, mencoba untuk navigasi kehancuran yang tersisa.
Dan di hotel tidak jauh dari sana, Gavin Narendra duduk di lantai kamarnya dengan pipi yang masih menyengat dari tamparan adiknya, merasakan—untuk pertama kalinya—apa artinya benar-benar kehilangan kendali.
Kehilangan istrinya. Kehilangan anaknya. Kehilangan hormat adiknya. Kehilangan segalanya yang pernah dia anggap granted.
Dan di tengah kehilangan itu, satu pertanyaan menghantui:
Apa yang dia lakukan?
Dan kenapa dia tidak stop sebelum terlambat?
**Bersambung ke Bab 22