Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 PERTEMUAN RAHASIA
#
Café kecil di ujung jalan Dago, Bandung—bukan café instagrammable yang ramai anak muda, tapi tempat tua dengan cat mengelupas dan meja kayu yang sudah penuh ukiran nama-nama pengunjung dari puluhan tahun lalu. Tempat yang biasa dikunjungi mahasiswa tua atau pekerja kantoran yang cari wifi murah dan kopi yang tidak terlalu mahal. Tempat yang sempurna untuk pertemuan yang tidak ingin diingat siapapun.
Elang duduk di pojok paling belakang, punggung menghadap dinding—posisi yang Farrel ajarkan di penjara: *"Selalu duduk di mana kamu bisa lihat pintu tapi orang nggak bisa sneak up dari belakang."* Ia mengenakan hoodie abu-abu gelap dan kacamata hitam meskipun di dalam ruangan, terlihat seperti orang yang sedang menyembunyikan hangover atau identitas—atau keduanya.
Harris datang duluan, tepat jam tiga sore seperti yang dijadwalkan. Ia mengenakan casual—jeans hitam dan kemeja lengan panjang digulung sampai siku—tapi tetap terlihat seperti businessman yang sedang slumming it. Matanya scan ruangan dengan cepat sebelum menemukan Elang, berjalan mendekat dengan langkah yang confident tapi tidak terlalu menarik perhatian.
"Elang," ia duduk di seberang, tidak berjabat tangan—terlalu formal, terlalu obvious. "Tempat lo pilih... interesting. Aku nggak tau Bandung punya café sedingin ini."
"AC-nya rusak," Elang menjawab datar. "Owner terlalu pelit buat benerin. Tapi dia nggak peduli siapa yang datang dan nggak punya CCTV. Perfect."
Harris tersenyum tipis—senyum yang appreciate pragmatism. "Fair enough."
Stella datang lima menit kemudian dengan tas ransel besar dan wajah yang masih sedikit pucat—luka di pipinya sudah sembuh tapi bekasnya masih terlihat samar. Ia duduk di samping Elang dengan gerakan nervous, melirik sekeliling seperti mengharapkan ada orang Brian yang tiba-tiba muncul dari balik meja.
"Relax," Harris berkata dengan suara rendah. "Aku udah check—nggak ada tail. Kita aman."
"Untuk sekarang," Stella menjawab, mengeluarkan laptop dari tas. "Tapi Brian bukan bodoh. Dia pasti udah mulai connect the dots."
"Aku tau," Elang berkata. Ia mengulurkan HP barunya—yang keempat dalam sebulan terakhir—menunjukkan screenshot pesan threatening yang Brian kirim minggu lalu. "Dia tau aku di Jakarta waktu itu. Entah gimana. Mungkin ada informan, mungkin lucky guess. Tapi dia tau aku moving."
Harris membaca pesan itu dengan wajah yang mengeras. "Dia mention Anya. Itu... itu udah level desperate. Brian nggak pernah main kotor terang-terangan gini. Biasanya dia hire orang untuk dirty work."
"Which means," Stella menambahkan sambil membuka laptop, jari mengetik password dengan cepat, "dia udah cornered. Orang yang cornered itu unpredictable. Dangerous."
"Good," Elang berkata dengan suara yang flat—terlalu flat, tanpa infleksi, seperti orang yang sudah melewati batas emosi normal dan masuk ke numbness yang lebih gelap. "Aku mau dia desperate. Aku mau dia ngerasain gimana rasanya nggak bisa tidur karena takut. Aku mau—"
"Elang," Harris memotong dengan lembut tapi firm, "focus. Kita di sini bukan buat celebrate sadism. Kita di sini buat finalize strategi fase dua."
Elang menarik napas dalam—usaha visible untuk control diri—dan mengangguk. "Oke. Update."
Harris mengeluarkan tablet dari tas kerjanya, membuka file presentation yang clearly sudah dipersiapkan dengan detail. "Aku udah masuk. Officially, aku sekarang pemegang saham 18% Hartavira—naik dari 15% minggu lalu. Aku beli dari tiga angel investor yang panic selling setelah skandal rekaman. Brian belum curiga penuh, tapi dia mulai gelisah."
"Gimana kamu tau dia gelisah?" Elang bertanya.
"Karena dia invite aku makan siang kemarin," Harris tersenyum—predatory smile yang tidak hangat. "Katanya mau 'welcome new shareholder', tapi yang dia lakuin adalah interrogation sopan. Nanya dari mana aku dapet dana buat beli saham segitu banyak, kenapa aku interested sama Hartavira yang lagi bad press, apa aku punya connection dengan... dengan kamu."
Elang menegang. "Kamu jawab apa?"
"Aku bilang aku lihat opportunity. Hartavira fundamentalnya masih strong, skandal itu cuma temporary PR problem. Dan soal kamu—" Harris menatap Elang dengan mata tajam, "—aku bilang aku percaya kamu guilty. Aku bilang aku salah satu orang yang disappointed pas tau CEO yang pernah bantu aku ternyata koruptor."
Ada jeda. Stella melirik ke Elang dengan khawatir—takut kata-kata Harris akan trigger sesuatu. Tapi Elang hanya mengangguk pelan.
"Smart," katanya. "Kamu jual image yang dia mau percaya."
"Exactly. Dan dia buy it—setidaknya untuk sekarang. Yang penting, sekarang aku punya seat di table. Aku attend board meeting minggu depan. Aku dapet akses ke internal report, financial statement, project proposal." Harris swipe tablet, menampilkan dokumen. "Dan di situ aku nemuin something interesting."
Layar menampilkan proposal proyek—judul besar: **KALIMANTAN GREEN RESORT - Luxury Eco-Tourism Development**. Rendering mewah menunjukkan villa-villa dengan view hutan, infinity pool, spa, golf course.
"Brian lagi push proyek besar ini," Harris menjelaskan. "Investment 500 miliar. Partnership dengan konglomerat Malaysia. Target break even tiga tahun, profit projection lima tahun sekitar 200%. Di atas kertas, ini golden project."
"Tapi?" Elang melihat ada 'tapi' di nada Harris.
"Tapi," Harris swipe lagi, menampilkan peta, "lokasi proyeknya... problematic." Ia zoom ke area yang ditandai merah. "Ini area di pinggiran Taman Nasional Kutai. Secara teknis, land-nya private—dibeli dari local community dengan harga murah. Tapi actual development-nya..." Ia zoom lebih dekat, menunjukkan overlap antara area proyek dan area hutan lindung, "...akan ngrusak buffer zone taman nasional. Clearing hutan, ngrusak watershed, displacing wildlife."
Stella, yang selama ini diam, tiba-tiba berbicara dengan suara yang lebih keras dari biasa. "Aku udah research ini." Ia putar laptopnya, menampilkan dokumen Environmental Impact Assessment. "Dokumen EIA yang Brian submit ke pemerintah... itu manipulated. Mereka underreport biodiversity di area itu. Mereka nggak mention ada habitat orangutan. Mereka claim nggak ada indigenous community yang terdampak—padahal ada."
Elang membaca dokumen itu dengan mata yang mulai berbinar—bukan dengan kebahagiaan, tapi dengan sesuatu yang lebih gelap: kepuasan menemukan celah di armor musuh.
"Kalau ini exposed..." katanya pelan.
"Brian nggak cuma kehilangan proyek," Harris melanjutkan. "Dia kena criminal charges. Environmental crime di Indonesia sekarang nggak main-main—especially kalo involve protected area. Minimal dia ditahan sementara selama investigasi. Maximum... lima sampai sepuluh tahun penjara."
"Jeruji besi," Elang bergumam, jari mengepal di atas meja. "Dia akan ngerasain jeruji besi seperti aku."
Ada sesuatu di suaranya—sesuatu yang membuat Harris dan Stella bertukar pandang dengan worry. Bukan triumph yang sehat, bukan lega bahwa keadilan akan ditegakkan. Tapi obsession yang gelap, yang consume.
"Elang," Harris berkata hati-hati, seperti bicara pada orang yang berdiri di ujung tebing, "ini good news. Ini leverage yang kita butuhkan. Tapi aku mau kamu ingat: tujuan kita bukan cuma balas dendam. Tujuan kita adalah ambil balik perusahaan kamu, clear nama kamu, dan—"
"Dan destroy dia," Elang memotong, mata menatap Harris dengan intensitas yang membuat Harris—pria yang biasa deal dengan investor tough dan competitor brutal—sedikit uncomfortable. "Aku nggak cuma mau perusahaan balik. Aku nggak cuma mau nama bersih. Aku mau Brian ngerasain SEMUA yang aku rasain. Pengkhianatan. Kehilangan. Penjara. Dan yang paling penting—" suaranya turun menjadi bisikan yang somehow lebih menakutkan dari teriakan, "—aku mau dia tau bahwa dia kalah sama orang yang dia anggap udah mati."
Keheningan tegang mengisi meja mereka. Di latar belakang, suara blender café yang berisik dan obrolan pelanggan lain terdengar jauh dan tidak relevan.
Stella, dengan keberanian yang jelas butuh effort, meraih tangan Elang di atas meja. "Pak Elang," katanya lembut, "aku ngerti. Aku ngerti Bapak sakit. Tapi... tapi jangan sampe rasa sakit itu yang define Bapak. Jangan sampe dendam itu yang tersisa di akhir."
Elang menatap tangan kecil Stella yang menggenggam tangannya—tangan yang pernah luka karena kabur dari orang-orang Brian, tangan yang gemetar mengetik email bukti sambil takut mati. Gadis ini sudah korbanin banyak untuk dia. Dan dia bicara tentang... tentang apa? Healing? Forgiveness?
"Stella," suaranya keluar lebih lembut dari yang ia maksudkan, "lo nggak ngerti. Lo belum pernah kehilangan semua—"
"Aku kehilangan masa depan aku," Stella memotong, mata berkaca-kaca tapi suara steady. "Aku harusnya naik jabatan, harusnya punya karir bagus, harusnya aman. Sekarang aku buronan. Aku nggak bisa pulang ke Jakarta. Aku nggak bisa ketemu keluarga. Aku kehilangan banyak, Pak. Tapi aku pilih nggak biarkan kehilangan itu bikin aku jadi orang pahit. Karena kalo aku pahit... mereka menang. Mereka nggak cuma ngancurin hidup aku, tapi ngancurin jiwa aku."
Kata-kata itu menggantung di udara. Elang ingin argue, ingin bilang ini beda, ini lebih dalam, ini—tapi tenggorokannya tersumbat oleh sesuatu yang tidak bisa ia namakan.
Harris menutup tabletnya dengan pelan. "Look," katanya dengan suara yang practical, grounding, "ini bukan terapi session. Kita punya objective clear: destroy Brian secara legal, ambil Hartavira, clear nama Elang. Apakah di proses itu Elang nemu peace atau nggak—itu urusan Elang. Tapi—" ia menatap Elang dengan mata yang serious, "—aku perlu tau Elang masih bisa function strategic. Karena kalo Elang cuma driven sama blind rage, kita bakal lose. Brian itu smart. Dia ruthless. Dan dia sekarang desperate—yang bikin dia lebih dangerous."
"Aku bisa function," Elang menjawab cepat—terlalu cepat.
"Prove it," Harris challenge dengan lembut. "Fase dua: aku akan approach Brian dengan fake proposal. Aku bilang aku interested invest lebih di Kalimantan project. Aku minta detail lebih. Dan dalam proses itu, aku plant seeds of doubt—hint kecil tentang potential environmental issue, suggest dia hire independent assessor buat 'strengthen' proposal."
"Dia nggak akan hire independent assessor kalau dia tau assessmentnya fake," Elang berkata, otak mulai bekerja tactical lagi—good sign.
"Exactly. Jadi dia akan defensive. Dia akan try cover up lebih dalam. Dan setiap cover up adalah evidence baru." Harris tersenyum. "Kita nggak attack frontal. Kita bikin dia dig his own grave, then we push him in."
Stella membuka folder di laptopnya. "Aku punya contact di NGO lingkungan—WALHI. Mereka udah lama suspect ada illegal development di area Kalimantan tapi nggak punya proof. Kalo kita kasih mereka EIA documents yang asli vs yang disubmit Brian—dengan anonim, of course—mereka akan investigasi. Media akan pick up. Public pressure akan massive."
"Dan pas media frenzy lagi puncak," Harris melanjutkan, "aku as concerned shareholder akan demand internal audit. Board akan nggak punya choice—kalau mereka nggak audit, investor lain akan kabur. Audit akan nemuin discrepancy. Legal action akan follow. Brian akan ditahan. Dan pas dia di tahanan—" Harris menatap Elang, "—kita strike final: reveal semua bukti yang kita punya tentang dia menjebak kamu. At that point, public opinion udah turn, investor udah abandon ship, dan kita bisa acquire majority share dengan harga murah."
Rencana itu laid out dengan precision—beautiful dalam cold, calculated way. Elang mendengarkan dengan kepala mengangguk pelan, jari bergerak di atas meja seperti menghitung langkah catur.
"Timeline?" ia bertanya.
"Dua bulan," Harris menjawab. "Aku butuh establish trust dengan Brian dulu. Nggak bisa rush. Kalo terlalu cepat, dia smell trap."
"Dua bulan," Elang mengulang. Terdengar seperti selamanya dan sebentar sekaligus. "Oke. Do it."
Mereka membahas detail lebih lanjut—metode komunikasi yang aman, backup plan kalau Brian detect lebih cepat, cara protect Stella dan Anya kalau situation escalate. Satu jam berlalu tanpa terasa, café mulai sepi karena mendekati dinner time.
Ketika mereka selesai, berdiri untuk keluar satu per satu dengan interval lima menit—basic precaution—Harris menahan Elang sebentar dengan tangan di bahunya.
"Elang," ia berkata pelan, cukup rendah sehingga Stella yang sudah keluar duluan tidak dengar, "aku notice something. Mata lo... mata lo kosong, man. Bukan mata orang yang excited mau menang. Mata orang yang cuma hidup buat satu hal: destroy musuh. Dan aku khawatir... aku khawatir setelah Brian jatuh, lo nggak akan tau lagi kenapa lo masih hidup."
Elang menatap Harris lama—dua pria yang connected bukan melalui persahabatan mendalam, tapi melalui mutual benefit dan shared enemy. "Maybe," akhirnya ia menjawab dengan jujur yang brutal, "maybe aku emang nggak punya alasan lain. Maybe destroy Brian itu satu-satunya hal yang bikin aku bangun pagi."
"Then find something else," Harris berkata dengan urgency yang surprising. "Find something—someone—yang bikin hidup lo worth more than just revenge. Karena revenge itu empty calories, man. Mengenyangkan sebentar tapi nggak nourish."
Elang tidak menjawab. Ia hanya mengangguk—acknowledgment bukan agreement—dan keluar dari café ke malam Bandung yang dingin.
Perjalanan naik bus kembali ke Pangalengan terasa lebih lama dari biasanya. Elang duduk di kursi belakang, menatap jendela yang memantulkan wajahnya sendiri dengan latar kegelapan di luar. Kata-kata Harris bergema: *Find something yang bikin hidup lo worth more than just revenge.*
Dan tiba-tiba, tanpa warning, wajah Anya muncul di kepala—senyum polosnya, tangannya yang hangat menggenggam tangan Elang di teras malam itu, surat kecilnya dengan bunga edelweiss yang masih Elang simpan dengan hati-hati.
Sesuatu di dadanya yang sudah lama mati bergerak sedikit—cuma sedikit, tapi cukup untuk terasa.
Mungkin—hanya mungkin—ada sesuatu selain dendam yang bisa membuat hidup worth living.
Tapi untuk memikirkan itu, ia harus survive perang ini dulu. Dan perang baru saja memasuki fase paling dangerous.
---
**[Bersambung ke Bab
---
**