Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
Aroma parfum Jenara yang bercampur dengan keringat dingin dan gairah yang membara menyeruak memenuhi indra penciuman Gilbert. Pria itu, yang biasanya kaku dan dingin, kini terperangkap di bawah tubuh seorang wanita asing yang bertindak liar, mendominasi, dan sangat menuntut.
Jenara tidak memberi kesempatan Gilbert untuk bernapas. Tangannya bergerak cepat, mencengkeram dasi sutra yang melingkari leher Gilbert, lalu menariknya dengan paksa. Cekikan itu seharusnya menyakitkan, tetapi gairah yang memancar dari mata Jenara membuat rasa sakit itu terasa seperti peringatan berbahaya.
"Hari ini kamu sudah menjadi milikku!" desis Jenara, suaranya parau namun penuh otoritas.
Jenara kemudian menggerakkan wajahnya ke leher Gilbert, menenggelamkan diri di antara kerah kemeja yang sudah koyak sedikit. Bibirnya, yang terasa panas seperti arang, menorehkan tanda kepemilikan. Kissmark ungu kemerahan itu terbentuk di kulit leher Gilbert yang putih, terasa panas dan sedikit perih. Tindakan frontal Jenara itu menghantam kesadaran Gilbert, membangunkannya dari keterkejutan total.
Ciuman pertamaku.
Pikiran konyol itu melintas. Gilbert, yang menjalani hidupnya dengan penuh ketegasan dan keteraturan, yang bahkan tidak pernah berani mendekati wanita secara serius selain Alena, istri bossnya, kini dicuri ciuman pertamanya oleh wanita gila yang mendominasinya.
Secara refleks, Gilbert mencubit keras pahanya sendiri. Rasa sakit yang tajam dan nyata itu menjawab keraguannya. Ini bukan mimpi. Ini adalah kekacauan.
“Tunggu! Siapa kau? Lepaskan aku!” tuntut Gilbert, mencoba mendorong bahu Jenara.
Jenara mengabaikannya. Tangannya mulai menjelajahi bagian atas tubuh Gilbert yang sudah terbuka. Kemeja putih mahalnya robek di bagian kancing, memperlihatkan otot dada yang terbentuk sempurna,kotak-kotak simetris yang memang seperti milik seorang aktor drama kolosal Tiongkok yang sering Jenara tonton di waktu senggangnya.
Jenara meneguk ludah dengan kasar. Kehangatan yang menjalar di tubuhnya seakan tersalurkan pada setiap sentuhan. Perasaan terdesak itu kini menjadi tuntutan.
“Puaskan aku sekarang juga!” perintah Jenara, nada suaranya berubah dari mendominasi menjadi memohon yang mendesak.
Gilbert benar-benar terkejut. “Kau—”
Kalimat Gilbert terpotong saat bibir Jenara kembali membungkamnya. Ciuman itu lebih kasar, lebih menuntut dari sebelumnya, seolah Jenara ingin melahap seluruh oksigen dari paru-parunya.
Gilbert tidak suka didominasi. Sifatnya yang dingin, kaku, dan tegas tidak mengizinkannya menjadi pihak yang dikuasai. Dengan sisa kekuatan dan kendali yang ia miliki, Gilbert mengerahkan seluruh tenaganya dan membalikkan posisi.
Dalam sekejap, kini Gilbert berada di atas Jenara.
Posisi itu seharusnya memberinya kembali kendali, namun Jenara malah terkekeh kecil, tawa yang terdengar memabukkan dan liar. Tanpa jeda, Jenara mengalungkan kedua tangannya di leher Gilbert, menarik pria itu ke bawah sehingga wajah mereka berjarak tak lebih dari beberapa sentimeter.
“Kenapa? Kau tidak suka di bawah, Tuan?” tantang Jenara, tatapannya yang penuh hasrat kini semakin dekat.
Di jarak sedekat ini, Gilbert bisa melihat jelas kondisi Jenara. Matanya sayu, napasnya menderu tak beraturan, dan bibirnya sedikit bengkak karena ciuman yang terlalu intens. Ia melihat gurat penderitaan di balik gairah yang memuncak.
Gilbert adalah pria yang teliti. Ia melihat kesamaan ciri-ciri ini dengan yang pernah ia pelajari dari seminar pertolongan pertama di kantornya.
“Sialan,” gumam Gilbert. "Kau... kau diberi obat?"
Jenara tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dengan ekspresi memohon yang sangat tulus. Mata tajam seorang CEO itu kini meredup, dipenuhi air mata gairah yang menyakitkan.
“Please, bantu aku…” Jenara merintih pelan, suaranya menyentuh sisi kemanusiaan Gilbert. “Aku sudah tidak tahan. Ah… sakit…”
Jenara mendorong tubuhnya ke tubuh Gilbert, gerakan yang menyiratkan keputusasaan.
“Akan aku berikan apa pun, yang penting bantu aku tuntaskan. Cepat, aku tidak punya banyak waktu!”
Jenara kemudian mencoba mendorong tubuh Gilbert menjauh. “Kamu terlalu lama!”
Gilbert terperangah. Baru kali ini ia bertemu wanita se—frontal ini. Ia hanya bisa pasrah, dan satu pertanyaan besar menghantamnya. Haruskah aku melepaskan keperjakaanku pada wanita yang tidak aku kenal?
Ia tidak pernah berpikir hari itu akan datang. Ia selalu membayangkan momen itu dengan Alena, meskipun hubungan mereka tidak pernah lebih dari sebatas pertemanan biasa.
Sementara Gilbert bergulat dengan dilema moral dan etika, tangan Jenara bergerak jauh lebih cepat.
Entah bagaimana, Jenara berhasil membuka kancing celana panjang Gilbert yang terbuat dari bahan wol eksklusif, lalu menariknya ke bawah. Yang tersisa hanyalah kain pelindung terakhir, sebuah celana dalam boxer yang sayangnya tidak bisa menyembunyikan reaksi tubuh alami Gilbert.
Jenara terkekeh liar, mata gairahnya menatap lurus ke bawah.
“Lihat, adik kecil sudah bangun,” goda Jenara, suaranya serak namun penuh kepuasan.
Wajah Gilbert seketika memerah, panas menjalar hingga ke telinga. Wanita ini benar-benar tidak memiliki batas. Ia frontal, liar, dan memalukan.
Seolah tak mau kalah, Jenara melepaskan blus sutra yang ia kenakan, menyisakan bra hitam yang melindungi ‘gunung kembarnya.’ Di mata Gilbert, ia bukan lagi seorang wanita yang kaku dan dingin, melainkan Venus yang sedang terbakar. Tubuhnya molek dan menggoda, membuat Gilbert sejenak terhipnotis.
Jenara memutuskan untuk mengambil kendali lagi. Ia menggeser tubuhnya sedikit ke atas, hingga dadanya menyentuh dada Gilbert yang berotot. Jari-jari lentiknya mulai menjelajahi punggung Gilbert, lalu turun perlahan ke pinggang, dan kembali lagi ke dada.
Sentuhan lembut yang memabukkan itu membuat pertahanan terakhir Gilbert runtuh.
Jenara mulai menciumi bagian dada Gilbert, menorehkan kissmark kedua, ketiga, hingga keempat. Sentuhan basah dan lembut itu merangsang titik sensitif pria itu, membangunkan hasrat yang telah lama tertidur di dalam dirinya. Darahnya mulai mengalir deras, memanaskan logikanya yang selalu dingin.
Jenara tahu ia berhasil. Ia bisa merasakan respons tubuh Gilbert yang kini mulai bergairah dan mengeras.
“Eeuuhhhhh…”
Gilbert mendesah. Bukan karena rasa sakit, tetapi karena kenikmatan yang menuntut lebih. Ia telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, tenggelam dalam lautan gairah Jenara.
Jenara tersenyum penuh kemenangan. “Panggil namaKu,” tuntut Jenara, suaranya kini selembut sutra. “Jenara!”
Ia ingin membuka kain pelindung terakhir Gilbert, namun kali ini, Gilbert menahannya. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Jenara.
Meskipun hasratnya memuncak, Gilbert masih memiliki setitik kesadaran terakhir.
“Apa kamu yakin… akan melakukannya denganku?” tanya Gilbert, napasnya tersengal. Tatapannya kini bukan lagi keterkejutan, tetapi sebuah pertanyaan serius yang memerlukan jawaban sadar.
Jenara, yang kini bergumul dengan sensasi menyakitkan dari obat itu, hanya bisa mengangguk cepat. Anggukan yang penuh kepastian. Ini adalah satu-satunya jalan keluar.
Mereka tidak lagi berbicara. Hanya ada alunan napas yang menderu, deru gairah yang membaurkan aroma dan keringat, dan bunyi desahan yang tertahan. Dengan anggukan itu, Jenara telah memberikan izin, dan Gilbert telah melepaskan keraguannya.
Gilbert menarik Jenara mendekat, bibirnya menemukan bibir Jenara lagi, kali ini bukan karena paksaan, tetapi karena tuntutan. Ciuman mereka menjadi semakin dalam, semakin menuntut, menghilangkan sekat antara dua orang asing yang terjebak dalam satu malam yang gila.
Mereka mulai masuk dalam permainan yang sesungguhnya. Permainan yang mengubah takdir keduanya.
Jenara merasakan sengatan tajam, sebuah rasa sakit dan kenikmatan yang datang bersamaan, diikuti oleh dorongan kuat yang membuatnya terkesiap. Tubuhnya merespons dengan kejut, kaku sesaat, lalu mencair sepenuhnya.
“Oh!” Jenara merintih, mendongak ke arah Gilbert, matanya yang berkabut kini memancarkan keterkejutan, bukan lagi hasrat yang membakar.
"Kau rupanya masih... " Jenara mengangguk pelan, kedua matanya berkaca-kaca.
Gilbert menatap wajah Jenara yang dipenuhi keringat dan gairah, lalu mengunci tatapan mata wanita itu. Dia melihat jiwanya yang rapuh, dan ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Di tengah keheningan, mereka tenggelam dalam kebersamaan yang mendalam, terperangkap dalam konsekuensi gairah semalam yang baru saja dimulai.