Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Tak Tik Sang Bungsu.
Peringatan itu menggantung di udara yang pengap dan berdebu, lebih dingin dari batu-batu di sekelilingnya. Sosok San Long ditelan kegelapan di ujung lorong, meninggalkan Swan Xin sendirian dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ia tidak bergerak, napasnya dangkal, peta pembantaian ayahnya seolah masih terbentang di depan matanya.
Hantu. Pria itu adalah hantu yang mempelajari tragedi keluarganya. Tapi...Kenapa?
Ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Tanpa ragu, Swan Xin berbalik dan melesat menuju jendela. Ia tidak punya waktu untuk berpikir, hanya insting yang mengambil alih. Ia meluncur turun dari dinding rambat dengan keheningan yang nyaris sempurna, kakinya mendarat di atas rumput lembap tanpa menimbulkan suara.
Di kejauhan, ia melihat siluet hitam San Long bergerak cepat, menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui di pinggir taman. Ia tidak berjalan ke arah kediaman para pangeran. Ia berjalan ke arah gerbang samping.
Swan menempel pada bayang-bayang, setiap otot di tubuhnya menegang. Ini bukan lagi soal misi. Ini sudah personal. Ia menjaga jarak aman, menggunakan pepohonan dan pilar-pilar sebagai tempat berlindung, gerakannya begitu cair hingga ia tampak seperti bagian dari malam itu sendiri.
San Long berhenti di dekat sebuah gudang tua yang sudah tidak terpakai di dekat tembok belakang istana. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang melihat. Dengan gerakan cepat, ia menyelinap masuk ke dalam. Swan menunggu beberapa saat, jantungnya berdebar kencang. Ia mengendap-endap mendekati gudang itu, mengintip melalui celah di antara papan-papan kayu yang sudah lapuk.
Di dalam, di bawah seberkas cahaya bulan yang menerobos atap yang bolong, ia melihat San Long melepaskan jubah sutra hitamnya yang mewah. Di baliknya, ia mengenakan pakaian katun kasar yang warnanya kusam dan sudah usang. Ia menggosokkan sedikit jelaga dari dinding ke wajahnya, membuat kulitnya yang pucat tampak lebih kotor dan lebih gelap. Dalam beberapa menit saja, Pangeran Bungsu yang angkuh dan dingin itu telah lenyap, digantikan oleh sosok seorang pedagang minyak miskin.
Swan menahan napasnya. Apa yang sedang pria ini lakukan?
San Long membuka sebuah pintu rahasia di lantai yang tertutup tumpukan jerami, menyingkap sebuah jalan terowongan yang gelap. Ia masuk dan menutupnya kembali dari dalam. Sial. Swan tidak bisa mengikutinya lewat sana. Ia harus mencari jalan keluar yang lain. Ia berlari tanpa suara menuju tembok istana, menggunakan kait baja yang diberikan pria itu untuk memanjatnya dengan cepat, lalu turun di sisi luar.
Ia berada di sebuah gang sempit di belakang distrik pedagang. Udara di sini berbeda. Bau istana yang dipenuhi wangi bunga dan dupa digantikan oleh bau anyir dari selokan, aroma masakan murah, dan bau debu jalanan yang tak pernah dibersihkan. Dari kejauhan, ia melihat San Long muncul dari balik sebuah sumur tua yang sudah kering, menyatu dengan kerumunan malam yang kumuh tanpa menarik perhatian sedikit pun.
Swan menarik kerudungnya lebih rendah dan mulai membuntutinya. Mereka berjalan semakin jauh dari pusat kota yang terang benderang, masuk ke dalam labirin gang-gang sempit dan gelap yang merupakan kawasan kumuh ibukota. Rumah-rumah di sini terbuat dari kayu lapuk dan lumpur kering yang ditumpuk asal-asalan. Suara batuk kering dan tangisan bayi yang kelaparan terdengar dari balik dinding-dinding tipis itu. Pemandangan yang tidak pernah ia lihat bahkan dari jendela keretanya.
San Long berhenti di depan sebuah gubuk yang paling reyot, yang atapnya hampir runtuh. Ia mengetuk pintu dengan pelan, dengan ritme tertentu. Pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah seorang wanita tua yang kurus kering dan penuh kecurigaan.
“Siapa?” tanya wanita itu, suaranya serak.
“Hanya pedagang minyak yang kebetulan lewat, Nenek,” jawab San Long. Suaranya berbeda. Keangkuhan dan dinginnya hilang total, digantikan oleh kehangatan dan rasa hormat yang tulus. “Sepertinya lentera Anda sudah hampir padam.”
Mata wanita tua itu menyipit. “Aku gak punya uang untuk membeli minyak.”
“Aku tidak menjualnya, Nek,” kata San Long lembut. “Anggap saja ini hadiah. Cuaca malam ini dingin, paling tidak rumah Nenek bisa tetap hangat.” Ia menyerahkan sebuah kendi tanah liat kecil yang penuh dengan minyak.
Wanita itu menatap kendi itu, lalu kembali menatap wajah San Long dengan mata berkaca-kaca. “Dewa memberkatimu, Anak muda.”
“Nenek sudah makan malam?” tanya San Long lagi, melirik ke dalam gubuk yang gelap.
Wanita itu menggeleng pelan. “Tidak ada lagi yang bisa dimakan.”
San Long merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kantong kain kecil yang berisi beberapa koin tembaga dan sebungkus roti kering. “Ini tidak banyak, tapi cukup untuk membeli semangkuk bubur hangat besok pagi.”
Air mata akhirnya menetes di pipi keriput wanita itu. Ia mengambil roti dan koin itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih… terima kasih…”
“Jaga diri baik-baik, Nenek,” ucap San Long sebelum berbalik pergi.
Dari persembunyiannya di seberang gang, Swan menatap pemandangan itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Jantungnya terasa seperti diremas. Pangeran bengis yang mengancam akan memenjarakannya baru saja memberikan makan malamnya pada seorang nenek tua yang tidak dikenalnya.
Ia terus mengikuti. Pemandangan yang sama terulang lagi. Di satu rumah, San Long meninggalkan sebotol kecil obat batuk untuk seorang anak yang sakit. Di tempat lain, ia membantu seorang pria tua memperbaiki roda gerobaknya yang rusak. Dia tidak memberikan banyak. Hanya hal-hal kecil. Tapi bagi orang-orang di sini, hal-hal kecil itu adalah segalanya. Dia bergerak seperti bayangan yang membawa harapan, dikenal oleh beberapa orang, diabaikan oleh yang lain. Dia adalah bagian dari dunia ini.
Kecurigaan Swan perlahan-lahan terkikis, digantikan oleh kebingungan yang mendalam. Siapa sebenarnya pria ini? Persona mana yang asli? Pangeran dingin di istana atau orang suci di perkampungan kumuh?
Swan begitu tenggelam dalam pikirannya hingga ia melakukan kesalahan. Kakinya tanpa sengaja menendang sebuah kaleng kosong, menimbulkan bunyi denting keras yang memecah keheningan gang itu.
Seketika, San Long berhenti. Seluruh tubuhnya menegang. Dengan kecepatan yang membutakan mata, ia berbalik. Matanya yang tajam langsung mengunci posisi Swan di dalam bayang-bayang.
“Siapa di sana? Keluar!” perintahnya, suaranya kembali menjadi dingin dan keras seperti baja.
Sialan. Tidak ada gunanya bersembunyi. Perlahan, Swan melangkah keluar dari kegelapan, kerudungnya masih menutupi sebagian wajahnya.
San Long menatapnya, matanya membelalak kaget. Keterkejutan itu dengan cepat berubah menjadi amarah. Amarah yang murni dan panas.
“Kau?” desisnya tak percaya. Ia berjalan cepat menghampirinya, mencengkeram lengan atas Swan dengan kasar dan menariknya lebih dalam ke kegelapan gang. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”
“Aku… aku hanya penasaran,” jawab Swan, mencoba menarik lengannya. Cengkeramannya terlalu kuat.
“Penasaran?” Ia tertawa sinis, tawa yang penuh dengan kepahitan. “Penasaranmu ini baru saja menghancurkan segalanya! Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?”
“Aku tidak melakukan apa-apa!” balas Swan.
“Oh, ya? Kau baru saja menunjukkan pada semua mata-mata di kota ini di mana aku berada!” geramnya, suaranya rendah namun penuh getaran amarah. “Selir baru yang sedang naik daun tiba-tiba muncul di kawasan kumuh ini di tengah malam! Apa menurutmu tidak akan ada yang curiga?”
“Aku tidak tahu kalau ada mata-mata,” sahut Swan defensif.
“Tentu saja kau tidak tahu! Karena kau buta!” bentaknya. Ia menunjuk ke arah atap sebuah kedai teh yang gelap di ujung gang. “Lihat orang yang pura-pura tidur di sana? Dia orangnya Pangeran Kedua. Dan pria mabuk yang dari tadi duduk di depan warung itu? Dia salah satu anjing peliharaan Kakak Sulungku!”
Swan menoleh, dan memang benar. Kedua orang itu, yang tadi ia anggap sebagai penghuni biasa, kini menatap lurus ke arah mereka. Penyamarannya dan penyamaran San Long telah terbongkar.
“Astaga…” bisik Swan.
“Ya, astaga!” ejek San Long. “Kau baru saja memberiku hukuman mati, Selir Xin! Selamat! Besok pagi, seluruh istana akan bergosip bahwa Pangeran Bungsu sedang mencoba membeli loyalitas rakyat jelata untuk merencanakan pemberontakan! Mereka akan menggunakan ini untuk menjatuhkanku! Untuk selamanya!”
“Aku tidak bermaksud begitu! Aku hanya ingin tahu siapa Anda sebenarnya!” seru Swan, rasa bersalah yang tajam menusuknya.
“Siapa aku?” San Long menatapnya dengan tatapan terluka yang begitu dalam hingga membuat Swan terdiam. “Aku adalah orang yang mencoba melakukan sedikit kebaikan di dunia busuk ini tanpa harus dibunuh karena perbuatanku itu! Dan kau… kau baru saja merusaknya!” Ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, mendorong Swan ke dinding.
“Aku minta maaf,” bisik Swan.
“Maaf tidak akan bisa mengembalikan semua yang sudah susah payah kubangun selama bertahun-tahun! Dan keingintahuanmu yang besar itu sudah merusak dan membahayakan aku!” Wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajah Swan. Napasnya hangat dan berbau teh murah. Di matanya, Swan tidak lagi melihat kemarahan, hanya keputusasaan yang melelahkan. “Sekarang pergilah. Lari. Kembali ke istana sebelum mereka menangkapmu dan menjadikanmu saksi palsu.”
“Tapi, Anda…”
“Aku akan urus diriku sendiri.” Dia mendorongnya lagi. “Pergi!”
Swan ragu-ragu sejenak, lalu berbalik dan mulai berlari. Ia tidak pernah merasa sebodoh dan sebersalah ini sepanjang hidupnya. Ia baru saja akan berbelok di ujung gang ketika suara San Long menghentikannya.
“Selir Xin!” panggilnya. Suaranya tidak lagi marah, hanya kosong dan lelah.
Swan berhenti, menoleh ke belakang. San Long masih berdiri di sana, sosok yang kesepian di tengah kegelapan, kini menjadi target yang terpapar.
“Demi keselamatanmu sendiri,” katanya pelan, suaranya nyaris ditelan angin malam, “menjauhlah dariku.”
“Apa maksud Anda?”
“Mulai sekarang, anggap kita tidak pernah bertemu malam ini,” lanjutnya. Matanya yang gelap menatap lurus ke dalam jiwa Swan, sebuah permohonan yang putus asa tersembunyi di baliknya.
“Jangan percaya apa pun yang kau dengar di istana ini, terutama tentang diriku. Paham!”
trmkash thor good job👍❤