Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 : Semua Menjadi Begitu Sulit
Setelah kejadian itu, Lyanna dan Veyra mendapat peringatan keras untuk tidak meninggalkan istana sedikit pun. Pengawasan terhadap keduanya diperketat, seolah-olah setiap langkah mereka tidak boleh terlepas dari pengawasan raja.
Sementara itu, Yvaine kembali disibukkan dengan tugas politiknya. Namun, kehadirannya di ruang rapat maupun perjamuan hanya dipenuhi dengan cibiran dan pandangan merendahkan dari para bangsawan. Banyak yang meremehkannya, bahkan tak sedikit yang sengaja membicarakan dirinya di depan umum, termasuk para pelayan istana yang seolah ikut memperoloknya.
Meski begitu, Yvaine tetap berusaha tenang, menahan diri agar tidak terpancing emosi. Namun, kesabaran itu semakin terkikis ketika rapat membahas perampokan yang marak terjadi di balai desa. Usulannya yang jelas dan masuk akal sama sekali tidak digubris, hingga masalah itu semakin memburuk.
Keluar dari ruang rapat, Yvaine berjalan di lorong istana sambil memijat pelipisnya. Frustasi menyelimuti dirinya, helaan nafas panjang lolos dari bibirnya saat ia bersandar di dinding dingin. Ingin rasanya ia berteriak atau marah, tetapi ia tahu semua itu sia-sia bila suaranya tidak pernah didengar.
Mengusap rambutnya ke belakang, Yvaine bergumam lirih, “Kenapa semuanya menjadi begitu sulit?”
Di tengah kekesalan itu, langkah seseorang mendekat. Sebuah tangan terulur, menyodorkan segelas air ke arahnya. Yvaine mengangkat wajahnya, dan tertegun mendapati tabib istana, Lysander berdiri di hadapannya.
Dengan suara tenang, pria itu berkata,
“Minumlah dulu, untuk menenangkan pikiranmu.”
Yvaine meraih gelas itu, menatapnya sesaat, lalu meneguk perlahan. Begitu airnya menyentuh lidah, ada rasa yang berbeda—bukan sekadar air biasa. Seketika, matanya terarah pada Lysander yang masih berdiri di hadapannya.
Perlahan ia menjauhkan gelas dari wajahnya, menatap tabib itu dengan penuh tanda tanya.
“Apa yang sebenarnya ada di dalam minuman ini?” tanyanya, suaranya terdengar datar namun menyiratkan kewaspadaan.
Pertanyaan itu membuat Lysander sempat tertegun. Namun senyum tipis segera mengembang di wajahnya, seolah ia sudah memperkirakan reaksi itu, tapi tetap terkejut bahwa Yvaine menyadarinya begitu cepat.
“Itu hanya ramuan penenang,” jawabnya dengan lembut. “Baik untuk kesehatanmu. Kau pernah jatuh sakit sebelumnya karena terlalu keras bekerja, bukan? Aku hanya tidak ingin hal itu terulang.”
Yvaine terdiam sejenak, menimbang ucapannya. Tatapannya melembut, meski ada sedikit keraguan tersisa.
“Terima kasih, Tabib Lysander,” ucapnya akhirnya. “Tapi kau tidak perlu melakukan sejauh ini. Aku baik-baik saja.”
Senyum Lysander tidak pudar. Pandangannya seolah bisa menembus lapisan tenang yang coba Yvaine pertahankan.
“Tidak, Putri,” ujarnya pelan, “kau tidak terlihat baik-baik saja.” Lalu ia menambahkan, “Maukah kau berjalan-jalan sejenak? Udara segar mungkin bisa menjernihkan pikiranmu.”
Yvaine menghela napas panjang. Ada lelah dalam suaranya saat ia mengangguk.
“Mungkin kau benar… aku butuh sedikit pergantian udara.”
Lysander mempersilakannya melangkah lebih dulu. Yvaine berjalan dengan anggun, gaunnya bergoyang lembut mengikuti setiap langkahnya. Dari belakang, Lysander memperhatikan bahunya yang tegap namun sarat beban. Ia bisa melihat jelas bagaimana perempuan itu memikul sesuatu yang lebih berat dari yang bisa dilihat orang lain.
Di tengah keheningan yang menyelimuti lorong panjang istana, Lysander akhirnya membuka suara. Nadanya tenang, nyaris seperti bisikan yang membawa keteduhan.
“Menduduki posisi setinggi itu berarti menanggung tanggung jawab yang luar biasa berat. Banyak orang bisa merebut kursi kekuasaan, tapi… hanya sedikit yang benar-benar mampu menjaga tanggung jawabnya.”
Kata-katanya bergema lembut di telinga Yvaine. Langkahnya sedikit melambat, seolah ia merenungkan ucapan itu.