Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
Happy reading...
.
.
.
Sudah dua minggu keluarga kecil itu tinggal di rumah baru mereka di Surabaya. Mungkin bagi sebagian orang, rumah itu tampak megah dan nyaman. Namun tidak bagi Naira, rumah itu masih menyisakan rasa asing yang sulit ia jelaskan. Namun seiring berjalannya waktu, sikap hangat Raka perlahan mengubah perasaannya. Setiap kali Raka menggenggam tangannya, ia seperti mendapat alasan baru untuk berusaha beradaptasi dengan tempat itu.
Sore itu, langit memancarkan warna jingga yang lembut. Raka pulang lebih awal dari biasanya. Mantel kerjanya belum sempat ia lepaskan ketika Naira melihat sosoknya melangkah memasuki ruang tengah. Senyum Raka yang tulus membuat suasana rumah seketika terasa lebih hidup.
Naira berdiri dari sofa dan berjalan mendekat dengan langkah kecil yang bersemangat. “Apa kita jadi jalan-jalan?” tanyanya penuh antusias. Kedua matanya tampak berbinar, seperti anak kecil yang sedang menantikan hadiah kejutan. Rasa hangat menjalar begitu cepat di dada Raka saat melihat ekspresi istrinya itu.
“Tentu saja,” jawab Raka pelan namun mantap. “Bukankah aku sudah berjanji kepada kamu dan Jingga?”
Senyumnya yang lebar membuat wajahnya terlihat jauh lebih tampan dari biasanya. Cahaya sore yang jatuh tepat ke wajahnya menciptakan kesan hangat yang membuat Naira kembali merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Wajahnya memerah tanpa bisa ia kendalikan. Ia memalingkan sedikit kepalanya untuk menyembunyikan rona itu, meski ia tahu Raka pasti sudah melihatnya.
“Aku mandi dulu. Kamu dan Jingga tunggu di sini,” titah Raka kemudian. Ia berkata dengan nada lembut, namun tetap tegas seperti biasanya. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung beranjak menuju kamar mandi.
Naira menatap kepergian Raka dengan senyum kecil yang tetap bertahan di wajahnya. Kehadiran Raka memberi rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kadang, ia berpikir bahwa mungkin rumah ini tidak akan terasa seperti penjara jika Raka selalu ada di sisinya.
.
.
.
Di saat yang bersamaan, jauh dari ketenangan rumah itu. Suasana di kediaman keluarga Ardiansyah justru dipenuhi amarah. Suara bentakan menggema di ruangan besar itu. Riko sedang melampiaskan kemarahannya kepada semua anak buahnya.
“Apa gunanya kalian dibayar jika tidak bisa menemukan satu perempuan saja!” teriak Riko dengan ekspresi penuh kemarahan. Ia memukuli meja, lalu memukuli salah satu anak buahnya yang berada terlalu dekat. Beberapa orang hanya bisa menundukkan kepala, takut menjadi sasaran berikutnya.
“Sudah hampir satu bulan! Satu bulan!” Riko kembali mengamuk, napasnya memburu karena emosi. “Kalian semua tidak becus dalam bekerja!”
Seorang anak buah mencoba menjelaskan sesuatu, namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Riko kembali memukulnya. “Diam! Aku tidak butuh alasan!”
Suasana semakin panas sampai akhirnya Arvino muncul di ambang pintu. Ia melihat kekacauan itu dengan kening berkerut. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berjalan mendekat dan mencoba menghentikan amukan calon papa mertuanya itu.
“Papa, hentikan ini dulu,” ujar Arvino sambil memegang lengan Riko. “Papa harus tenang.”
“Bagaimana aku bisa tenang?” Riko menoleh tajam. “Naira hilang! Dia hilang begitu saja dan tidak ada satu pun dari meraka yang berguna!”
Dengan suara lebih lembut, Arvino berkata, “Papa, percayalah… aku tidak akan berhenti. Aku akan tetap berusaha mencari Naira. Aku berjanji akan segera menemukannya.”
Riko menatapnya, matanya merah karena marah dan frustrasi. “Kamu berkata seperti itu sejak hari pertama dia hilang.”
Arvino menunduk sesaat, suaranya terdengar tulus dan penuh usaha. “Aku akan menemukannya. Bagaimanapun caranya.”
Ruangan itu seketika hening. Para anak buah menunggu apa yang akan Riko lakukan selanjutnya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Riko akhirnya menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan napas yang masih berat.
“Temukan dia… sebelum semuanya terlambat,” kata Riko pelan namun penuh tekanan. “Aku tidak peduli bagaimana cara kalian melakukannya. Temukan Naira.”
.
.
.
Malam itu Surabaya terasa lebih hidup dari biasanya. Lampu-lampu kota berkelip seperti serpihan bintang yang jatuh ke bumi. Raka membawa Naira dan Jingga ke sebuah taman kota yang cukup ramai, namun tetap terasa nyaman. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma rumput basah dan makanan dari gerobak-gerobak kecil di sekitar sana. Tidak jauh dari taman, tampak sebuah pasar malam dengan lampu warna-warni yang berputar mengikuti deru wahana permainan.
Melihat antusiasme Naira sejak pertama kali mereka datang, hati Raka terasa penuh. Ia sudah lama tidak melihat senyuman itu. Setiap kali Naira menunjuk satu permainan atau satu makanan, Raka mengikutinya tanpa banyak bicara. Ada sesuatu pada wajah Naira malam itu, sesuatu yang membuat Raka melupakan sejenak niat yang selama ini memenuhi pikirannya. Niat untuk balas dendam yang selama berbulan-bulan ini menuntunnya ke jalan gelap.
Tapi malam itu, ketika melihat Naira tertawa kecil saat mencoba permainan lempar gelang bersama Jingga, semuanya tiba-tiba terasa tidak penting lagi.
Setelah puas berkeliling pasar malam, Raka membawa mereka kembali ke taman. Mereka duduk di salah satu bangku kayu yang sedikit usang namun kokoh. Udara malam menyelimuti mereka dengan lembut. Jingga duduk di antara keduanya, sibuk dengan permen kapas yang hampir sebesar kepalanya. Anak itu tidak peduli dengan apa pun selain makanannya.
Naira menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, tampak sedikit lelah namun bahagia. Raka memandangi wajahnya cukup lama sebelum akhirnya memberanikan diri membuka percakapan.
“Nay…” panggilnya pelan.
Naira langsung menoleh. “Ada apa?”
Raka menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengembuskan napas perlahan. “Apa kamu mau menikah lagi denganku?”
Pertanyaan itu membuat Naira mengerutkan keningnya. Ia bahkan sempat memastikan apakah ia mendengarnya dengan benar. “Kenapa?” tanyanya bingung.
“Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku ingin memulai semuanya dari awal?” jawab Raka. Nada suaranya tenang, namun ada ketegasan di dalamnya. “Jadi… ayo menikah ulang denganku.”
Naira hanya diam, menatap Raka seakan mencari maksud tersembunyi di balik ucapan itu. Raka melanjutkan dengan suara pelan namun sangat serius.
“Tapi… kali ini aku akan menikahi kamu dengan menggunakan nama Naira.”
Naira mengerjap beberapa kali. Ia semakin tidak mengerti. “Raka, maksud kamu apa? Kenapa harus seperti itu?”
Raka memandang jauh ke depan seolah mencoba merangkai kata-kata. “Bukankah kamu pernah mengatakan kalau kamu nyaman dengan nama Naira?” katanya lembut. “Dan aku… ingin menghormati itu. Aku ingin memperbaiki semuanya. Jika kita memulai dari awal, maka biarkan aku memulai semuanya dengan benar.”
Naira terpaku. Kata-kata itu masuk perlahan, memberikan sensasi hangat yang samar namun nyata di dadanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAKKK.....