NovelToon NovelToon
Pesona Kakak Posesif

Pesona Kakak Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: Dwi Asti A

Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hampir Dipermalukan

Visual Hanin & Satya

Esok harinya di ruang makan, Hanin lagi-lagi tak banyak bicara membuat Satya berpikir Hanin sedang marah dengan dirinya.

“Makanannya dihabiskan, Hani, nanti kalian terlambat ke sekolah,” ucap Miranda.

Hanin menatap pada Miranda sesaat lalu melanjutkan makannya. Dia beranjak beberapa saat kemudian tanpa menghabiskan makanannya.

“Hani,” cegah Miranda menghentikan langkah Hanin.

“Sudah kenyang, Mah,” jawab Hanin dengan ekspresi dingin, sampai lupa berpamitan dengan kedua orang tuanya kalau saja Satya tak mengingatkan.

“Kau ini kenapa? Pagi-pagi wajahnya cemberut?” Satya menghampiri Hanin yang tengah berdiri bersandar pada pilar teras rumah menunggunya.

Hanin kembali teringat dengan ucapan Rio dan Satya yang membuatnya kesal, ditambah larangan Miranda semalam. Namun, Hanin tidak mungkin menceritakan soal itu pada Satya.

“Bukan apa-apa, Kak. Sebaiknya kita berangkat sekarang, kita bisa terlambat “

••

Beruntung untuk mereka berdua terhindarkan dari hukuman meskipun terlambat beberapa menit, karena hari itu semua guru sedang mengadakan rapat. Semua siswa dibebaskan dari tugas di jam pertama dan ke dua. Meskipun begitu, semua tetap berada di kelas masing-masing untuk menjaga ketertiban.

“Untukmu.” Satya memberikan sepasang gelang kepada Hanin seraya duduk di samping Hanin yang sedang menyibukkan diri dengan membaca buku. Hanin spontan menoleh pada sepasang gelang itu.

Melihat Hanin hanya memandangi gelang itu Satya mengambil satu dan memasangkannya di pergelangan tangan kanan Hanin.

“Sekarang giliranmu.” Satya mengulurkan tangannya. Giliran Hanin memasang di tangan Satya.

“Apa artinya, Kak?” tanya Hanin penasaran.

“Hanya sebuah gelang yang tak memiliki arti apa pun, karena bagus jadi kakak membelinya, tapi aku pastikan tidak ada orang lain yang memilikinya.”

“Cie cie ...., yang dapat oleh-oleh,” goda Rio.

“Gelang seperti itu banyak di pasar loak, Hanin, kau saja tidak tahu,” imbuh Zaki.

“Tidak apa, yang penting ini pemberian Kak Satya, Hani pasti menjaganya dengan baik,” tanggapan Hanin, jelas membuat kedua remaja itu potek hatinya. Satya yang perhatian dan Hanin yang pengertian benar-benar sulit menemukan sepasang kakak beradik yang romantis seperti mereka.

“Jadi bagaimana hasilnya, Kak? Sudah bertemu dengan Ferdyan?” tanya Hanin mengalihkan ke pembicaraan lain. Satya dan kedua temannya saling berpandangan.

Sini biar aku ceritakan.” Zaki mengambil tempat duduk di hadapan Satya dan Hanin, diikuti Rio. Mereka sampai mengusir siswa yang tengah duduk di sana untuk pindah di kursi lain.

“Jadi saat kita tiba di rumah orang tua Ferdyan ternyata rumah itu kosong. Semuanya sedang berada di rumah sakit. Karena tidak tahu rumah sakit mana kita terpaksa bertanya pada tetangga, tok tok tok ...,”

“Langsung saja pada intinya, Za,” sergah Hanin melihat gaya bicara Zaki yang bertele-tele.

“Cerita kalau langsung melompat pada Bab lain itu kurang menarik, Hani, harus berurutan dari awal.”

“Tahu, tapi kelamaan, diringkas saja nanti keburu guru datang dan pelajaran. Aku hanya ingin tahu Alasan Ferdyan, itu saja.”

“Iya iya ...!”

(Saat bertemu Ferdyan)

“Ada apa ini, bagaimana kalian bisa sampai di sini?” tanya Ferdyan dengan raut wajah mulai terlihat tegang.

“Kau pasti tahu urusan apa, ini tentang Hanin,” jawab Satya.

“Urusan apa lagi? Aku sudah mengakuinya di depan semua guru, itulah kenapa aku diskors,” balas Ferdyan.

“Masalahnya ada pada pengakuanmu itu,” sela Zaki. “Setahu aku orang akan kabur atau lari setelah melakukan kejahatan, tapi kau dengan santai mengakuinya di depan guru, apa karena kau tahu kau tidak bakalan dilaporkan polisi?”

“Itu artinya sudah tidak ada masalah, aku juga sudah menerima hukumannya.” Jawaban Ferdyan masih terlihat tenang.

“Lalu kau membiarkan pelaku yang sebenarnya tidur dengan nyaman, atau malah bersenang-senang saat ini,” kata Satya penuh sindiran.

“Maksudmu?”

“Jangan berlagak seperti orang bodoh. Justru karena kau pintar dan dikenal baik kami tidak percaya kau pelakunya. Kau bisa mengatakan siapa yang sudah membayarmu,” balas Zaki.

“Membayar apa?”

“Cukup Ferdy!” cegah Satya. “Kami datang kemari bukan untuk mendengar kebohonganmu, kami juga sudah lelah dengan datang kemari jadi, katakan saja siapa yang sudah membayarmu untuk jadi kambing hitam.” Satya terus terang tanpa basa-basi, mendesak Ferdyan untuk mengaku.

Ferdyan menatap Satya dan Zaki bergantian, lalu pada Rio yang baru datang dengan membawa makanan di kantong keresek. Mereka semua menatap dirinya cukup serius.

“Kami juga tahu semua yang kau lakukan ini demi ayahmu yang sedang berada di ruang operasi. Kau mungkin juga telah membohongi mereka tentang uang itu, tapi orang tua mana yang tidak curiga anaknya yang masih sekolah pulang membawa uang banyak. Jika saat ini kau bisa meyakinkan mereka, belum tentu nanti setelah ayahmu sembuh. Bisa jadi penyakitnya kambuh lagi begitu mendengar kebenarannya.”

“Jangan bicara sembarangan tentang ayahku! Dia akan baik-baik saja!” Ferdyan berteriak saking emosinya. Membuat seorang perawat keluar dan mengingatkan mereka untuk tidak gaduh, setelah itu masuk ruangan kembali.

“Ayahmu akan baik-baik saja asalkan kau bicara jujur. Aku akan mengganti biaya operasi, dan kau bisa mengembalikan uang hasil menipu kepada pemiliknya. Jangan sampai uang itu justru membahayakan nyawa ayahmu,” jelas Satya.

Mendengar ucapan Satya, Ferdyan malah sedih dan menangis. Ia melepas kaca mata dan mengusap air matanya. Entah sedih atau terharu, tapi ketiga remaja di hadapannya belum bisa memahaminya.

“Jadi pada akhirnya dia mengakuinya juga?” tanya Hanin menerka.

“Iya, hanya saja dia bingung dari mana dia harus menyampaikannya,” jawab Zaki.

“Kami sudah mengirim rekaman pengakuan Ferdyan, saat ini mungkin juga menjadi salah satu pembahasan saat rapat,” imbuh Satya.

“Jadi siapa pelaku yang sebenarnya, Kak?” Hanin semakin dibuat penasaran.

“Kau tidak ingin memberikan kakak hadiah? Mungkin setelah itu kakak bisa mengatakannya.”

Hanin terdiam, memutar bola matanya dan sedetik kemudian bersiap mencium pipi Satya. Namun, dengan cepat Satya menghalangi wajahnya dengan telapak tangannya. Bahkan Zaki dan Rio sudah siap menyaksikan pertunjukan itu, sayang semuanya gagal.

“Bukan seperti itu. Sudah kakak ingatkan sebelumnya, kan?” Satya mengingatkan.

Melihat reaksi Satya, Hanin teringat dengan perkataan Miranda.

“Kalau begitu buat aku saja, Hani, aku tidak akan menolak,” kata Rio seraya mendekatkan wajahnya. Satya memukul kepala Rio dengan penggaris di tangannya.

Keributan itu terhenti saat Dirga masuk ruangan dan memberikan pengumuman.

“Ada beberapa pengumuman dengarkan baik-baik. Pertama, Satya, Risma dan saya sendiri setelah ini diminta berkumpul di ruang perpustakaan. Yang ke dua, jam pelajaran selanjutnya akan diisi dengan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya, lalu pulang pukul satu siang. Sebentar lagi guru datang tolong jaga ketenangan! Reza kau jaga anak-anak selagi aku tak ada!”

“Siap ketua!” sahut Reza sebagai wakil ketua. Dirga dan Risma sudah berjalan meninggalkan kelas, disusul Satya.

“Jangan sedih, ada Kakak Rio di sini,” Rio dengan cepat sudah duduk menyebelahi Hanin. Hanin membiarkannya sembari mempersiapkan buku pelajaran.

“Kau tahu kenapa mereka bertiga diminta berkumpul?” tanya Hanin.

“Jika melihat ketiganya tiga besar anak berprestasi di kelas ini, ada kemungkinan mereka akan mendapatkan bea siswa atau ada acara lomba kecerdasan, aku tak paham juga,” jawab Rio.

Di jam istirahat pertama Hanin pergi ke kantin bersama siswi perempuan. Di belakangnya Zaki dan Rio mengikuti mereka.

Sebelum mereka memasuki kantin, tiga Geng Rubah datang menghadang Hanin dan rombongannya. Mereka jelas tahu Hanin tak bersama dengan Satya saat itu hingga mereka berani datang untuk mengganggunya, tapi Zaki dan Rio sudah siap menjaga Hanin dari gangguan gadis-gadis lebai itu.

“Sendirian saja, ditinggal pengawalnya nih ceritanya?” mereka mulai memancing-mancing kekesalan Hanin dengan perkataan.

Hanin berusaha mengacuhkan dengan terus melangkah, tapi tiba-tiba kaki salah satu gadis itu berusaha mencelakai Hanin, untung Hanin cepat menyadarinya.

“Kalian memang senang ya cari masalah, apa kalian tidak punya pekerjaan?” seorang teman Hanin tak terima, tapi dia justru didorong oleh teman Niken hingga hampir jatuh.

“Mau kalian apa? Tidak punya uang? Mau malak?” tanya teman Hanin lainnya kesal.

“Kau berani juga menghina, mau mencicipi telapak tanganku rupanya.” Teman Niken maju dan menyerang teman Hanin, Hanin langsung menghalangi. Kali ini Niken sendiri yang menghadapi Hanin. Dia lebih tertarik berhadapan dengan Hanin ketimbang teman-temannya.

“Beberapa hari yang lalu kau membuatku malu, Hanin, kali ini saatnya kau yang aku buat malu.” Dengan gerakan cepat Niken menyerang Hanin dan menarik krah baju Hanin hingga lepas beberapa kancing bajunya jatuh di lantai. Hanin spontan menutupi bagian yang terbuka itu dengan tangannya. Saat Niken mencoba menyerangnya kembali seseorang sudah berdiri menghalanginya.

“Awan?” Niken tercengang. Pemuda itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya menghalangi. “Menyingkirlah Awan, apa kau ingin membela gadis manja ini?”

“Kalau iya kenapa?” balas Awan tak bergeming dari tempatnya. Hanin yang tak terlihat di belakangnya juga tertegun dengan kehadiran Awan.

“Jelas aku yang pacarmu, tapi kau lebih membelanya?” Niken menggeleng tak percaya.

“Dan mulai hari ini kita putus, aku tidak suka dengan gadis kasar sepertimu, kau ini lebih mirip gadis psikopat.”

“Keterlaluan kau, Awan, apa maksudmu bicara seperti itu? Dan kau berani memutuskanku?”

“Jadi kau tidak tahu berita terbaru. Semua sudah tahu dan berita itu ada di Mading sekarang. Seseorang memasang gambarmu di sana,” teman Awan menjelaskan.

Niken tampak kebingungan, marah dan juga kesal. Dia tidak tahu berita tentang apa, tapi semua sudah menatapnya dengan tatapan mengejek. Niken dan kedua temannya bergegas meninggalkan tempat itu.

Awan memutar tubuhnya ka arah Hanin yang masih memegangi bagian atas bajunya. Pemuda itu kemudian melepas jaketnya dan memberikannya pada Hanin.

“Kau pakai jaket ini supaya tidak terus-terusan memeganginya.”

“Tidak perlu,” balas Hanin.

“Kau pasti takut Satya marah. Jika dia kakak yang baik seharusnya dia tidak kesal, jaket itu untuk melindungimu. Kau bisa mengembalikannya besok.” Awan sampai menutupkan jaketnya di tubuh Hanin karena Hanin terus menolaknya, setelah itu berlalu.

“Ini tidak perlu, Kak. Aku tidak mau kalian bertengkar gara-gara jaket ini,” ujar Hanin.

“Aku akan menghadapi kakakmu yang over protektif itu!” sahut Awan dengan langkahnya semakin menjauh.

Hanin masih terpaku di tempatnya menyaksikan pembelaan Awan hari itu dan senyumnya yang sehangat mentari.

“Bakalan ada perang nih, dan kau Hanin, seharusnya kau menolak jaket itu. Jika Satya tahu dia pasti marah,” kata Rio.

“Aku akan segera mengembalikannya.”

“Jadi ke kantin atau tidak nih, perutku sudah keroncongan,” kata Zaki.

“Jadilah," sahut Rio.

Mereka kemudian melanjutkan menuju kantin yang tertunda. Karena waktu yang sedikit mereka terpaksa memesan makanan supaya bisa menikmati di dalam kelas.

Saat kembali ke kelas rombongan Hanin berpapasan dengan Satya, Dirga dan Risma yang juga baru kembali dari perpustakaan. Satya tertegun di hadapan Hanin menatap pada jaket yang melekat di tubuh Hanin dengan tatapan penasaran. Rio, Zaki dan yang lainnya bergegas masuk tak ingin melihat peperangan kakak beradik itu dan ikut terkena amarah Satya.

“Kau sakit? Siang begini mengenakan jaket?” tanya Satya, mendekat lalu menempelkan telapak tangannya di kening Hanin, tentu saja normal, dan Satya baru sadar pemilik jaket itu siapa, ada sebuah nama di sana dan Raut wajah Satya seketika berubah, muram.

“Awan?” tanya Satya.

“Iya, tadi dia ...,” sebelum Hanin memberikan penjelasan, tiba-tiba Satya langsung menarik resleting jaket berniat membuangnya. Namun, apa yang dilihatnya membuat Satya buru-buru memasangkan kembali jaket itu.

~Terima kasih yang sudah baca sampai Bab ini, bantu dukungannya dengan like, komentar dan ulasannya ya.

1
D Asti
Semoga suka, baca kelanjutannya akan semakin seru loh
María Paula
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Majin Boo
Sudut pandang baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!