Dia.. anak, Kakak, saudara dan kekasih yang keras, tegas dengan tatapannya yang menusuk. Perubahan ekspresi dapat ia mainkan dengan lihai. Marcelline.. pengendali segalanya!
Dan.. terlalu banyak benang merah yang saling menyatu di sini.
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S.Lintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. -
Marcelline menghempaskan Azalea dengan kasar ke dalam kamar.
"Tanpa persetujuan dan perintah ku, kamu tidak bisa keluar. Semua kebutuhan akan ada yang mengurus termasuk makan mu. Ingat lah ini, Lea, Kakak mu ini tidak pernah main-main dalam segala urusan. Jadi.. kalau kamu siap kehilangan kedua kaki mu itu, maka silahkan melanggar, aku tidak akan menghentikan!"
Azalea mengangguk dan menghapus air matanya. "Udah Lea bilang kalau Lea bakal terima hukuman yang Kakak kasih tanpa kasih perlawanan sedikit pun. Tapi menghukum Bang Delan karena kesalahan Lea.. apa itu adil Kak?" tanyanya sedih.
Delano kehilangan pekerjaan karena dirinya, dan bahkan setelah hari ini, tidak akan ada yang bisa terima lamaran pekerjaan Delano lagi karena semuanya sudah ter-backlist. Dan tidak akan ada yang berani menerima Delano kecuali mereka bosan hidup.
"Adil atau tidaknya itu bukan urusan ku. Seharusnya kalau kamu tidak mau hal ini terjadi, jangan pernah melampaui apalagi sampai mengungkapkan omong kosong yang bisa merusak reputasi ku dan keluarga ini!" tegas Marcelline tajam.
"Merusak reputasi Kak?" tanya Azalea kembali menangis.
"Hm," dehem Marcelline dingin.
"Lea cuma jatuh cinta Kak, apa itu sebuah kesalahan sampai bisa merusak reputasi Kakak dan keluarga?"
"Coba kamu pikir pakai otak kecil kamu itu Lea. Kamu jatuh cinta dengan siapa? Apa dia layak dan pantas? Tidak sama sekali! Dia orang Kakak dan nggak seharusnya kamu dan dia menjalin hubungan yang bisa merusak reputasi yang selama ini sudah Kakak bangun dan jaga. Kamu hanya perlu duduk manis dan menuruti segalanya tanpa harus terjun langsung ke lapangan seperti Kakak kenapa sulit sekali? Dia nggak layak dan harusnya kamu nggak mendebatkan ini sama Kakak!"
"Apa keluarga kita memandang kasta Kak?" tanya Azalea lirih.
"Iya!" sahut Marcelline tegas.
"Kalau iya, harusnya Kakak nggak masukin orang asing ke dalam rumah kita, yang bahkan kita sendiri nggak tau asal usulnya gimana dan siapa orang tuanya!" tegas Azalea pula.
Azri yang mendengar itu langsung menatap adik perempuannya itu dengan tatapan sedih dan rasa sakit, begitu juga Afandi dan Anggi yang tidak percaya bahwa salah satu putri mereka berkata seperti itu.
"Kamu sadar apa yang barusan kamu ucapkan itu, Lea?" tanya Marcelline pelan.
Azalea mengangguk tegas, lalu menunjuk Azri. "Harusnya kalau Kakak memang menjaga reputasi keluarga, Kakak nggak perlu bawa dia ke rumah ini. Karena setelah dia ada di rumah ini, semua orang membicarakan keluarga kita yang mengadopsi orang asing. Orang asing yang bahkan Kakak dan Ayah jadikan sebagai pewaris sah, yang padahal dia nggak berhak mendapatkan itu karena dia hanyalah sebatas orang...."
PLAK!!
Pipi Azalea kembali mendapatkan tamparan keras dari Marcelline. Sekarang sampai berdarah, bukan lagi hanya sekadar merah di pipi.
"Cukup atau Kakak bisa lupa kalau kamu, Adeknya, Kakak, Lea!" tegas Marcelline dengan napas yang berat.
Azalea tersenyum tipis lalu ia tertawa kecil, menatap Kakaknya tanpa menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.
"Cuma karena orang asing itu Kakak sampai tega bilang kayak gitu? Waw. Lea jadi penasaran apa yang dia kasih ke Kakak sampai Kakak sesayang itu sama dia, bahkan lebih sayang ke dia dari pada ke Lea dan Ayah, Bunda sendiri."
"Apa sebesar itu hak orang asing di rumah ini Kak?" lanjut Azalea bertanya. "Kalau iya, Lea lebih baik milih buat jadi orang asing aja daripada jadi bagian kandung keluarga ini."
Marcelline hendak menampar lagi pipi Azalea, tapi Azri menahannya, menatap dan memberi gelengan kepala pada sang Kakak.