Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17 Akhirnya
____________
Hari-hari telah berlalu di rumah sederhana itu, membawa ketenangan yang lama tak dirasakan Adinda. Sejak menempati tempat itu, Adinda merasa seperti menemukan kembali arti hidup yang sempat hilang. Tidak ada teriakan, tidak ada tekanan, hanya kehangatan dan perhatian tulus dari Vikto yang selalu berada di sisinya.
Setiap pagi, Vikto akan menyempatkan waktunya untuk mengantarnya ke rumah sakit untuk menjalani terapi. Dengan penuh kesabaran, ia membantu Adinda berpindah dari kursi roda ke mobil, memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Setelah terapi selesai, mereka biasa di taman kecil di dekat rumah sakit sambil menikmati minuman dan menghilangkan kejenuhan.
“Setiap hari kamu selalu ada perubahan,” kata Vikto sambil tersenyum lembut, menatap Adinda yang mulai bisa menggerakkan kakinya perlahan.
Adinda menatapnya sambil menahan haru. “Kalau bukan karena Kakak, mungkin aku gak akan punya semangat lagi. Aku udah nyerah sama hidupku waktu itu.”
“Jangan pernah ngomong gitu lagi,” potong Vikto lembut. “Hidup kamu berharga, Dinda. Bukan cuma buat kamu, tapi buat orang-orang yang sayang sama kamu.”
Adinda terdiam, matanya bergetar menatap wajah Vikto. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat hatinya hangat, tapi juga berdebar.
"Ya sudah, kita pulang. Cuaca juga mendung, takut ujan. Juga, Kakak ada pertemuan dengan rekan proyek baru. Gak apa-apa, kan? Kalau Kakak ada waktu senggang, kita jalan-jalan."
Dinda mengangguk pelan. Lalu, Vikto segera bangkit dan mendorong kursi rodanya, dan diikuti oleh Mbak Tia.
Sampai di rumah, Vikto segera pamit. Kini, tinggal Adinda bersama Mbak Tia. Hari hari yang telah dijalani, rupanya begitu lama dan penuh cerita. Adinda merasa bosan juga tidak mempunyai kegiatan selain terapi dan terapi.
Dilain waktu yang telah berlalu.
_____
Waktu yang dilewatinya tidak terasa begitu lama, hingga pada akhirnya surat akta cerai pun telah didapat. Rasanya seperti tidak percaya kalau dirinya telah berpisah dengan suaminya. Hubungan yang dulunya hangat, kini tidak akan pernah rasakan lagi hubungannya.
Adinda yang tidak ingin duduk berdiam terus, ia mulai memberanikan diri untuk terus berusaha bisa berdiri dan berjalan. Ia bahkan mulai berani melangkah pelan dengan bantuan alat penyangga, sementara Mbak Tia selalu ada di sampingnya, siap menangkap jika adinda kehilangan keseimbangan.
"Nona yakin mau coba jalan?" tanya Mbak Tia ada rasa degdegan.
"Iya, aku harus bisa. Aku tidak boleh lemah. Aku harus tunjukin kalau aku mampu." Kata Adinda dengan yakin.
Saat mau mencoba berdiri, rupanya Vikto datang.
"Dinda, kamu mau ngapain?" tanya Vikto yang baru aja masuk rumah.
"Kakak, aku mau belajar jalan. Dinda pasti bisa."
"Mbak Tia, minggir. Biar saya aja." Vikto langsung mengambil alih untuk berjaga-jaga kalau Adinda terjatuh. Mbak Tia mengiyakan, dan segera pindah.
"Ayo Adinda, Kakak jagain kamu."
Adinda berusaha berdiri, dan berdirinya pun mulai tegak.
"Dinda, ayo, maju."
Adinda mengangguk pelan sambil memandangi lantai.
"Aku bisa, Kak." Teriak Adinda berbinar.
“Satu langkah lagi, Dinda,” kata Vikto di pagi hari menyemangatinya. “Kamu bisa, Dinda.”
Dan saat kaki Adinda berhasil menapak lantai tanpa bantuan kursi roda, air mata Vikto menetes tanpa bisa ditahan.
“Kamu berhasil,” katanya lirih, suaranya bergetar.
Adinda pun menangis dalam pelukan Vikto. “Terima kasih, Kak... kamu gak pernah lelah buat aku.”
“Dan gak akan pernah,” jawabnya pelan, menahan haru saat memeluk Adinda.
Mbak Tia yang melihatnya pun ikut menangis, menahan isak karena begitu terharunya melihat Adinda bisa jalan lagi. Mbak Dinda menyeka air matanya, sudah begitu lama melihat Adinda hidup dalam penderitaan dan tekanan setelah keluarga Geowana tumbang, dan kehilangan anggota keluarganya, hanya menyisakan Adinda.
Hari itu, di dalam rumah yang sangat sederhana itu, Adinda merasa benar-benar hidup kembali. Bukan karena kakinya yang mulai kuat, tapi karena hatinya yang perlahan sembuh, disembuhkan oleh seseorang yang tulus mencintaunya dalam diam.
Pagi itu, udara terasa sejuk. Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantulkan kilau hangat di lantai rumah sederhana yang kini menjadi tempat tinggal Adinda dan Mbak Tia. Di ruang tengah, Adinda tengah berjuang menyeimbangkan tubuhnya dengan bantuan Vikto. Keringat membasahi pelipisnya, namun senyumnya tetap mengembang.
“Pelan-pelan aja, Dinda,” ujar Vikto lembut, berdiri di sisi kanannya sambil siap menahan tubuh perempuan itu jika terjatuh.
Adinda mengangguk pelan. “Aku mau coba tanpa pegangan, Kak.”
Vikto sempat ragu. “Kamu yakin?”
“Yakin,” jawabnya tegas, menatap ke depan dengan keberanian yang baru saja tumbuh di dalam dirinya.
Langkah pertama diambil dengan hati-hati, lalu langkah kedua... hingga tubuhnya berhasil tegak tanpa bantuan alat penyangga. Seketika, senyum haru merekah di wajah Vikto.
“Kamu bisa, Dinda!” serunya, penuh emosi.
Air mata Adinda menetes. Ia menatap kakinya, lalu menatap Vikto dengan tatapan syukur. “Aku... aku bisa berdiri, Kak.”
Tepat pada saat itu, suara lembut seorang perempuan terdengar dari ambang pintu.
“Ya Tuhan... Dinda!”
Vikto menoleh kaget.
“Oma?”
Oma Hela berdiri di sana, menatap dengan mata yang berkaca-kaca. Ia datang tanpa memberi kabar, bermaksud menjenguk Adinda karena rasa rindunya Beliau. Namun, pemandangan yang ia lihat membuat langkahnya terhenti.
Tanpa sadar, Oma menutup mulutnya menahan haru. “Akhirnya kamu bisa berjalan lagi, Nak...”
Adinda segera menunduk, air matanya semakin deras. “Oma...”
Oma Hela melangkah pelan mendekat, lalu memeluk Adinda dengan penuh kasih.
“Syukur lah, Nak... Tuhan masih sayang padamu, Nak. Oma bangga sekali melihat kamu kuat seperti ini.”
Vikto menatap keduanya dengan mata berair. Ada rasa bahagia yang sulit dijelaskan, campuran lega, syukur, dan cinta yang dalam.
Sambil menatap cucunya, Oma berkata dengan nada lembut namun penuh makna, “Kali ini, jaga dia baik-baik, Vikto. Jangan pernah biarkan dia terluka lagi.”
Vikto mengangguk penuh janji. “Vikto berjanji, Oma. Vikto gak akan biarkan Dinda menderita lagi.”
Suasana pagi itu dipenuhi kehangatan. Di rumah sederhana yang dulu terasa sepi, kini bergema tangis bahagia dan doa penuh syukur. Untuk pertama kalinya, Adinda merasa benar-benar diterima kembali, bukan sebagai perempuan yang lemah, tapi sebagai sosok yang kuat dan layak dimengerti.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Terapi dan pengobatan rutin yang dijalani Adinda membuahkan hasil luar biasa. Kini, tubuhnya pulih sepenuhnya. Ia tak lagi membutuhkan tongkat penyangga, bahkan sudah bisa berjalan dan beraktivitas seperti semula.
Setiap pagi, Vikto selalu mengantarnya kontrol ke rumah sakit dan menunggu hingga selesai. Melihat perkembangan Dinda yang begitu pesat membuat hati Vikto penuh rasa syukur.
Namun, seiring waktu, rasa bosan mulai menyelimuti Dinda. Hidupnya yang kini hanya di rumah membuatnya merasa kurang berguna. Ia ingin kembali menata hidupnya, berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.
Suatu sore, saat Vikto baru pulang dari kantor, Dinda memberanikan diri membuka pembicaraan.
“Kak…” panggilnya pelan.
Vikto menatap lembut. “Iya, Adindanya Kakak sayang? Ada apa?”
“Aku… aku ingin bekerja lagi,” ucapnya, suaranya terdengar serius tapi hati-hati. “Aku merasa sehat, dan aku gak mau cuma diam di rumah saja. Aku ingin punya kegiatan, Kak. Aku mau mandiri.”
Vikto terdiam sejenak, menatap wajah Dinda yang begitu serius. “Kamu yakin sudah sanggup?”
Dinda tersenyum lembut. “Iya, aku yakin. Lagipula, aku sudah sembuh. Aku gak mau terus merepotkan kamu, Kak.”
Vikto menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Kamu gak pernah merepotkan Kakak, Dinda. Tapi kalau itu keinginan kamu, Kakak gak akan melarang. Kamu mau kerja di mana?”
“Aku mau coba daftar di- dimana ya?” tanya Dinda bingung. “Aku tahu sedikit tentang pekerjaan di kantor. Aku bisa bantu bagian apalah, atau kerjaan apa aja Dinda mau kok.”
Vikto menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baik, besok aku bantu proses pendaftarannya. Tapi kamu tetap ikut tes, sama seperti karyawan lain, ya?”
“Tentu,” ucap Dinda penuh yakin dengan keseriusannya. “Aku mau diterima karena kemampuanmu, bukan karena belas kasihan.”
Mendengar itu, Vikto tersenyum bangga. “Itu baru Dinda yang aku kenal.”
_____
Keesokan harinya, Dinda datang ke kantor bersama Mbak Tia. Wajah keduanya tampak bersemangat. Vikto sudah menyiapkan semua berkas dan mengarahkan mereka ke HRD.
Dinda mengikuti tes dengan penuh percaya diri. Sedangkan Mbak Tia, dengan latar belakang pengalamannya membantu Dinda selama ini, mengajukan diri sebagai petugas kebersihan dan OB di kantor yang sama.
Beberapa hari kemudian, hasil seleksi keluar. Dinda dinyatakan diterima di bagian administrasi, sedangkan Mbak Tia resmi menjadi OB di gedung yang sama.
Saat menerima kabar itu, Dinda menatap Vikto dengan mata berbinar.
“Terima kasih, Kak. Aku janji gak akan mengecewakan Kakak.”
Vikto membalas dengan senyum tulus. “Aku gak pernah ragu sama kamu, Dinda. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Dinda tersenyum berbinar di hadapan Vikto.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..