Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selidiki Mereka
Amar duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan wajah tegang. Pikirannya tidak pernah berhenti memutar kejadian malam itu. Gambar Elma yang tergeletak dengan darah bercucuran terus menghantui benaknya. Ia mengepalkan tangan erat, amarah dan rasa bersalah bercampur menjadi satu.
Namun Amar sadar, membiarkan emosinya menguasai keadaan tidak akan menyelamatkan Elma. Ia butuh tindakan yang pasti. Laporan pada pihak berwajib mungkin menjadi pilihan yang wajar, tetapi Amar tahu dengan siapa ia berhadapan. Diana, Ratna, Dion, dan Fira bukan orang biasa. Mereka licik, pandai memanipulasi keadaan, dan memiliki cukup kekuatan untuk membalikkan tuduhan. Alih-alih mendapat keadilan, justru Elma bisa kembali menjadi korban fitnah.
Maka, Amar memilih jalannya sendiri. Malam itu juga, setelah memastikan kondisi Elma stabil, ia menghubungi salah satu orang kepercayaannya, Reon.
“Reon, aku ingin kau dan anak buahmu menyelidiki sesuatu,” ucap Amar dengan nada datar namun tajam.
“Ada masalah apa?” tanya Reon, suara di seberang terdengar penuh kewaspadaan.
“Cari tahu semua yang berkaitan dengan Dion dan keluarganya. Aku ingin bukti, sekecil apa pun, yang menunjukkan mereka terlibat dalam penyerangan terhadap Elma. Jangan ada yang terlewat. Aku yakin ini bukan sekadar kebetulan.”
Reno terdiam sebentar sebelum menjawab mantap, “Baiklah. Kami akan bergerak malam ini juga.”
Amar menghela napas panjang, namun belum berhenti. Ia menambahkan perintah kedua.
“Dan satu lagi. Selidiki latar belakang Fira. Aku yakin perempuan itu tidak sesederhana yang terlihat. Ada sesuatu di balik kemurahan hatinya terhadap keluarga Dion. Cari tahu hubungan keuangannya, bisnis yang dia jalankan, siapa orang-orang di belakangnya. Aku ingin semua terang benderang.”
“Perintahmu akan kami jalankan. Kami akan segera melaporkan perkembangan,” jawab Reon singkat sebelum menutup sambungan.
Amar lalu bersandar di kursi dengan mata menatap langit-langit. Ia tahu apa yang dilakukannya berisiko. Namun, membiarkan Elma terus dihancurkan oleh orang-orang licik adalah hal yang mustahil baginya.
Keesokan harinya, Amar masih setia di rumah sakit. Ia jarang beranjak dari sisi Elma. Sesekali ia menenangkan perempuan itu dengan kata-kata lembut, meski Elma lebih sering terdiam. Luka kehilangan yang ia alami terlalu besar untuk diungkapkan lewat kata-kata.
Saat Amar keluar sejenak untuk menerima panggilan, Reno kembali melapor.
“Amar, kami sudah menemukan beberapa hal. Memang belum banyak, tetapi cukup memberi gambaran. Dua orang preman yang semalam masuk ke rumah Elma ternyata sering terlihat berhubungan dengan salah satu orang dekat keluarga Diana. Nama orang itu Gugun, mantan sopir pribadi mereka. Kami memiliki foto dan rekaman percakapan singkat yang bisa mengarah pada keterlibatan keluarga Dion.”
Amar mengangguk puas. “Bagus. Itu awal yang baik. Jangan hentikan penyelidikan. Aku ingin semuanya jelas, agar tidak ada ruang bagi mereka untuk mengelak.”
“Baik, Tuan. Mengenai Fira, kami menemukan catatan keuangan yang aneh. Dia memang terlihat kaya, tetapi sumber uangnya tidak jelas. Ada indikasi dia terlibat dalam bisnis gelap, mungkin juga pencucian uang. Kami masih menelusuri lebih jauh.”
Alis Amar berkerut. Dugaan itu semakin menguatkan keyakinannya. Fira bukan hanya sekadar istri Dion yang manja, melainkan seseorang yang memegang kendali atas permainan besar.
“Teruskan, Reon. Jangan berhenti sampai semua akar busuknya ketahuan,” kata Amar tegas.
Untuk sekarang, Amar belum berniat un melaporkan kejadian pada pihak yang berwajib karena menurutnya, balas dendam lebih baik dilakukan secara pribadi.
Sementara itu, di rumah besar Ratna, suasana penuh tawa. Diana dan Fira sibuk merencanakan liburan, seakan tidak ada beban sama sekali. Mereka tidak pernah menyangka bahwa di luar sana, seseorang tengah bergerak membongkar topeng mereka.
“Lihat saja, Elma itu pasti tidak akan berani melawan lagi,” ucap Fira dengan tawa meremehkan.
Ratna menimpali, “Baguslah, agar Dion dan keluarga kita bisa hidup tenang. Tidak ada lagi beban.”
Dion hanya duduk diam, meneguk minumannya tanpa bicara. Dalam hati ia tahu apa yang terjadi terlalu kejam, tetapi keinginan mempertahankan kemewahan membuatnya bungkam.
Namun, ketenangan itu hanyalah sementara. Perlahan-lahan, lingkaran kebenaran mulai menutup mereka. Amar sudah memegang ujung benang, dan cepat atau lambat, semua kebusukan akan tersingkap.
Amar sendiri, meski hatinya penuh amarah, bertekad untuk bersabar. Ia tidak ingin gegabah. Ia tahu Elma membutuhkan perlindungan yang nyata, bukan hanya luapan emosi.
Malam itu, ketika ia kembali duduk di sisi ranjang Elma yang masih terlelap, Amar berjanji dalam hati: “Aku akan melindungimu, Elma. Aku akan memastikan mereka membayar setiap air mata dan setiap luka yang mereka berikan padamu.”
Dan janji itu bukan sekadar ucapan. Itu adalah sumpah yang siap ia wujudkan dengan segala cara, meski harus menghadapi kegelapan yang paling dalam.
***
Elma terbangun dengan wajah yang masih pucat. Ia menoleh perlahan, mendapati Amar duduk di sisi ranjang dengan pandangan penuh cemas. Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara detak mesin medis yang terdengar pelan.
“Elma…” suara Amar pelan, mencoba menenangkan. Namun Elma menatapnya dengan mata yang kini dipenuhi air mata sekaligus api dendam.
“Aku tidak akan pernah melupakan ini, Amar,” ucap Elma dengan suara bergetar. “Mereka… Diana, Ratna, Dion, dan Fira, mereka semua ingin aku hancur. Mereka ingin aku mati bersama anakku. Aku tidak akan membiarkan itu. Aku ingin melihat mereka jatuh, aku ingin mereka hancur seperti sampah. Hanya dengan begitu, aku bisa membalas rasa sakit dan penderitaan yang sudah mereka ciptakan untukku.”
Amar terdiam, menatap Elma dengan hati yang ikut perih. Ia tahu kata-kata itu lahir dari luka terdalam, dari kehilangan yang tidak bisa digantikan. Perlahan, ia menggenggam tangan Elma, mencoba menguatkan.
“Elma,” katanya tegas, “jangan ragukan aku. Aku akan membantumu. Aku akan berdiri di sampingmu sampai mereka semua membayar. Aku punya cara, aku punya orang. Mereka pikir bisa bermain dengan nyawa orang seenaknya, tapi mereka salah. Kau tidak sendirian.”
Air mata Elma kembali jatuh, namun kali ini bukan hanya tangis kesedihan. Ada rasa lega karena seseorang benar-benar berdiri untuknya. Ia menatap Amar lebih lama, seolah mencari kepastian di balik ucapannya.
“Janji, Amar,” bisiknya. “Jangan biarkan mereka tertawa di atas penderitaanku lagi.”
Amar mengangguk mantap, genggamannya semakin erat. “Aku berjanji, Elma. Aku akan pastikan satu per satu dari mereka merasakan balasan. Kau hanya perlu bertahan, fokus untuk sembuh. Sisanya, biarkan aku yang mengatur.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini berbeda. Di balik kelemahan tubuh Elma, tersimpan bara dendam yang membara. Dan di balik ketenangan wajah Amar, tersimpan tekad baja untuk menunaikan janjinya.
Malam itu, keduanya sama-sama tahu, jalan yang mereka pilih bukanlah jalan biasa. Itu jalan balas dendam. Jalan yang mungkin berbahaya, tapi satu-satunya yang bisa memberi arti pada penderitaan yang telah mereka alami.