Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 : Ketidaktahuan yang Aneh
Pintu berderit pelan saat Ya Ting masuk, membawa sepasang jubah putih di tangannya. Pandangannya langsung tertuju pada Lian Hua yang tergeletak di lantai.
“Permaisuri, apa yang terjadi? Bukankah lukanya seharusnya tidak terasa sakit?” tanyanya panik, segera berlutut.
Lian Hua mengangkat kepala, menggeleng lemah, lalu perlahan bangkit. Ia masih mampu berdiri, namun rahangnya mengeras saat nyeri di punggungnya menusuk. Ia sama sekali tidak mengerti cara kerja Serbuk Seribu Racun yang tadi diberikan.
“Air hangatnya sudah siap,” ujar Ya Ting hati-hati. “Apakah Permaisuri ingin saya membantu?”
“Aku bisa sendiri,” jawab Lian Hua singkat. “Hanya… siapkan saja kain panjang. Rebus, keringkan, lalu bawakan setelah aku selesai mandi.”
Ya Ting sempat mengerutkan kening, ingin bertanya, namun menahan diri. Ia hanya mengangguk.
“Bisa tunjukkan jalan ke pemandian?” tambah Lian Hua.
Pertanyaan itu membuat Ya Ting sedikit ragu. Biasanya, Lian Hua tidak pernah meminta diantar, ia hafal betul setiap sudut kediaman ini, dan jarang mau dilayani kecuali di depan umum.
Namun, tanpa berkomentar, Ya Ting berbalik dan berjalan di depan.
Beberapa langkah dalam keheningan, rasa ingin tahunya tak tertahan. “Apakah Permaisuri lupa letaknya?”
Lian Hua menoleh sekilas, nada suaranya datar. “Aku memang tidak tahu. Karena itu, tunjukkan jalannya.”
Ya Ting tertegun. Tidak tahu? Untuk seorang Permaisuri Lian Hua, itu terasa mustahil. Namun ia hanya mengangguk lagi, menuntun dengan langkah tenang.
Di belakangnya, Lian Hua menatap hampa. Sekilas, dingin merambat di matanya. Dagunya terangkat sedikit, wajahnya berubah tegas, seolah tidak sedang kesakitan. Tapi saat mencapai pertigaan menuju pemandian, semuanya lenyap. Lesu kembali menyelimuti wajahnya, langkahnya kembali goyah.
Ya Ting membuka pintu kayu berat itu. Aroma uap panas menyambut mereka. Lian Hua melangkah masuk tanpa menoleh, meninggalkan pertanyaan yang mengendap di benak Ya Ting.
Ruangan itu dihiasi patung-patung naga di beberapa sudut, sementara obor-obor yang menyala di dinding memantulkan cahaya ke permukaan air, menciptakan bayangan bergerak di dinding dan langit-langit batu. Keseluruhan tempat itu tampak megah, seperti milik bangsawan.
Lian Hua menyapu pandangannya ke sekeliling. Ia mulai paham di mana ia berada, dan kesimpulan itu semakin jelas di pikirannya.
“Mandilah dengan tenang. Aku akan kembali membawa kain yang kau minta,” kata Ya Ting lembut sebelum meninggalkannya.
Setelah pintu pemandian tertutup, Lian Hua berdiri seorang diri di tengah ruangan itu. Ia melepas semua pakaiannya, menaruhnya rapi di pembatas batu, lalu melangkah masuk ke air. Suhu panasnya langsung merayap ke kulit kakinya, membuatnya memejamkan mata sejenak.
Ia berjalan perlahan ke tengah kolam hingga airnya mencapai pinggang. Namun, begitu air menyentuh luka di kaki dan tangannya, ia meringis. Saat air itu mengenai punggungnya, rasa perih yang menyengat membuatnya hampir meloncat keluar dari kolam.
Menggertakkan gigi, ia beringsut kembali ke pinggir. Dari tumpukan pakaiannya, ia mengambil sebuah botol kecil dari tanah liat yang diukir indah, tersembunyi di antara lipatan kain. Ia membuka tutupnya, lalu menuangkan isinya perlahan ke punggungnya.
Cairan kental berwarna putih kekuningan mengalir menuruni punggungnya, menyebar hingga menutupi seluruh luka yang menganga. Lian Hua menggigit bibirnya, kedua tangannya mencengkeram pembatas batu untuk menahan rasa perih yang membakar kulitnya.
Setelah obat itu habis, ia tetap bersandar di pinggir kolam, wajahnya dibenamkan di kedua tangan yang terlipat. Nafasnya berat, matanya terpejam.
“Beruntung sekali… aku menemukan tumbuhan thyme itu,” gumamnya, membiarkan suara air menjadi satu-satunya yang mengisi ruangan.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂