Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Goa Serintik Harum
Mita bergerak cepat, meraih lengan Kirana dengan sekuat tenaga. "Pegang erat-erat, Kirana!"
Sementara itu, Kirana berusaha keras untuk menyeimbangkan diri, kakinya mencoba menemukan pijakan yang stabil. Dengan usaha keras dari keduanya, Mita berhasil menarik Kirana kembali ke tengah jembatan.
"Terima kasih, Kak Mita," ucap Kirana dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca, dan napas berderu kencang karena merasa syok dengan apa yang baru saja menimpanya.
Mita tak membalas ucapan terima kasih yang Kirana lontarkan, karena ada hal yang lebih penting dari itu, yaitu keluar dari jembatan ini sebelum terjadi sesuatu yang lebih buruk dari sebelumnya.
"Pegang tanganku, kita akan melangkah bersama," perintahnya.
Kirana langsung menggenggam tangan Mita dengan erat.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati, setiap langkah diambil dengan penuh perhitungan. Mita terus memegang tangan Kirana, memberikan rasa aman dan keyakinan. Akhirnya, mereka bisa menarik napas dengan lega karena berhasil melintasi jembatan dengan selamat.
"Apa kau merasakan sesuatu Kirana?" tanya Mita, masih terlihat sangat khawatir.
Kirana tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Aku tidak apa-apa, sungguh."
"Jika kau merasakan sesuatu. Kita bisa menunda perjalanan sebentar."
Kirana menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak-tidak, jika kita menunda perjalanan, itu tidak baik. Ini bisa lebih lama dari waktu yang sudah dijadwalkan. Sekarang aku tidak apa-apa. Kak Mita tidak perlu khawatir."
Mita mengembuskan napas kasar. "Kau ternyata sangat keras kepala, ya."
Kirana hanya tersenyum tipis, meneguhkan hatinya dan tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan, tidak ingin menjadi beban bagi Mita atau menghambat misi penting mereka.
"Baiklah. Mari kita lanjutkan, tapi hati-hati. Kita akan melangkah lebih perlahan."
Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini jauh lebih berhati-hati untuk meminimalisir bahaya. Mita sesekali menoleh ke arah Kirana, memastikan bahwa gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan.
Sebenarnya kondisi Kirana tidak bisa dikatakan baik sepenuhnya. Saat tergelincir di jembatan tadi, lututnya terhantuk cukup keras di kerangka jembatan. Dia menderita nyeri akibat rasa memar yang diterimanya. Namun, Kirana tidak ingin menunjukkan rasa sakit itu sama sekali. Dia sudah bertekad untuk tidak menjadi lemah dan menyusahkan orang lain, seperti yang dia lakukan sejak dulu
***
Setelah melintasi perjalanan panjang dan berhasil melewati insiden tak terduga yang nyaris memakan korban jiwa, akhirnya Kirana dan Mita tiba di tempat tujuan. Ada sebuah goa yang tertutup air terjun, tersembunyi dari pandangan dunia luar. Suasana sejuk dan segar memenuhi lingkungan sekitar, seolah-olah alam menyambut kedatangan mereka dengan caranya sendiri. Udara dipenuhi dengan aroma segar dari tumbuhan basah, dan suara gemuruh air terjun menciptakan melodi alam yang menenangkan seperti surga dunia.
Mita dengan penuh perhatian menggenggam tangan Kirana, menuntunnya masuk ke dalam goa. Rasa lega dan kekaguman terpancar di wajah Kirana ketika mereka melangkah melewati tirai air terjun yang menutupi mulut goa. Gemuruh air terjun membuat suara-suara dari luar seakan lenyap.
Saat mereka melintasi air terjun, mulut goa yang agak menyerupai sebuah sumur terlihat. Medan yang dilalui untuk sampai ke rumah singgah cukup menantang. Kirana dan Mita harus melalui lengkungan semacam tangga yang agak curam, terbuat dari tanah yang dibentuk dengan teliti. Tangga ini berkelok-kelok, menuruni tebing dalam goa dengan langkah-langkah yang kecil dan teratur.
Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Kirana mengikuti langkah Mita, tangan mereka tetap saling menggenggam untuk menjaga keseimbangan. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat karena sedikit saja kesalahan bisa berakibat fatal. Cahaya temaram dari kristal alami yang bersinar biru di dinding goa membantu menerangi jalan mereka.
Usai beberapa menit berjalan menuruni tangga, mereka akhirnya sampai di ujung tangga. Di hadapan mereka ada sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal dengan ukiran-ukiran kuno.
Mita mengetuk pintu dengan pola tertentu. Pintu perlahan terbuka, dan mereka disambut oleh seorang lelaki muda berusia sekitar 12 tahun dengan rambut berwarna abu gelap dan mata hijau zamrud yang teduh. Di sampingnya, berdiri seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun dengan rambut berwarna pink dan mata hijau zamrud khas keluarga Yasa.
Dirga, lelaki muda tersebut, menundukkan kepala tanda hormat. "Selamat datang, Kak Mita. Senang melihatmu kembali."
Mita membalasnya dengan senyuman hangat sambil mengelus pucuk kepala anak lelaki itu dengan lembut. Lalu memeluknya dengan gemas seperti adik sendiri. "Ternyata kau sudah besar, Dirga! Terakhir kali kakak datang kemari, saat itu usiamu masih 7 tahun," ucap Mita dengan bangga bisa melihat salah satu anak kesayangannya telah tumbuh dengan baik. Sikap Mita yang demikian berhasil membuat Dirga malu, wajahnya sampai menjadi merah merona.
"Kakak jangan memperlakukanku seperti anak kecil. Kakak saja jarang datang menemui kami," gerutu Dirga memasang wajah cemberut.
"Maafkan, Kakak. Kakak jarang datang menemui kalian. Pasti kalian kecewa."
"Aku gak marah. Ayah dan Bunda juga bilang kalau aku gak boleh marah sama Kakak. Katanya Kakak punya impian yang harus diwujudkan. Jadi, aku justru senang karena sepertinya Kakak berhasil mewujudkan impian Kakak itu."
Kirana hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka berdua yang sangat menggemaskan. Rasanya Kirana tahu bagaimana diperlakukan seperti itu, karena dulu Lauri sering melakukannya pada Kirana sewaktu usianya masih kecil.
Mita kemudian melihat anak kecil perempuan yang bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. Anak itu sangat menggemaskan dengan rambut pink yang kontras dengan mata hijau zamrud. Dia terlihat malu-malu, hanya berani mengintip sedikit dari balik tubuh kakaknya.
Mita jongkok di depan anak itu dan tersenyum lembut. "Halo, Sayang. Namamu siapa?" tanya Mita dengan suara ramah.
Anak kecil itu semakin menyembunyikan wajahnya, tapi dia tetap menjawab meski suaranya terdengar pelan, "Namaku Ayu."
Mita tertawa kecil, mengulurkan tangan. "Senang bertemu denganmu, Ayu. Kamu sangat cantik. Apakah kamu mau berjabat tangan dengan Kakak?"
Ayu tampak ragu sejenak, kemudian dengan malu-malu mengulurkan tangan kecilnya untuk menyambut tangan Mita. Sentuhan itu membuat Ayu tersenyum, sedikit merasa lebih nyaman.
"Kamu menjaga kakakmu dengan baik, ya?" Mita berkata, sambil menggenggam tangan Ayu. Ayu mengangguk pelan, masih tersipu.
Dirga yang mendengarnya langsung protes. "Mana mungkin Ayu yang sekecil ini menjagaku. Justru aku lah yang menjaganya."
Mita tertawa mendengar omelan Dirga. "Oh, tentu saja, Dirga. Aku yakin kamu adalah kakak yang sangat baik dan bertanggung jawab. Tapi Ayu juga pasti melakukan yang terbaik untuk membantumu, bukan begitu, Ayu?"
Ayu mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman yang lebih lebar. "Iya, Kak Mita. Aku selalu membantu Kak Dirga."
"Ya, Ayu memang suka membantu. Tapi aku yang menjaga dan melindungi dia." Dirga masih tidak mau kalah.
Mita mengusap kepala Ayu dengan lembut. "Kalian berdua hebat. Terima kasih sudah menjaga satu sama lain."
Kirana yang menyaksikan interaksi tersebut merasakan hangat di hatinya. Seandainya saja, Kirana juga melakukan hal yang sama pada Lauri dan Sandra. Pasti kehidupan yang mereka jalani akan jauh lebih baik dan penuh kebahagiaan. Kirana menghela napas dengan kasar, terlalu banyak hal yang membuatnya teringat dengan kehidupan di mana tempatnya berasal.
Melihat ekspresi Kirana yang berubah, Dirga yang peka segera mengajak kedua tamunya itu untuk masuk dan beristirahat terlebih dahulu.
"Mari, Kak. Kalian pasti lelah setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Aku sudah menyiapkan tempat istirahat dan makan malam untuk kalian," ujarnya dengan ramah.
Dirga memimpin jalan melalui lorong dalam goa yang diterangi oleh cahaya lentera yang menggantung di langit-langit. Ayu berjalan di sampingnya, sesekali melirik Kirana dengan mata penasaran. Mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dengan beberapa tempat tidur yang nyaman dan juga terlihat rapi serta bersih. Meja makan di sudut ruangan sudah dihiasi dengan hidangan sederhana namun menggugah selera.
"Ayo, silakan duduk. Makanannya masih hangat," kata Dirga sambil menunjuk ke arah meja makan.
Mita dan Kirana duduk di meja, merasa bersyukur atas keramahan dan kebaikan keluarga Yasa.
"Terima kasih, Dirga. Kamu sangat baik," ucap Mita dengan tulus.
Kirana ikut menimpali, "Ya, terima kasih banyak, Dirga. Maaf sudah merepotkan."
Dirga tersenyum bangga. "Sama-sama, Kak. Kami tidak merasa kerepotan sama sekali, justru kami merasa senang dan terhormat karena bisa membantu."
Sembari menyantap makan malam, Mita sesekali bercerita perjalanan panjang yang mereka tempuh. Dirga dan Ayu turut mendengarkan dengan khusyuk. Sampai akhirnya mereka berpisah setelah sesi makan malam bersama usai. Dirga mengantar kedua tamunya ke kamar masing-masing dan mempersilakan mereka untuk beristirahat.
"Ini kamar kalian. Silakan beristirahat. Jika butuh apa-apa, jangan ragu untuk memanggil kami."
Kirana berterima kasih lagi sebelum masuk ke kamarnya. Dia merebahkan diri di tempat tidur yang nyaman, merasakan kelelahan setelah perjalanan panjang yang ditempuh. Namun pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai kenangan dan penyesalan. Dia berharap bisa menemukan kedamaian dan jawaban di tempat ini sebagaimana yang disampaikan oleh Empu Agung.
Di sisi lain, Mita juga sedang beristirahat. Dia sangat bersyukur bahwa perjalanan yang mereka tempuh sejauh ini berjalan dengan lancar. Selanjutnya adalah melakukan ritual sembahyang dan Mita akan melakukan yang terbaik selama proses ritual berlangsung.
Bersambung
Selasa, 30 September 2025