Bagi Dira pernikahan adalah sebuah mimpi indah. Dira tak menyangka pria yang tiba-tiba mau menikahinya di hari pernikahan, disaat calon suaminya menghilang tanpa jejak, ternyata menyimpan dendam masa lalu yang membara.
Denzo tak menikahinya karena cinta melainkan untuk balas dendam.
Namun, Dira tidak tahu apa dosanya hingga setiap hari yang ia lalui bersama suaminya hanya penuh luka, tanya dan rahasia yang perlahan terungkap.
Dan bagaimana jika dalam kebencian Denzo, perlahan tumbuh perasaan yang tidak ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ars Asta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Entah mengapa sikap Mas Denzo berubah-ubah, kadang ia tidak terlalu dingin padaku tapi kadang juga ia sangat dingin juga kasar. Aku bingung, aku belum menemukan kesalahan yang aku perbuat. Tapi sikap mas Denzo membuat hati terasa sesak dan sakit.
Dira melamun saat berjalan keluar rumah. Ia bahkan tak sadar pada pelayan yang menyapanya saat berjalan keluar.
"Nona."
Salah satu sopir memanggilnya saat ia sudah berada di halaman depan.
Dira menoleh. "Ada apa pak?"
"Tuan memerintah saya untuk mengantar Nona," ucap Sopir itu.
Dira tersenyum menanggapi. "Oke, kalau gitu antar saya ke rumah orang tua saya sekarang pak."
"Baik Nona. Mari." Sopir itu membukanya pintu mobil untuk Dira.
"Makasih pak."
Mobil itu kini melaju di jalan raya. Dira menatap ke luar jendela.
Ponsel di tangannya berdering. Nama Gina tertera di sana.
"Halo." Ia mengangkat panggilan itu.
"Dira, hari ini kamu sibuk nggak? Jalan yuk?" Suara Gina terdengar dari Seberang telpon.
"Aku nggak bisa Gin, ada yang aku urus. Maaf ya lain kali aja." Dira merasa tidak enak menolak. Ia juga berbohong kepada sahabatnya itu.
"Yahhh, kirain kamu lagi nggak ngapain-ngapain." Suara kecewa Gina terdengar.
"Maaf Gina."
"Iya gapapa, aku jalan barengan sepupu aku aja kalau gitu. Kirain kamu pas nolak ajakan Alan itu bohong."
"Nggak, aku emang ngga bisa karena sibuk, juga jarak sama dia."
"Yaudah, aku tutup telponnya ya, maaf nih ganggu kesibukannya." Gina tertawa kecil.
"Iya gapapa Gina, kamu juga have fun ya, sorry aku ga bisa nemenin."
"It's okay Ra. Bye Ra." Sambungan panggilan itupun terputus.
Dira menatap ponselnya, ia membuka foto pernikahannya. Mempelai pria terlihat tersenyum, sedangkan ia mempelai wanita tersenyum kecil agar tidak terlihat tegang dan gugup.
Dira mengusap layar ponselnya. Wajah Denzo terlihat tampan sekali saat tersenyum. Dan ia tidak pernah melihat senyum Denzo lagi setelah menikah yang hanya ada tatapan dingin dan tajam laki-laki itu.
Beberapa menit perjalanan, Dira akhirnya sampai di rumahnya. Sopir berhenti tepat di depan rumah orang tua Dira.
"Masukin aja pak mobilnya," ucap Dira.
Sopir pun mengangguk dan memasukkan mobil ke halaman rumahnya. Rumah Dira cukup besar tapi tidak sebesar Rumah Gritama yang bahkan punya rumah khusus pelayan dan supir di belakangnya.
Dira turun dari mobil. Tanpa pikir panjang,Dira melangkah ke dalam.
"Nona Dira." Sapa satpamnya.
Dira mengangguk membalas sapaan satpam itu. Ia lalu melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
Beberapa pelayan menyapa dan menyambutnya masuk.
"Mama sama Papa di mana?" tanya Dira pada salah satu pelayan.
"Tuan dan Nyonya di ruang tengah Nona." Pelayan itu menjawab dengan sopan.
Mendengar ucapan Pelayan Dira lantas berjalan ke ruang tengah. Di sana ia melihat orang tuanya sedang duduk santai di sofa dengan TV yang menyala juga cemilan di atas meja.
Wanita itu tersenyum melihat pemandangan itu, terasa hangat kedekatan orang tuanya.
Ia lalu mendekat, memeluk sang ibu dari belakang.
"Tebak siapa?"
Sang ibu langsung membalikkan tubuhnya. "Dira, kamu akhirnya ke rumah juga." Ia berdiri memeluk putrinya.
Lena menarik putrinya duduk disampingnya.
"Kamu sendiri kesini? Suami kamu mana?" tanya Lingga pada putrinya.
Dira menggeleng pelan. "Mas Denzo ga bisa ikut Pa, dia ada kerjaan jadi ga kesini." Dira berusaha tersenyum, tak mau orang tuanya curiga.
Maaf Pa, Ma. Aku harus bohong lagi sama kalian.
"Yaudah gapapa. Kamu udah makan?" Lena menggenggam tangan Dira.
"Udah Ma."
"Gimana kalau hari kita belanja ke mall dan salon juga?" tanya Lena memberikan saran.
Dira tersenyum antusias. "Boleh Ma, udah lama kita nggak jalan-jalan bareng."
"Papa mau ikut?" Dira menatap sang Ayah.
"Kalian pergi berdua aja. Papa mau di rumah aja." tolak Lingga.
"Yahhh, kok gitu sih." Dira cemberut, ia pindah duduk di samping ayahnya.
"Ayolah Pa, masa aku berdua doang sama Mama." Dira memegang lengan ayahnya.
"Papa mau kerja sayang," ucap Lingga lembut. Ia tersenyum dan mengelus tangan anaknya di lengannya.
"Udah biarin aja kalau Papa kamu ngga mau ikut. Kita berdua aja sayang," ucap Lena.
"Papa mu itu memang suka sekali sama kerjaannya," lanjut Lena. Ia menyindir suaminya sendiri.
Sedangkan Lingga hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya.
"Udah sana siap-siap Dira nanti lama nunggunya." Lingga menyuruh sang istri.
"Iya." Lena menatap malas sang suami. Tapi ia tetap berdiri dari sofa dan melangkah ke kamarnya.
Dira tertawa kecil melihat ibunya yang kesal.
"Papa ih, tuhkan mama jadi badmood karena Papa," ucap Dira. Ia memukul pelan lengan Ayahnya.
Lingga ikut tertawa. Ia suka saat Lena kesal begitu dan ia sering menjahili istrinya itu.
"Udah gapapa, mama kamu emang gitu," ujarnya
"Oh iya, Papa mau nanya sesuatu," ungkap Lingga. Tubuhnya menghadap ke putrinya.
"Apa Pa?"
"Kamu ngga mau naik jabatan jadi Direktur di perusahaan Papa?" tanya Lingga menatap lekat Dira.
Dira menggeleng pelan. "Untuk sekarang ngga dulu deh, Pa. Aku udah nyaman jadi Manager di perusahaan Papa," jawab Dira.
"Kamu yakin?" Sang Ayah memastikan.
"Iya Pa. Kalau aku mau nanti aku bilang deh," ucap Dira. "Kan aku ngga mau juga teman atau karyawan lain tahu kalau aku anak Papa."
"Yaudah kalau gitu mau kamu." Lingga menghargai keputusan putrinya.
Beberapa menit berlalu Dira dan Lingga masih duduk di sofa menunggu Lena. Mereka menunggu sambil menonton TV.
"Lama banget kalau mama kamu dandan," ujar Lingga.
"Gapapa Pa. Namanya juga wanita pasti gitu." Dira membela Ibunya.
"Tapi mama kamu itu lebih lama." Lingga mengambil cookies di meja dan memakannya.
Dira tertawa kecil.
Ayahnya ini ngga ada takutnya membicarakan tentang ibunya. Kalau Lena dengar bisa-bisa marah.
Tiba-tiba Lena datang dengan pakaian yang beda, ia juga sudah memakai riasan di wajahnya.
"Kalian ngomongin mama ya?" Lena bertanya. Alisnya naik menatap suami dan putrinya.
"Ngga, kita cuma ngobrol biasa," elak Lingga.
"Aku mau hubungi Mas Denzo dulu ya, Ma, Pa." Dira berdiri dan melangkah menjauh.
Ia memilih mengirim pesan daripada menelpon Denzo, karena tak mau mengganggunya.
"Aku izin ke mall ya Mas, aku bareng Mama perginya."
Ia Menunggu balasan dari Denzo. Tapi laki-laki itu hanya membaca pesannya.
Kenapa cuma dibaca aja Mas?