Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vip
Ambulans berhenti dengan hentakan ringan di depan Instalasi Gawat Darurat. Pintu belakang langsung dibuka, dan udara dingin sore menerobos masuk ke dalam kabin. Paramedis segera menarik tandu keluar, Raka masih terbaring santai di atasnya, sementara Cheviolla dengan wajah cemas tak henti mengikuti di sampingnya.
Sepatu Kets beradu cepat dengan roda tandu yang bergulir. Suaranya menggema di lorong-lorong rumah sakit yang berbau antiseptik. Para perawat dan dokter jaga langsung menyambut mereka di pintu IGD.
"Pasien laki-laki, jatuh dari kendaraan dalam kecepatan tinggi. Masih sadar, luka luar tampak ringan, tapi harus dicek lebih lanjut!" ujar salah satu petugas medis.
Dokter jaga — pria paruh baya dengan kacamata bulat — mengernyitkan dahi. Ia menatap wajah Raka, lalu menoleh ke arah Cheviolla yang terus mengikuti tanpa jeda.
“Apa benar ini kecelakaan di jalan tol?” tanya sang dokter, ragu.
Cheviolla mengangguk cepat. “Iya… dia lompat keluar dari mobil yang melaju 100 kilometer per jam. Di tol,” jawabnya, suara tercekat tapi jelas.
Dokter mendadak terdiam.
“…Maaf, apa tadi Anda bilang?” alis sang dokter langsung terangkat. Beberapa perawat juga saling menatap, bingung.
“Dia… lompat dari mobil. 100 km per jam. Di jalan tol.” ulang Cheviolla, pelan tapi yakin.
Dokter itu memandang Raka seolah sedang berhadapan dengan makhluk aneh. “Lompat dari mobil dengan kecepatan segitu… tapi…”
Tatapannya menelusuri kondisi tubuh Raka — hanya sedikit luka lecet di siku, sedikit goresan di kaki, dan tak ada tanda-tanda fraktur, patah, atau trauma serius.
“Ini mustahil…” gumam dokter pelan.
Tapi sebelum suasana jadi terlalu serius, suara Raka menyela — dengan nada bercanda khasnya.
> “Udahlah, Dok… perban aja. Beresin luka-luka kecil, kasih saya vitamin, saya bisa langsung cabut nih. Banyak kerjaan, mau ngerayain punya pacar baru..
"Diam..!!!" Teriak Cheviolla
"Kami tetap harus lakukan CT scan dan observasi. Standar prosedur, apalagi habis kecelakaan macam itu."
Cheviolla menggigit bibir, lalu mengangguk singkat. “Baik. Tapi setelah itu langsung pindahkan dia ke kamar VIP.”
> “Kalau begitu, scan sekarang,” ucap Cheviolla tegas. “Saya akan tanggung semua biayanya.”
Raka yang mendengar itu hanya menyeringai dari balik tirai. “Ciyee... dengerin tuh, dok. Tunangan gue udah kayak istri banget. Manja dikit gak papa dong?”
> “Lu ngomong sekali lagi, gue tonjok lu!” bentak Cheviolla , tapi suaranya gemetar”
> “Tapi tetap lo genggam tangan gue dari tadi, kan?” bisik Raka, masih dengan senyum tipis.
Wajah Cheviolla memerah. Ia mengusap matanya cepat-cepat dan berkata pada suster, “Cepat siapkan semuanya. CT scan dulu, lalu VIP. Jangan tunda.”
Suster mengangguk dan segera bersiap.
Dan Cheviolla... masih berdiri di lorong IGD, menggenggam erat tas tangannya, mencoba terlihat tenang, padahal jantungnya terus berdegup seperti alarm yang tak kunjung mati.
..
..
..
Raka dibawa masuk oleh perawat setelah selesai menjalani CT scan. Meski masih mengenakan pakaian pasien dan beberapa perban ringan di tangan serta bahu, pemuda itu tetap terlihat segar. Bahkan, begitu tatapannya menangkap wajah Cheviolla, senyum nakalnya langsung mengembang.
“Wah,” gumam Raka, masih sempat menyeringai. “Ratu Es kampus menunggu cowoknya di bangsal VIP. Dunia pasti sedang tidak waras.”
...
Raka baru saja selesai makan bubur hangat yang dibawakan perawat. Sisa saus kecap manis masih menempel di sudut bibirnya, tapi dia tidak peduli. Ia bersandar santai di ranjang rumah sakit, sesekali melirik Cheviolla yang duduk di sofa dengan kaki disilangkan dan wajah setengah malas memperhatikannya.
“Eh, Vi…” panggil Raka tiba-tiba, “kalo kita pacaran sekarang, status gue naik dong ya? Dari pasien jadi pacar ratu es.”
Cheviolla mendengus kecil, tapi matanya tetap menatap layar ponsel. “Pacar? Siapa yang bilang kita pacaran?”
“Kamu tadi di ambulans… nyium gue.” dikantin juga nerima gue. Katanya kalo lompat dari mobil juga lu nerima gue"
“Itu ciuman kasihan, bukan karena cinta,” ujar Cheviolla datar tapi nada suaranya tidak setegas biasanya.
Raka pura-pura tersinggung. “Sakit hati gue. Dilecehkan emosional di ruang perawatan.”
Cheviolla akhirnya meletakkan ponsel dan menatap serius. “hmmm.. Ngomong-ngomong, sekarang kita udah... ya, deket. Aku mau nanya sesuatu.”
Raka melirik. “Serius banget. Nanya apa?”
“Kamu kenapa sih selama ini di kampus pura-pura cupu, pakai hoodie lusuh, jalan nunduk, kayak... bukan kamu?”
Raka terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Tatapannya beralih ke langit-langit, seolah sedang memilih kata-kata.
“Aku punya alasan sendiri,” katanya akhirnya. “Tapi... aku belum bisa ceritain semuanya sekarang.”
Cheviolla menaikkan sebelah alis. “Belum bisa? Karena apa?”
“Bukan karena nggak percaya sama kamu,” lanjut Raka pelan. “Tapi karena waktunya belum tepat. Nanti, kalau semua urusan gue beres… aku bakal ceritain satu per satu. Termasuk kenapa aku pakai hoodie abu-abu tiap hari, dan kenapa aku selalu duduk di paling pojok.”
Cheviolla mendengus pelan. “Baiklah.”
Raka menatapnya, lalu mengangguk pelan. Tapi janji satu hal…”
“Apa?”
> “Jangan berubah, walaupun nanti kamu tau semua soal aku.”
Cheviolla menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk singkat. “Tergantung, seberapa gila rahasiamu nanti.”
---