NovelToon NovelToon
Duda Perjaka Dan Cegilnya

Duda Perjaka Dan Cegilnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Cinta setelah menikah
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berhenti berharap

[RUMAH SAKIT]

Suasana di ruang tunggu rumah sakit begitu sunyi. Aroma antiseptik memenuhi udara, dan jam dinding berdetak lambat seperti ingin memperpanjang setiap menit yang berlalu. Damian duduk di ujung kursi tunggu, tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di lutut, dan jemarinya saling menggenggam erat. Wajahnya terlihat tegang. Sesekali ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat.

Aletha duduk beberapa kursi darinya, memperhatikan gerak-gerik pria itu dengan pandangan redup.

Ia bisa membacanya dengan jelas.

Damian… benar-benar khawatir.

Tapi bukan untuknya.

Bukan untuk perempuan yang ikut bersamanya sejak awal. Bukan untuk wanita yang diam-diam menahan sesak saat menyaksikan pelukan itu di pinggir jalan tadi.

Melainkan untuk Bella.

Aletha menggenggam tangannya sendiri di pangkuan, berusaha menepis rasa perih yang perlahan tumbuh di dadanya. Tapi sekuat apa pun ia menahannya, tetap saja tatapan Damian barusan tak bisa ia lupakan. Penuh kepanikan, seperti seseorang yang takut kehilangan orang penting dalam hidupnya.

"Apakah kamu se-khawatir itu pada Bella?" batinnya. Mata Aletha terus memperhatikan gerak-gerik Damian.

"Kamu terus merasa cemas menunggu kabar tentangnya, sementara aku yang sejak tadi di sini... seolah bukan apa-apa untukmu, Dam."

Mata Aletha mulai terasa hangat, jari jemarinya mencengkeram gaun yang ia kenakan. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, menahan tangis yang akan pecah.

Ia tak mau menangis di hadapan Damian, hanya karena sesuatu yang akan Damian anggap sebagai musibah. Ia tak mau terlihat egois, yang kemungkinan besar akan membuat Damian membenci dirinya.

Selang beberapa menit...

Pintu ruangan dokter akhirnya terbuka. Seorang pria paruh baya berseragam putih keluar sambil menatap berkas di tangannya.

"Tuan Damian?" panggilnya.

Damian segera berdiri dan menghampiri dengan cepat. "Bagaimana kondisinya? Bella baik-baik saja, kan?"

Dokter mengangguk singkat. "Lukanya ringan, hanya benturan di pelipis dan sedikit memar di pergelangan kaki. Tidak ada tulang yang retak. Tapi dia masih sedikit syok. Kami menyarankan dia untuk beristirahat malam ini dan menghindari stres."

"Boleh saya melihatnya sekarang?" tanya Damian buru-buru.

"Silakan. Kamar 213."

Tanpa pikir panjang, Damian langsung berbalik dan melangkah cepat menuju koridor.

Tanpa melihat ke belakang.

Tanpa mengajak Aletha.

Tanpa bertanya, "Kamu mau ikut?"

Bahkan tanpa sekadar menoleh.

Aletha terdiam di tempat duduknya. Tersenyum miris. Ia menunduk, merasakan sesuatu yang menggumpal di tenggorokan.

Seharusnya ia terbiasa. Seharusnya.

Tapi kali ini… rasanya lebih menusuk.

"Jadi benar... kehadiranku memang bukan apa-apa untukmu, Dam. Harusnya, aku tidak usah terlalu berharap pada apa yang baru saja kita lewati dengan bahagia."

Perlahan, ia berdiri. Menatap arah koridor yang telah dilalui Damian, lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah sebaliknya, tanpa suara, tanpa jejak.

Ia memilih pergi.

Tanpa memberi tahu Damian.

Karena yang ingin dicari… bukan lagi dirinya.

*****

[RUANG PERAWATAN]

"Dami, makasih banyak karena kamu mau menolongku dan membawaku ke rumah sakit," ucap Bella sambil menggenggam tangan Damian yang duduk di samping ranjangnya.

"Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan untuk menolong sesama."

"Melihat kondisi kamu tampak baik-baik saja, aku merasa cukup tenang. Ku harap kamu lekas sembuh," tambahnya.

Bella tersenyum hangat. "Kamu memang selalu perhatian, selalu baik dan selalu paling peduli. Aku bersyukur mengenal kamu, Dami."

"Tapi, aku menyesal... karena aku menyia-nyiakan kamu, hingga kamu pergi dari hidupku," Bella terlihat sedih. "Malah sekarang, kamu jadi milik orang lain."

Damian melepaskan genggaman tangan Bella darinya, menariknya perlahan.

"Itu hanya masa lalu. Lupakan saja," ucapnya datar.

Bella mengangguk pelan. Ia ingin sekali mendapatkan perhatian lebih dari Damian, tapi sepertinya pria itu sudah tak terlalu suka jika mesra dengannya.

"Dami... Aletha sepertinya gak suka melihat kamu menolongku tadi," kata Bella, seolah sengaja mengompori pria itu, agar membenci Aletha.

Mendengar nama Aletha disebut, sontak Damian teringat akan sosok istrinya yang sejak tadi mendampinginya hingga ke rumah sakit. Ia benar-benar melupakannya, hanya karena rasa khawatir terhadap Bella.

"Astaga, Aletha!" ucapnya.

Ia langsung bangkit dan keluar dari ruangan, pergi ke tempat tunggu untuk mencari Aletha. Namun, wanita itu tak terlihat di sana, di mana pun. Aletha telah pergi.

"Ya, Tuhan. Bisa-bisanya aku melupakan dia. Kenapa aku sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya?"

Damian merasa sangat bersalah. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Aletha. Namun, Aletha sama sekali tidak menerima panggilan darinya. Justru panggilan dari Damian diabaikan begitu saja.

"Al, ayolah angkat..." gumamnya cemas.

Sayang seribu sayang, Aletha tidak pernah menerima panggilan darinya. Damian pun merasa jika Aletha marah padanya karena diabaikan.

Demian segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan berniat untuk pergi. Ia harus segera menyusul Aletha, atau wanita itu akan merajuk padanya.

Tetapi, baru saja ia melangkah, tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari ruangan Bella.

'Pranggg!'

Damian terkejut.

Ia buru-buru berlari ke kamar Bella dengan perasaan khawatir, takut terjadi hal-hal buruk pada wanita itu. Saat pintu kamar dibuka, Damian lebih terkejut lagi karena melihat sebuah gelas pecah dan pecahannya berserakan di lantai.

Dan Bella, wanita itu tergelatak di samping gelas yang pecah dan meringis.

"Astaga! Ini kenapa?"

"Tadi aku pengen minum, tapi malah terjatuh dan gelasnya juga... ikut jatuh," jawab Bella pelan.

Damian segera menghampiri Bella dan membantu wanita itu duduk kembali di ranjang. Ia memungut pecahan gelas dengan hati-hati agar Bella tidak terluka lebih parah.

"Kamu nggak apa-apa? Luka kamu nggak bertambah parah?" tanya Damian cemas.

Bella menggeleng pelan. "Nggak, cuma kaget aja."

Damian menghela napas lega. "Kalau gitu aku bereskan ini dulu, lalu aku..."

Tiba-tiba, Bella meraih pergelangan tangannya. "Jangan pergi… temani aku di sini," ucapnya lirih, matanya memohon.

Damian sempat menarik tangannya pelan. "Bella, aku harus pulang. Aletha sendirian di rumah. Dia pasti..."

"Tidak ada yang peduli padaku, Dami..." potong Bella, suaranya bergetar. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Keluarga aku nggak ada yang datang, teman-teman dekat juga nggak ada yang mau jagain aku. Di saat aku sakit begini… cuma kamu satu-satunya orang yang mau ada di sini."

Bella terisak-isak. "Kalau kamu pergi, aku benar-benar sendirian. Apa semua orang memang nggak peduli sama aku?"

Damian terdiam. Ucapan Bella membuatnya merasakan sesak yang aneh, meski ia tahu Aletha mungkin sedang marah padanya. Di sisi lain, ia ingin pulang, tapi di sisi lain lagi ia tak tega pada Bella jika harus meninggalkannya sendirian.

"Aku nggak punya siapa-siapa lagi… hidupku ini rasanya… malang sekali," lanjut Bella, kini menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis tersedu.

Damian menghela napas panjang, lalu duduk kembali di kursi samping ranjang, setelah membuang pecahan gelas tadi ke dalam tong sampah plastik di dalam ruangan. "Baiklah… aku temani kamu malam ini," ucapnya pelan.

Bella menurunkan tangannya, matanya berbinar meski masih basah oleh air mata. Bibirnya melengkung tipis membentuk senyum.

"Terima kasih, Dami… kamu memang selalu yang paling peduli," ujarnya lembut, seolah rasa sakitnya tadi menguap begitu saja.

Damian hanya mengangguk pelan. Ia terlihat keberatan dengan keputusannya, tetapi seolah enggan menarik kembali kata-katanya.

Bella tersenyum pada Damian, berharap pria itu akan mengusap air matanya dengan lembut. Tetapi sayang, Damian bahkan tidak peduli dengan air mata yang masih membasahi pipi mantan istrinya itu.

*****

[RUMAH DAMIAN]

Taksi berhenti di depan gerbang rumah besar milik Damian. Dengan langkah pelan, Aletha turun dan membayar ongkos tanpa berkata banyak. Kepalanya menunduk, matanya sembab, dan tangannya menggenggam erat tas kecilnya.

Pintu gerbang dibuka oleh Satpam penjaga, yang baru bekerja seminggu lalu. "Non Aletha, sendirian?" tanyanya heran.

Bagaimana ia tak heran?

Sebelumnya Aletha pergi bersama tuannya, lalu tiba-tiba dia kembali tanpa Damian.

Aletha hanya mengangguk tanpa suara dan langsung melangkah masuk ke dalam rumah.

Saat pintu utama dibuka, si Mbak, yang menyambutnya dengan wajah ceria, "Lho, Nona Aletha sudah pulang? Kirain masih sama Tuan Damian... barusan pergi bareng, Nona kelihatan senang sekali."

Aletha diam. Wajahnya datar. Tak ada senyum, tak ada kata. Dia hanya menunduk dan langsung melewati si Mbak begitu saja.

Si Mbak mengernyit bingung, "Lho... Non Aletha kenapa pulang sendirian ya? Tuan kemana?" gumamnya lebih seperti bisikan, saat melihat gadis itu berjalan cepat menaiki tangga menuju kamar.

__________

Pintu kamar tertutup. Aletha bersandar pada daun pintu yang baru saja ia kunci, napasnya tercekat. Suasana sunyi mengelilinginya. Begitu sunyi sampai-sampai bunyi detak jarum jam terdengar jelas.

Ia berjalan pelan ke tempat tidurnya, lalu duduk di pinggiran ranjang. Tasnya diletakkan begitu saja ke lantai. Tatapannya kosong. Pikirannya terus berputar pada pemandangan terakhir yang ia lihat: Damian yang masuk ke ruang rawat Bella tanpa menoleh sedikit pun padanya.

"Kenapa... aku berharap terlalu banyak..." bisiknya.

"Kenapa aku mengharapkan cinta dari seorang pria yang bahkan belum selesai dengan masa lalunya?"

"Kenapa... kenapa..."

Dan akhirnya tangis itu pecah.

Aletha menangis sesenggukan, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya terguncang hebat. Tangis yang sejak tadi ia tahan tumpah begitu saja, memenuhi kamar yang kini menjadi saksi hatinya yang patah.

Tak ada Damian di sisinya.

Tak ada penjelasan.

Hanya rasa ditinggalkan, dan luka yang perlahan mulai tumbuh di dalam hati.

Dengan adanya kejadian ini, Aletha mulai berpikir bahwa Damian memang masih mencintai Bella, sehingga ia tak akan pernah berharap lagi padanya dalam hal apapun.

"Jika belum selesai dengan masa lalumu dan dia masih jadi bagian dari hatimu, maka tidak usah memberikan aku harapan, Damian..."

"Aku akan lebih menerima semua ini, jika kamu masih seperti Damian yang dulu. Yang tidak mempedulikan aku, bahkan tak pernah menganggapku ada meski aku ada di hadapanmu."

BERSAMBUNG...

1
amilia amel
duhhhh gedeg banget sama si Bella, masih merasa sok karena dia pikir Damian masih begitu mencintainya
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
amilia amel
nanti kalo ketemu Bella lagi kamu berubah pikiran lagi....
selesaikan dulu masa lalumu dam
amilia amel
tenangkan dirimu ale.... pergilah untuk mengobati hatimu dulu
amilia amel
sabar ya Aletha, kalo Bella pake cara licik untuk mendapatkan damian kembali
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu
amilia amel
duh sweet banget Damian, walaupun belum sepenuhnya mengakui perasaannya pada Aletha
amilia amel
pasti sebagai perempuan apalagi istri, sedih sekali dengan kalimat seperti itu apalagi yang mengucapkannya sang suami
amilia amel
awas ketagihan lho Dam....
amilia amel
gak sabar saat Aletha tau kalo Damian laki-laki normal
amilia amel
ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!