Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Gendis dan Pesonanya
Suasana restoran Jepang malam itu begitu hangat. Sesekali terdengar tawa ringan dan orang-orang yang sedang mengobrol. Di antara pengunjung lain, Ivy dan Noah berjalan beriringan di depan Gendis.
Keduanya terlihat begitu romantis, tetapi seakan dibayangi aura kelam yang keluar dari sorot mata Gendis. Sekuat apa pun dia menarik perhatian Noah, tetap saja gagal. Raut wajahnya semakin masam ketika Noah membukakan pintu untuk Ivy, tetapi saat dia hendak ikut masuk atasannya tersebut buru-buru menggeser dan menutupnya kembali.
Noah seakan menegaskan bahwa Gendis tidak diinginkan masuk ke ruangan tersebut. Bukan hanya ruangan, dalam artian khusus adalah kehidupannya dan Ivy. Gendis mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menggeser pintu ruangan dan perlahan masuk ke sana.
"Maafkan, kami terlambat dua menit." Noah berbicara menggunakan bahasa Jepang sambil tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa, Pak. Tidak perlu menggunakan bahasa Jepang, saya bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Ibu saya orang Malang."
Pria tampan berkacamata itu terlihat seperti wibu di mata Gendis. Dia tampak mencibir diam-diam. Namun ketika Hiro menatapnya, Gendis berusaha memaksakan senyum.
Mereka pun mulai membahas tentang rencana perusahaan Hiro yang bersedia menjadi investor khusus cluster dengan arsitektur khas Jepang. Hal itu Hiro lakukan sebagai bentuk pengenalan budaya Jepang ke mata dunia.
"Baiklah, kami akan sangat senang jika Anda benar-benar bersedia menjadi investor untuk proyek baru perusahaan kami, Pak Hiro." Noah mengulurkan tangan dan disambut baik oleh Hiro.
"Kalau begitu kami pamit," Noah tersenyum dan menunduk sebelum akhirnya berdiri.
Noah membantu Ivy berdiri dan lagi-lagi mengabaikan Gendis. Perempuan tersebut langsung mengerutkan bibir. Tatapannya mengikuti langkah kaki Ivy dan Noah yang meninggalkan ruangan.
"Tukang pamer!" gerutu Gendis.
"Ayo, kubantu berdiri!" Hiro mengulurkan tangannya.
Gendis mendongak, tatapannya tajam ketika melirik tangan Hiro. Dia beralih menatap lelaki tersebut dengan tatapan tak suka. Hiro tetap tersenyum lebar.
"Nggak butuh! Aku bisa sendiri!" ujar Gendis.
Hiro tersenyum kecut, kemudian menggenggam lagi tangannya. Lelaki tersebut kembali menegakkan punggung. Dia mengamati Gendis yang perlahan bergerak hendak berdiri.
Saat hendak melangkah, Gendis meringis. Dia membungkuk dan menggunakan tangannya untuk menggerakkan kaki. Hiro mengerutkan dahi ketika melihat tingkah Gendis.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hiro hati-hati.
"Baik-baik saja matamu!" umpat Gendis refleks.
Hiro sempat terbelalak. Namun, sedetik kemudian bahunya bergetar Tawa kecil pun kini keluar dari bibir tipis lelaki tersebut.
"Apa? Lucu?" Nada bicara Gendis begitu ketus.
"Kamu kesemutan?" tanya Hiro sambil berusaha menahan ledakan tawa.
Gendis tak menjawab. Dia perlahan menggerakkan jari kaki yang terasa kebas. Saat hendak kembali melangkah, tiba-tiba tubuhnya terangkat.
"Eh, kamu ngapain! Turunin aku nggak!" perintah Gendis.
"Ayo, aku bantu antar sampai ke mobil." Hiro terus melangkah keluar dari ruang VVIP sambil menggendong Gendis ala bridal.
Gendis terus berontak. Hampir seluruh pelanggan kini menjadikan keduanya pusat perhatian. Saat menyadari hal itu, Gendis menutupi wajahnya menggunakan map.
Hiro tetap berjalan tenang melewati pelanggan lain yang sedang mengamati serta saling berbisik satu sama lain. Dia tak peduli dengan mereka semua. Sampai akhirnya keduanya sampai di dekat mobil Noah.
Ivy terkekeh saat melihat Gendis yang tampak kesal. Noah sempat terbelalak, kemudian ikut tersenyum geli. Gendis yang sudah mulai pulih menatap keduanya secara bergantian dengan tatapan kesal.
"Gendis kenapa, Pak Hiro?" tanya Ivy sambil melirik Gendis yang mulai membuka pintu mobil.
Hiro berdeham pelan. “Sepertinya Gendis kesemutan,” jawabnya, disambut tawa pelan dari Ivy.
Gendis merapatkan bibir, menahan diri agar tidak meledak. Dia tahu, semakin dia marah, semakin terlihat konyol. Akan tetapi, harga dirinya sudah telanjur terluka.
"Terima kasih bantuannya, Pak. Kami pulang dulu," pamit Noah sambil mengulurkan tangannya sekali lagi.
Hiro pun menyambutnya dengan baik. Mereka semua akhirnya masuk ke mobil. Hiro masih terpaku di depan restoran sambil menatap mobil Noah menjauh.
"Menarik," gumam Hiro sambil tersenyum simpul dan mengusap dagu.
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil kaku. Ivy menatap keluar jendela sambil sesekali menahan senyum saat mengingat ekspresi Gendis diangkat seperti pengantin baru tadi. Sementara Noah memutar musik instrumental lembut, seolah ingin menyeimbangkan tensi di dalam kendaraan.
Gendis duduk di kursi belakang, menyilangkan tangan di dada. Matanya sesekali menatap tajam ke kaca spion, memantau ekspresi Ivy yang tampak begitu tenang dan anggun di kursi depan. Gendis merasa begitu muak karena terus diremehkan dan ditertawakan oleh saingannya tersebut.
Perlahan mobil berhenti di depan rumah bergaya Eropa klasik dua lantai dengan taman mungil di halaman depan. Gendis buru-buru membuka pintu dan keluar tanpa menunggu bantuan. Tatapannya tajam ketika Ivy ikut keluar dari mobil.
“Kalian nggak usah ikut masuk,” ucap Gendis ketus.
Namun belum sempat pintu ditutup, suara mobil lain mendekat. Ivy dan Gendis menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Dari dalam mobil Mentari mulai melangkah keluar dan mendekati Gendis.
Sial, kenapa harus sekarang dia datang? Posisiku sedang sangat memalukan! umpat Gendis dalam hati
Menyadari kedatangan sang ibu membuat Noah bergegas turun dari mobil. Lelaki tersebut langsung memutari mobil dan berdiri di samping Ivy, lalu menggandeng jemari sang istri. Tatapan Mentari langsung tertuju pada Ivy dan Noah.
“Wah, pasangan suami istri idaman datang ke sini. Ada keperluan apa?" tanya Mentari dengan senyum manis penuh racun.
Noah membalas senyum itu dengan anggukan dingin. “Kami hanya mengantar Gendis, Ma.”
“Terima kasih sudah baik pada Gendis.” Mentari menoleh ke Gendis, lalu tiba-tiba nada suaranya berubah menusuk. “Tapi sayang sekali, ternyata kudengar dia justru merasa ditekan dan diperlakukan tidak adil di tempat kerja.”
Gendis mengangguk cepat, mata berkaca-kaca yang dibuat-buat. “Iya, Tante. Ivy suka menyindir, meremehkan aku. Aku kerja keras, tetapi selalu saja disalahkan.”
Ivy menatap Gendis dengan tenang, lalu beralih kepada Mentari. Suaranya halus, tetapi nadanya tajam seperti pisau yang baru diasah.
“Maaf, Ma. Saya hanya menegur jika memang ada pekerjaan yang tidak beres. Lagipula, saya tidak pernah menyuruh Gendis melakukan sesuatu di luar deskripsi tugasnya. Seperti ....” Ivy tersenyum miring sambil melirik Gendis dengan tatapan tajam.
"Terus berada di sekitar Noah untuk hal yang tidak penting! Dia berusaha terus mendekati suamiku, padahal aku selalu mengatakan untuk tidak menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Tapi aku rasa ... Gendis sangat bebal."
Mentari tersenyum miring. “Kamu pintar membela diri, Ivy. Tapi kamu lupa satu hal Gendis lebih pantas berdiri di sisi Noah, bukan kamu. Bukankah seharusnya kamu yang menjauh dari putraku?”