Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 18
“Tentu saja benar,” Ethan menjawab sambil tetap mengemudi, nada suaranya tegas. “Irish, kamu pikir semua orang seperti yang ada di pikiran mu? Lain kali jangan terlalu cepat menilai orang lain dengan pikiran negatif.”
Irish yang tadi berapi-api langsung terdiam. Mendengar penjelasan Ethan, semangatnya padam. Ia paham betul Ethan bukan tipe orang yang mudah berbohong, apalagi demi Carisa, jadi sepertinya memang hanya salah paham.
“Oke, oke, aku yang salah, aku yang jahat, kalian semua orang baik!” akhirnya Irish menggerutu kesal, lalu memilih diam.
Mobil mereka tiba di pusat kota, tepat di tempat asisten Ethan sudah menunggu.
“Halo, Pak Ethan, Nona Irish,” sapa asisten Ethan ramah dengan sikap profesionalnya.
Irish menanggapinya sopan, “Halo.”
Ethan langsung memberi perintah, “Dion ada di mobilku, tolong pindahkan dia ke mobilmu.”
“Baik,” Asisten Ethan mengangguk, lalu bersama Ethan membantu memindahkan Dion yang tertidur pulas ke kursi belakang mobil lain.
Setelah memastikan Dion aman, Ethan menepuk bahu Asistennya. “Pastikan dia pulang dengan selamat.”
“Baik, Pak Ethan.” Asisten menunduk hormat. “Sampai jumpa.”
Saat Asisten Ethan hendak pergi, Irish menahan langkahnya dengan heran, “Eh, bukannya kamu yang harusnya mengantar aku pulang?”
Ethan menoleh santai, “Sejak kapan aku bilang begitu?”
Irish melongo, “Terus kenapa kau yang mau antarku?”
Ethan menatapnya datar, lalu menegaskan, “Silakan saja berdiri di pinggir jalan tengah malam dengan gaun pesta seperti itu. Mau tunggu taksi berapa lama? Risiko tanggung sendiri.”
Asisten Ethan sudah paham arahan Ethan, langsung menyalakan mesin dan pergi bersama Dion.
Irish menatap kepergian Asisten Ethan dengan pasrah. Memang benar, Kota ini tidak sepenuhnya aman, apalagi sudah larut dan ia hanya memakai gaun terbuka. Kalau sampai dirampok, siapa yang disalahkan?
Dengan ogah-ogahan, Irish akhirnya masuk ke mobil Ethan lagi.
Sepanjang jalan suasana terasa kaku. Ethan tetap santai, mengemudi dengan wajah tenang, sedangkan Irish merasa canggung dan salah tingkah.
Untung jarak ke apartemennya tidak jauh. Begitu Ethan memarkirkan mobil di bawah gedung, ia ikut turun bersamanya.
Irish menoleh curiga, “Lho, kamu kenapa ikut turun?”
Ethan dengan sikap kalem berkata, “Aku mau naik sebentar.”
Irish terpana. Naik sebentar? Mereka bukan pasangan, pikirnya. Kok kalimatnya santai sekali seolah-olah tidak ada apa-apa?
Belum sempat ia menolak, Ethan sudah berjalan duluan ke arah lift.
Dasar tidak tahu malu! rutuk Irish dalam hati, lalu terpaksa mengejarnya.
Saat sampai di depan pintu apartemen, Ethan tiba-tiba berhenti menunduk menatap lantai. Irish ikut menoleh ke bawah, dan langsung terkejut. Air mengalir keluar dari bawah pintu, sampai membentuk genangan di koridor!
Irish refleks panik, mengetuk pintu keras-keras sambil berteriak, “Vivi! Nathan! Kalian di dalam? Cepat buka pintu, ini Mama!”
Tak lama, pintu terbuka, dan air langsung mengalir deras membasahi sepatu hak tinggi Irish dan sepatu kulit mahal Ethan.
Di sana berdiri Vivi dan Nathan dengan santai, memakai jas hujan warna-warni dan sepatu boots biru, menatap polos sambil tersenyum, “Ibu, sudah pulang? Pestanya seru tidak?”
Irish melongo, buru-buru menggendong mereka sambil menengok ke dalam rumah. Seluruh apartemen sudah terendam air setinggi mata kaki.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Dengan polos, Vivi maju menjelaskan, “Tadi waktu Mama pergi, tiba-tiba ada suara air keras sekali dari dapur. Aku sama Nathan mau cari Bibi pengurus apartemen, tapi katanya lagi main mahjong dengan temannya. Terus kami telepon Pak Polisi, tapi Pak Polisi bilang harus hubungi tukang servis. Aku tidak tahu tukang servis itu apa, jadi kita tunggu di rumah sambil pakai jas hujan.”
Nathan mengangguk menimpali, “Biar tidak basah!”
Irish hampir pingsan.
Vivi tiba-tiba menatap Irish penuh kagum, “Mama, cantik sekali malam ini.”
Irish langsung nyaris roboh mendengar pujian anaknya di tengah situasi banjir rumah.
Sementara Ethan menahan tawa di sampingnya. Dalam hati, ia benar-benar kagum, anak-anak mereka ternyata tidak mudah panik, tahu cara menghadapi keadaan darurat, bahkan menyiapkan jas hujan sendiri.
Benar-benar anak kita, pikir Ethan, diam-diam bangga.
gemessaa lihatnya