Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Yang Tak Terlupakan...
Matahari sudah condong ke barat. Angin dari sungai di belakang proyek membawa sedikit kesejukan, meski debu masih berterbangan. Rania teguh berdiri di pinggir proyek pembangunan, mengawasi pekerja yang sibuk memasang tulangan besi.
"Pak Rudi, besinya sudah sesuai dengan spek permintaan perusahaan Atmadja, kan?" Tanya Rania, suaranya harus ia tinggikan, kalah oleh bisingnya proyek
"Sudah, Bu." jawab Pak Rudi, "Saya sendiri yang menghitung."
Rania mengangguk, pelan. Ada sedikit lega. Proyek di tangannya ini tak boleh gagal. Tidak untuk dirinya, tidak untuk keluarganya, dan... entah kenapa... Tidak untuk Askara.
Peluh sudah membasahi wajahnya. Kemeja kusut. Tumit sepatu kotor. Tapi untuk pertama kalinya ia merasa hari ini berjalan sebagaimana mestinya. Ada rasa puas kecil yang bertahan di dadanya.
Suara mesin tiba - tiba mati. Sunyi.
Lalu terdengar teriakan Pak Rudi, lantang dan membuat semua orang menoleh
"Pak Askara datang... Pak Askara datang!"
Seperti isyarat tak terlihat, pekerjaan terhenti. Besi yang tadinya diangkat diturunkan. Helm dipasang lagi. Dalam beberapa menit, barisan pekerja sudah rapi menyambut rombongan.
Rania kaku di tempat. Tubuhnya seperti kehilangan arah. Ia memilih mundur, berdiri di sisi paling ujung. Menunduk sedalam mungkin.
"Selamat sore, Pak Askara." Sapa Pak Rudi begitu lelaki itu turun dari mobil.
"Sore," Jawab Askara datar.
Langkah Askara masuk ke area proyek teratur dan tegas. Suaranya rendah saat bertanya, "Bagaimana? Ada masalah?"
"Sejauh ini lancar, Pak," Pak Rudi cepat mengikuti, "Bahan - bahan sudah sesuai dengan spek, proses pengerjaannya juga termasuk cepat. Yang biasanya dikerjakan dalam dua hari, kami selesaikan setengah hari."
Askara mengangguk. Pandangannya menyapu bangunan setengah jadi. "Jadwal pengecoran sudah ada?"
"Sedang di cek lagi oleh Bu Rania, Pak." Jawab Pak Rudi. Ia menoleh. Mencari. "Lho... Bu Rania di mana?"
Rania memejamkan mata, "Jangan please, jangan..." rapalnya, sumpah demi apa pun ia sedang tak ingin bertemu dengan Askara, tidak ingin melihat bibirnya lagi, mencium wangi parfumnya lagi. Tapi Sialnya, para pekerja bergeser, menyibak keberadaan Rania. Membuatnya terlihat.
"Nah itu dia Bu Rania, Pak." Tunjuk Pak Rudi, "Bu Rania, sini Bu.. maju ke depan... kok malah di belakang?" suara Pak Rudi keras.
Rania tak punya pilihan. Ia menarik napas, lalu berjalan maju. Langkahnya pelan menyongsong Askara. Namun entah kenapa, semakin dekat, sosok Askara semakin jauh. Tinggi. Tak tergapai.
Askara menatap Rania tanpa ekspresi. Datar. Dingin. Berbeda sekali dengan saat di ruangan itu. Saat ciuman itu.
"Bu Rania," suara itu menyambutnya. Tenang. Tapi mengiris. "Jadwal pengecorannya?"
Rania berdiri kaku depan Askara, tangannya sedikit gemetaran menyodorkan kertas yang sudah sedikit basah, kucel. "I-ini Pak,"
Askara menghela napas, melihat kertas di tangan. "Pastikan pengecorannya sesuai jadwal, tidak boleh mundur sehari pun, mengerti?"
Rania mengangguk pelan, memberanikan diri menatapnya, "Baik, Pak."
"Bagus." balas Askara, sebelum berbalik berjalan menjauh meninggalkan Rania yang mengembuskan napas berat, ada perasaan sedikit lega. Meski hatinya tetap tak tenang.
***************************
Sesi inspeksi masih berlangsung. Askara serius, bertanya banyak hal pada Pak Rudi, asistennya tampak sibuk mencatat sesuatu.
Sedang Rania menatapnya dari jauh, sejauh kenyataan membawanya sadar, kalau ciuman kemarin hanya keberuntungan, dan bantuan Askara untuk ulang tahun Ibra hanya karena kasihan.
Tunggu... ulang tahun? Rania menepuk jidatnya sendiri, bagaimana ia bisa lupa untuk berterima kasih pada Askara atas bantuannya kemarin. Tapi... bagaimana cara ia menyampaikannya, sementara pria itu menoleh padanya saja tidak.
Rania berpikir keras, lewat Whatsapp tak mungkin, ia tak tahu nomor ponselnya. Atau mungkin ia bisa mengirimkan surat? Atau kertas kecil di atas meja kerjanya? Atau apa? Ah... susah sekali menggapai Askara ini, bahkan hanya untuk mengucapkan terima kasih.
Hingga, kesempatan itu ada.
Saat Askara melangkah ke sisi bangunan yang sepi. Hanya ada dinding rangka, tertutup bahan - bahan bangunan. Sedang asistennya sibuk bertanya pada Pak Rudi, mencatat semuanya.
Tanpa pikir panjang, Rania menyusul. Mengenyampingkan rasa malunya, harapannya, dan... perasaannya.
Dari belakang... punggung itu terlihat tegap, sebanding dengan tubuhnya yang menjulang tinggi. Dan bahunya...bahunya tempat ia bersandar kemarin, bidang sempurna.
"Pak," panggil Rania dengan suara pelan yang menghentikan langkah Askara seketika.
Pria itu berbalik, memamerkan wajahnya yang terpahat sempurna, presisi, seolah diukur inci demi inci.
"S-saya cuma mau bilang terima kasih." Rania menelan ludah, gugup. "Maksud saya, terima kasih untuk kiriman kateringnya,"
Askara tak segera menjawab, tapi sorot matanya... sorot matanya hangat, persis seperti saat pertama kali ia mencium Rania.
"Maaf saya mengucapkannya disini, saya tidak tahu harus menghubungi Bapak dengan cara apa... tadi pagi saya... saya menunggu Bapak, tapi...."
"Rania," potong Askara
"... Ya?"
"Tadi pagi aku melihat kamu." ucap Askara.
otak Rania lambat mencerna, "Ya?"
Askara memendekkan jarak, melangkah mendekat. Dan jarak mereka sekarang cukup dekat, meski tak sedekat yang Rania rindukan. Yang Rania inginkan.
"Aku melihatmu, sejak kamu masuk ke lobi.. aku sudah melihatmu."
Deg. Jantung Rania bekerja keras, berdetak cepat.
"Kamu tidak menoleh sama sekali," gumamnya tanpa sadar.
Askara semakin mendekat, merapatkan jarak. Wangi parfumnya membius Rania. "Kita di kantor Rania, banyak yang melihat, yang mendengar."
"Jadi bukan karena kamu menghindariku?"
"Menghindarimu? kenapa harus menghindarimu?" alisnya terangkat tipis, "apa karena ciuman itu?"
Rania menahan napas. "Kamu masih ingat ciuman... kita?"
Askara menurunkan kepalanya, bibirnya nyaris menyentuh telinga wanita itu. Berbisik. "Aku tidak akan pernah lupa."
Rania menelan ludah, namun sebelum ia sempat merespon, langkah orang - orang terdengar mendekat. Askara mundur selangkah, berbalik.
"Jangan pulang terlalu malam Ran, aku khawatir." ucap Askara, sebelum berlalu meninggalkan Rania dengan jantung yang berdegup semakin kencang.
Deg.
(Bersambung)....