⛔: Ini hanya fiksi, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kejadian, itu hanyalah kejadian yang tidak disengaja.
Wilona percaya ia memiliki segalanya—cinta, rumah tangga yang hangat, dan suami yang setia. Tapi semua runtuh saat seorang wanita datang membawa kenyataan pahit: ia bukan satu-satunya istri. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu telah memberinya sesuatu yang tak bisa Wilona berikan—seorang anak.
Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, Wilona harus memilih: terpuruk dalam luka, atau berdiri dan merebut kembali hidupnya.
"Ketika cinta tak cukup untuk setia… akan kau pilih bertahan atau pergi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaeonni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Aryan terdiam beberapa detik setelah mendengar kata-kata Wilona. Wajahnya yang semula tenang berubah tegang, lalu merah padam. Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras, dan matanya menatap Wilona dengan sorot penuh kemarahan.
"Kamu… bilang apa tadi?" suaranya pelan, nyaris berbisik, namun nadanya dingin seperti ujung pisau.
"Kamu pikir aku ingin semua ini terjadi? Aku menikah lagi bukan tanpa alasan, Wilona. Aku hanya tidak ingin Mama terus menekanmu soal kehamilan, karena aku tahu… aku tahu itu mungkin sudah tidak bisa terjadi lagi."
Suara Aryan bergetar di akhir kalimatnya. Ia menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu, penyesalan, atau rasa bersalah yang selama ini disembunyikan di balik sikap kerasnya. Napasnya memburu, tangan mengepal di sisi tubuh. Mereka kehilangan calon buah hati karena dirinya.
Wilona terdiam sejenak. Matanya menatap Aryan tajam, penuh luka yang tak bisa disembunyikan.
"Jadi begitu alasannya?" suaranya pelan, namun dingin.
"Karena aku nggak bisa memberimu anak, kamu merasa berhak menikah lagi? Tanpa bicara. Tanpa memikirkan sedikit pun perasaanku."
Suara Wilona bergetar, namun nadanya tegas. Matanya menatap Aryan penuh luka yang dalamnya tak bisa diukur.
"Kamu yang membuat bayiku pergi, Aryan…” ucapnya lirih namun menusuk, penuh rasa perih yang selama ini ditekan.
“Kamu juga yang membungkamku, melarangku bicara soal kejadian itu di depan keluargamu, supaya kamu tetap terlihat baik di mata mereka.”
Air mata mulai mengalir di pipinya, tapi kali ini ia tidak peduli.
"Kamu biarkan mereka menuduhku. Mengecapku ibu yang gagal, perempuan yang tak becus menjaga kandungan. Sementara kamu diam… seolah tidak tahu apa-apa."
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan sesaknya dada.
"Dan sekarang kamu berdiri di depanku… dengan entengnya bilang aku harus mengerti?"
Suara itu akhirnya pecah, bukan sekadar emosi, tapi ledakan sakit hati yang tak tertahankan.
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang hendak pecah. Tapi tak ada yang bisa menahan perasaan perempuan yang dihancurkan oleh orang yang paling ia percaya.
"Kenapa kamu tidak jujur dari awal, Aryan? Kenapa harus seperti ini caramu menyelesaikan masalah?"
Tangisnya akhirnya pecah, bukan lagi karena kesedihan, tapi karena kecewa yang sudah terlalu dalam.
Aryan menghela napas panjang, lalu menatap Wilona dengan sorot mata tajam namun penuh kepura-puraan.
"Lalu aku harus bagaimana? Kamu pikir cuman kamu disini yang tersakiti?!”
Suaranya meninggi sedikit, nadanya terdengar seperti membela diri tidak mau disalahkan. Tangannya menunjuk nunjuk wajah wanita itu.
"Aku melakukan ini karena aku nggak tahan lihat kamu terus tertekan. Tapi kamu… kamu terlalu egois untuk melihat niatku."
Ia melangkah mendekat, napasnya berat.
"Iya, aku menikah lagi! Tapi semua itu aku lakukan karena tekanan, dari keluarga, dari Mama, dari semuanya! Dan kamu... kamu bahkan nggak ngerti bagaimana posisiku sebagai anak tunggal yang harus segera memberikan pewaris untuk keluarga."
Matanya menatap Wilona tajam, menyudutkan.
"Kamu pikir kamu satu-satunya yang kehilangan? Aku juga kehilangan anak kita! Tapi kamu malah pakai itu buat menyudutkanku. Kamu tega, Wilona."
Lalu ia menghela napas panjang, seperti berusaha tampak waras.
Wilona tidak menunjukkan reaksi apa pun. Matanya kosong, wajahnya dingin. Bagi dirinya, semua sudah cukup. Terlalu cukup. Tidak ada lagi ruang untuk memaklumi, apalagi memahami. Hubungan mereka terlalu toxic sekarang, jika lanjut maka tidak akan ada kebahagiaan lagi didalamnya. Dan jelas dirinya nya lah yang akan menderita lahir batin.
Kini ada wanita lain dalam hidup suaminya, dan itu saja sudah menjelaskan segalanya.
Ia tidak sedang mencari kemenangan, tapi jelas… ia sudah kalah. Kalah oleh kebohongan, oleh pengkhianatan, dan oleh cinta keluarga yang tidak berpihak padanya.
Melihat raut wajah Wilona yang begitu tenang, nyaris tanpa ekspresi, membuat darah Aryan mendidih. Sikap tak peduli istrinya itu, seolah semua ini tak berarti apa-apa membuat emosi yang sejak tadi ia tahan akhirnya meledak tak terbendung. Rahangnya mengeras, napasnya memburu, dan sorot matanya berubah gelap. Ego dan amarahnya berpadu menjadi badai yang siap meluluhlantakkan segalanya.
"Aku tidak akan menceraikanmu, Wilona! Kamu pikir kamu siapa, bisa pergi begitu saja semaumu?" Aryan bersuara lantang, napasnya memburu menahan amarah. "Kamu itu istriku yang sah! Jangan kira pernikahan ini bisa kamu akhiri semudah itu! Aku kepala rumah tangga disini dan hanya aku yang berhak mengaturnya."
Ia berjalan maju dengan langkah cepat, seolah ingin mendekat, tapi Wilona reflek mundur satu langkah.
Sorot matanya tajam, emosinya seperti badai yang tak bisa dikendalikan. "Aku tidak terima, Wilona. Sekali kamu menjadi milikku, maka selamanya kamu tetap milikku. Jangan pernah mencoba lari dariku!"
"Dan kamu pikir aku masih mau menjadi istrimu setelah kamu selingkuh, kamu pikir aku masih sudi hidup dengan laki-laki yang sudah tidur dengan wanita lain." Emosi Wilona akhirnya meledak, tak lagi bisa ia redam setelah mendengar penolakan Aryan. Padahal ia sudah berusaha bicara dengan tenang, menahan luka dan air mata. Namun respon dingin dan egois pria itu membakar kesabarannya. Amarah yang berusaha ia pendam, akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung lagi.
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan.
Wilona terhuyung, tubuhnya oleng ke samping. Mata Aryan membelalak—bahkan ia sendiri tidak menyangka tangannya melayang begitu cepat. Tapi tak ada penyesalan di sana. Justru matanya kini penuh kemarahan yang memuncak.
"KAMU ITU MANDUL, WILONA! MANDUL!!" teriaknya. "Apa kamu pikir ada pria waras di luar sana yang mau nikahin perempuan kayak kamu? Nggak bisa punya anak! Nggak berharga!"
Air mata Wilona mengalir tanpa suara.
"Cuma aku yang terima kamu! Aku yang bela kamu! Tapi kamu malah gugat cerai aku? Hah?! Siapa yang mau kamu cari di luar sana? Dunia nggak bakal kasihan sama kamu, Wilona. Dunia buas. Kamu nggak akan bertahan tanpa aku."
Tubuh Wilona gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena kecewa. Marah. Hancur.
Semua kata yang dulu Aryan pakai untuk memujanya, kini berubah menjadi senjata yang menusuk jantungnya.
"Terima kasih," katanya lirih. Suaranya pelan, tapi mantap.
"Karena malam ini kamu menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya, Aryan. Dan justru dari situlah hatiku semakin yakin untuk pergi."
Aryan melotot. "Jangan harap kamu bisa pergi begitu saja, Wilona!"
Wilona tersenyum pahit. Ia mundur dua langkah, berdiri tegak.
“Tidak, Mas Aryan. Justru malam ini… aku pergi. Untuk selamanya.”
Ia melewati Aryan, tidak peduli dengan suara teriakan dan sumpah serapah yang mengiringi langkahnya.
Tangannya gemetar membuka pintu kamar, tapi jiwanya mantap. Langkah pertamanya keluar dari rumah itu adalah langkah pertama menuju hidup yang baru, tanpa luka, tanpa pengkhianatan, dan tanpa Aryan.
Namu, Aryan tidak akan memberikannya begitu saja. Mata iblis nya menyoroti langkah lemah wanita itu.
BERSAMBUNG....
JANGAN LUPA BERI LIKE, KOMEN DAN VOTE DUKUNGAN TEMAN-TEMAN SEMUA SANGAT BERHARGA.....LOVE YOU ALL.....
Wes to gae duso seng okeh bar iku garek entuk karmane.
ko lek wes miskin po knek penyakit br tau rasa.
bagus bagus biar tmbh hancur nnti.
dah bner si anak dpt wanita baik hidup tertata mlh di hancurkan.
Sekarang balik lagi Aryan suka mabuk dan free sex. sakit kau nnti Amanda kl tau Aryan bgitu 🤣
hbis ini kluarga Aryan tambh hancur.