Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benang Kusut
Meski tatapannya tajam dan penuh tuduhan, Liel memohon dengan pelan kepada gadis, yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. “Ikutlah denganku.”
Jia melepaskan tangan darinya. Dia tidak mengerti mengapa Liel tiba-tiba muncul dihadapannya setelah sebelumnya dia bersama Kay. Seketika Jia dibuat kesal saat mengingat kejadian tersebut.
Melihat tingkahnya, Liel segera menjelaskan bahwa setelah mengantar Kay, dia bergegas ke lokasi, tempat dimana Jia berada.
kemudian Liel dengan tulus memohon kembali agar Jia mau pergi bersamanya. Awalnya Jia menolak, namun pada akhirnya, Jia luluh.
Kali ini, Liel membawanya ke tepi sungai yang tidak jauh dari lokasi sebelumnya, di mana hamparan rumput terbentang indah.
Semilir angin menggerakkan semua rumput sehingga bergoyang kesana kemari. Jia sering melewati sungai tersebut, namun tidak menyangka bahwa pemandangannya seindah ini.
“Ada apa?” ucapnya ketus.
Meski berusaha dia sembunyikan, rasa kesal terpancar di wajahnya. “Mengapa bersama Reonald?”
Jia mendengus, mengalihkan pandangannya. “Kamu serius, membawaku ke sini hanya untuk membahas hal itu? Kalau begitu, mengapa kamu bersama Kay?”
“Dia hanya meminta tolong padaku untuk mengantarnya. Lagipula, kamu kan tahu bahwa aku dan Kay hanya berteman!” bantah Liel dengan tegas.
Jia dengan kepala batunya, tidak ingin kalah. “Sama, seperti itulah aku, hanya berteman dengannya. Lalu, apa yang harus dipermasalahkan?”
Hatinya panas, namun Liel tidak menyadarinya. “Haaa … begitu rupanya. Baiklah, anggap saja aku tidak peduli dengan pertemuan manis kalian di cafe tersebut.”
Mulut Jia terbuka lebar. Dia nyaris takjub dengan tingkah laku dari seorang Liel. Dia bahkan hampir tidak mampu bersuara.
“Waaaah … seharusnya yang kamu tanyakan itu sedang apa aku di sana, bukan malah mempersoalkan perasaanmu yang rumit itu!!” wajah Jia memerah, menahan rasa marah.
Liel terdiam, kehabisan kata-kata. Sorot matanya yang tajam memancarkan kesedihan. “Apa? Rumit? Baiklah … jika itu maumu, aku tidak akan bertanya lagi, puas?”
“Hei, bukan–”
Liel berbalik dan pergi dari hadapan Jia. Matanya melebar seolah tidak percaya dengan tingkah laku Liel.
“PRIA JAHAT!! SETIDAKNYA ANTARKAN AKU PULANG, BUKANNYA MENINGGALKANKU SEPERTI INI!! teriak Jia seraya menahan isak tangis.
Liel menoleh dengan memicingkan matanya ke arahnya. “Aku hanya menyalakan motorku! Cepatlah kemari sebelum aku mendorongmu ke sungai!!”
Secepat kilat Jia berlari menghampiri Liel. Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Dia hanya fokus menyetir dan mengantar Jia pulang hingga tiba di rumah.
“Liel, maafkan aku, sepertinya kita perlu membicarakan–”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, kamu telah mendorongku terlalu jauh, mari kembali seperti semula, dimana kita belum mengenal satu sama lain, jaga dirimu baik-baik Jia.”Potong Liel seraya menyalakan mesin motornya.
Liel segera, melaju kencang, menghilang dari pandangannya. Senja kali ini, nampak suram. Jia menyadari air matanya mengalir membasahi wajahnya, menangisi kepergian Liel.
“San, lihatlah, belum memulai pun kami sudah saling menjauh ... Begini bukan yang kamu maksud?” rengek Jia lirih sembari menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
...****************...
Jia menatap pintu rumah mewah yang kini terasa seperti bangunan kosong tanpa jiwa. Matanya masih memerah, namun dia harus menyeka air matanya agar tidak terlihat rapuh.
Dia mencoba masuk dengan langkah kaki yang berat. Sebab dia tahu, tidak ada pilihan selain masuk dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Merasa tenggorokannya kering kerontang, dia berjalan menuju kulkas untuk mencari air dingin, yang berada di ruang makan, dan disanalah Jia mendapati sosok ibunya yang sedang menyantap makanan.
Jia menatap ibunya yang duduk di ruang makan dengan balutan blus putih dan rok span. Seperti biasa, dia terlihat sempurna, rapi, dan dingin.
Ibunya menawarkan Jia untuk makan bersamanya, namun Jia menolak. Kemudian, ibunya menyuruh Jia untuk duduk.
“Kamu pasti tahu, sebentar lagi ibu akan mencalonkan diri menjadi Menteri Pendidikan, ibu harap kamu tidak melakukan kesalahan apapun yang menghambat pencapaian ibumu ini, jaga lah nama baik dan reputasi keluarga kita.”
Jia menghela napas panjang seraya berdiri dari kursinya. “Bu, aku sedang tidak ingin membahas ini. Terserah ibu ingin melakukan apapun, aku ke kamar dulu.”
“Jia, duduk! Ini penting! Apa kamu tidak mengerti maksud ibu?”
“Penting bagi ibu saja! Harusnya ibu bertanya bagaimana keadaanku saat ini, apakah aku melalui hari yang buruk atau tidak!!”
Ibunya mencibir, suaranya terdengar tegas. “Mengapa semuanya harus tentang perasaanmu? Kamu hanya remaja labil yang beranjak dewasa, bukan anak kecil lagi, ibu yakin ka–”
“Sudahlah, anggap saja aku tidak mendengar pembicaraan ini. Pantas saja, ayah dan Jad memilih tinggal di luar negeri, daripada harus jadi korban ambisi ibu,” potong Jia dengan penuh rasa marah.
Ibunya segera berdiri, kemudian berjalan dengan cepat untuk menghampirinya. Wajah ibunya yang semula tenang itu hilang dalam sekejal, berganti dengan raut wajah yang garang dan menyeramkan.
PLAK!!!
Suara yang terdengar cukup keras. Wajah Jia berpaling ke sebelah kiri dengan cepat. Tamparan itu mendarat sempurna di pipi Jia. Rasa sakitnya muncul, membuat Jia harus mengusap pipinya.
Tamparan tersebut terasa panas. Bukan hanya karena kerasnya, melainkan ada penghinaan yang terkandung di dalamnya.
Ibunya menunjuk wajah Jia dengan suara lantang, “JAGA UCAPANMU!! BUKANKAH KAMU SENDIRI YANG MEMUTUSKAN UNTUK TINGGAL BERSAMA IBU!!!
Jia membeku. Matanya menatap ibunya dalam diam. Air matanya tidak lagi jatuh, sebab dia enggan menangis di depan ibunya.
“Aku lelah, bu,” ucapnya pelan dengan kekuatan yang tersisa.
Tanpa bersuara lagi, Jia berlari, pergi meninggalkan ibunya yang berteriak dan memaki dirinya. Jia terus saja naik ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada.
Dia membanting pintu kamar pelan tapi tegas. Jia ingin sekali menangis, namun tidak bisa, karena hatinya lebih sakit daripada tamparan ibunya.
“Terkadang berjuang sekaligus juga putus asa. Sial!! Sebenarnya … perasaan macam apa ini? Mengapa semua hal yang menyakitkan mengelilingiku? Apa aku menyerah saja?” bisiknya pelan.
Kemudian Jia melirik tempat tidurnya yang empuk dan hangat. Dia menjatuhkan tubuhnya dan membenamkan wajahnya di atas bantal.
Tidak ada keinginan sedikit pun darinya untuk mandi atau berganti pakaian seragam sekolahnya, sebab Jia merasa energinya telah habis tidak bersisa.
Semua dirasanya terlalu berat. Kepalanya nyeri, tubuhnya lelah, dan hatinya remuk. Kemudian, tanpa dia sadari, dirinya tertidur lelap.
——
TRING!!
Bunyi alarm membangunkan tidurnya pagi ini. Dia segera membuka ponselnya, untuk mematikan alarm yang memekakkan telinganya.
Kemudian matanya melebar. Jia menatap lama dengan sebuah pesan yang ada di ponselnya. Jari-jarinya bergetar. Seketika emosinya kembali menggelegak, saat sebuah pesan dari Kay menghiasi layar ponselnya.
**Kay** : “Jia, maaf jika kamu harus melihat Liel mengantarku, kuharap kamu tidak cemburu.”
,, suka deh puny sahabat macam Nata