Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Pengkhianat Logika
Leon.
Lagi-lagi, pria itu duduk santai di atas ranjangnya, bersandar santai di kepala ranjang dengan satu kaki menekuk dan ponsel di tangan. Tak berbaju. Hanya celana boxer yang melekat pas di tubuhnya.
Tubuhnya yang ramping berotot, dada bidang, dan kulitnya yang kecokelatan nyaris berkilau di bawah cahaya temaram lampu kamar. Setiap garis tubuh pria itu seperti diukir dari obsesi yang tak bisa Ghea redam.
Leon mengangkat wajah, menatapnya dengan senyum miring.
“Good night, Honey,” sapanya, suaranya berat, malas-malasan, tapi penuh daya rusak.
Seolah ia tahu, ia tak perlu berdiri untuk membuat Ghea goyah. Ia hanya perlu… ada.
Ghea merapatkan handuk di tubuhnya.
“Leon, kamu…”
Suara Ghea goyah, bukan karena marah. Tapi karena tahu… dirinya lemah jika menyangkut pria ini.
“Aku? Menunggu bidadari yang baru pulang dari neraka bernama bisnis.”
Matanya menatap Ghea, perlahan menelusuri dari atas ke bawah tanpa malu-malu.
“Kelihatan lelah, tapi tetap menggoda.”
“Keluar,” ucap Ghea cepat, terlalu gugup untuk menyusun kalimat lebih panjang.
Leon meletakkan ponsel, lalu bangkit dari tempat tidur dengan gerakan pelan namun pasti. Ia berjalan mendekat, langkahnya santai seperti pemilik kamar itu. Ia berhenti tepat di depan Ghea, membuat wanita itu harus menengadah.
“Terlalu malam untuk pulang dan terlalu cantik untuk dibiarkan sendiri…” bisiknya, mengangkat tangan, mengusap ujung rambut Ghea yang basah, lalu menyelipkannya ke belakang telinga wanita itu.
“…dan terlalu menggoda untuk aku diam saja, Honey.”
Ghea menahan napas.
Aroma tubuhnya. Sorot matanya. Suaranya.
Sialan. Pria ini tahu persis caranya menghancurkan pertahanan seseorang.
“Leon, aku capek…”
“Tepat. Makanya biarkan aku yang menenangkanmu malam ini.”
Ia mengusap pipi Ghea dengan punggung jarinya. Lembut. Penuh kendali. Tapi Ghea bisa merasakan energi di balik itu—seperti api yang sedang menunggu bahan bakar untuk meledak.
“Kau tak boleh masuk seenaknya ke kamarku,” desis Ghea, berusaha tegas.
Leon tersenyum tipis. “Sayangnya, kau sudah membuka pintu terlalu lebar… sejak lama.”
Dan sebelum Ghea bisa membalas, Leon mencium dahinya pelan—singkat, lembut, tapi penuh peringatan.
“Aku akan menunggu di tempat tidurmu,” gumamnya, lalu kembali duduk di ranjang, mengambil ponselnya seolah tak terjadi apa-apa.
“Tapi jika kau tak datang dalam lima menit…”
Ia menatap Ghea, matanya menyala liar.
“…aku yang akan menjemputmu, dengan atau tanpa handuk itu.”
Ghea berdiri membeku.
Handuk masih membungkus tubuhnya dan tetesan air masih menuruni lehernya. Lututnya kaku, bukan karena suhu udara yang turun… tapi karena pria itu. Pria yang kini duduk santai di tempat tidur, menatapnya seakan ia memang pantas ada di sana. Di kamarnya. Dalam hidupnya.
Ghea menatap Leon. Lelaki itu tampak tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengucapkan ancaman paling menggoda yang pernah ia dengar.
Tapi Ghea tahu, itu bukan ancaman kosong.
Leon adalah badai. Jika dia datang, tak ada yang bisa ia sembunyikan. Tak tubuhnya, tak hatinya, tak rahasianya.
Ghea menelan ludah. Sial. Pria itu tahu persis cara mematahkan pertahanan.
Matanya masih tertuju pada Leon. Pada dada bidang itu. Pada kulit yang seolah menyimpan panas tak berkesudahan. Pada tatapan matanya yang……meski hanya sepekat malam, tetap mampu membakar hingga ke dasar jiwa.
Ia membalik badan cepat-cepat, melangkah ke lemari dengan napas memburu.
“Tenang, Ghea. Dia cuma godaan lewat,” gumamnya sendiri, membuka lemari dengan tangan gemetar.
Tapi suaranya…
Langkahnya…
Hening.
Hening yang aneh.
Saat ia menoleh ke arah tempat tidur, Leon sudah tidak di sana.
Ghea membalikkan badan. Dan—
Brak.
Pintu lemari tiba-tiba tertutup, tubuh Leon sudah berdiri tepat di belakangnya, menutup ruang antara tubuh mereka, seperti bayangan gelap yang hangat dan mengancam.
“Aku tunggu lima menit. Tapi kamu diam saja seperti patung, Honey,” gumamnya pelan.
Napasnya menyentuh tengkuk Ghea. Hangat. Dalam.
“Aku… belum selesai berpikir,” bisik Ghea, nyaris tanpa suara.
Leon mendekatkan mulutnya ke telinga Ghea.
“Kau bisa berpikir sambil kugendong ke tempat tidur.”
Ghea membeku.
Tapi tubuhnya—pengkhianat itu—bergetar. Bukan karena takut, tapi karena… terlalu ingin tahu. Terlalu ingin merasakan lagi sensasi terbakar yang hanya muncul saat pria ini menyentuhnya.
“Kau tak boleh seenaknya…”
Leon tersenyum, lalu mencium pundak Ghea yang masih basah air.
“Aku tidak seenaknya, Honey. Aku… dipanggil oleh rindumu.”
Deg.
Kepala Ghea menunduk, menatap dadanya sendiri. Ia tahu ia harus menjauh. Ia tahu harus mendorong Leon. Ia tahu ini salah. Tapi…
…ia juga tahu bahwa ia tidak kuat.
Bahkan berdiri saja, rasanya hampir limbung.
Leon perlahan meraih tangannya. Menggenggamnya lembut.
“Biar aku yang berpikir malam ini. Kau cukup diam di sisiku, Honey.”
Dan ia pun menarik Ghea pelan. Membimbing wanita itu kembali ke arah ranjang, ke dunia yang penuh hasrat yang belum selesai. Bukan paksaan. Tapi bujukan paling menggoda dari pria yang tahu cara membuat wanita kehilangan logika.
Tanpa perlawanan, tubuh Ghea terbaring di atas ranjang. Jantungnya berdetak seperti palu godam, menghantam dinding dadanya yang terasa sempit. Seluruh tubuhnya membeku dalam kebisuan yang mencekam, sementara napasnya tercekat ketika Leon menunduk, mengurungnya.
Tubuhnya hanya dibalut handuk, dan tubuh pria itu… hanya tertutup boxer tipis yang nyaris tak mampu menyembunyikan intensitas yang terpahat dari setiap garis tubuhnya.
Mata mereka bertemu. Dan di balik tatapan itu, Ghea melihat segalanya—hasrat, luka, ketakutan, dan keinginan yang membakar batas kewarasan.
“Aku kesulitan menahan diri,” desis Leon pelan, suaranya berat dan penuh gejolak. Ia menunduk sedikit, napasnya membelai wajah Ghea. “Dan kau… butuh kehangatan.”
Tangannya menyentuh sisi tubuh Ghea. Hangat. Menyelusup, menuntut, tapi masih memberi ruang.
“Bagaimana kalau malam ini,” bisiknya dekat, “kita habiskan waktu… bersama?”
Ghea menggigit bibir. Tubuhnya bergetar. Terlalu dekat. Terlalu menggoda. Terlalu… benar di tengah semua yang salah.
Tangan Leon naik perlahan, menyentuh ujung handuk yang membalut tubuh Ghea. Sentuhan itu lembut, tapi seperti percikan api yang menyambar bensin.
Dan saat Leon hendak menariknya—
“Tidak!” Ghea menepis tangan pria itu cepat, suaranya serak dan panik. “Jangan, Leon. Ini salah. Ini dosa.”
Seketika dunia berhenti bergerak.
Leon mematung. Napasnya memburu. Matanya menatap Ghea—dalam, lekat, seakan berusaha membaca isi hatinya.
Kemudian ia menarik diri sedikit. Masih dekat. Masih menyimpan panas. Tapi tak memaksa.
“Kalau itu yang kau mau…” gumamnya, meski sorot matanya tak mereda. “Aku akan berhenti.”
Ia menyentuhkan keningnya ke kening Ghea. Dahi mereka menyatu. Napas mereka menyatu. Tapi tidak tubuh mereka.
Bukan malam ini.
Bukan sekarang.
“Aku bisa menunggu,” bisiknya. “Tapi jangan pernah ragukan bahwa aku… menginginkanmu sepenuhnya.”
Dan dengan satu kecupan lembut di keningnya, Leon menarik diri, membiarkan jarak tercipta di antara mereka. Tapi udara tetap panas. Ketegangan tetap menyelimuti ruangan. Dan hati Ghea masih gemetar, diliputi rasa yang tak mampu ia definisikan.
Tubuhnya masih terbaring di atas ranjang, hanya diselimuti handuk yang terasa semakin tipis di bawah sorotan mata Leon. Udara terasa panas meski pendingin ruangan menyala. Tubuhnya gemetar—antara gugup dan... harapan yang bahkan tak mau ia akui.
Leon tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menatap. Dalam. Diam. Seolah sedang memerangi sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Lalu pria itu bergerak. Mendekat.
Satu tangan mengulur perlahan ke pinggang Ghea. Lembut tapi tegas. Mengajak, bukan memaksa. Dan sebelum Ghea sempat memprotes, ia sudah berada dalam pelukannya.
Hangat. Padat. Tak terelakkan.
Leon menarik tubuhnya mendekat, membiarkannya bersandar di dada telanjangnya yang hangat dan kokoh. Jantung Ghea berdetak tak beraturan, dan semakin terasa jelas ketika dada Leon menekan tubuhnya dari belakang.
Ia bisa merasakannya—tubuh pria itu tegang, kaku, dan panas seperti bara yang tertahan.
Ghea menahan napas.
Ia tahu.
Ia tahu betul Leon sedang berjuang keras untuk tidak kehilangan kendali. Jemari pria itu mencengkeram pinggangnya terlalu lama sebelum akhirnya melonggar perlahan. Napasnya berat, membentur tengkuk Ghea. Ritmenya tidak teratur.
Dan itu membuat tubuh Ghea makin sulit dikendalikan.
Ia mencoba menjauh, tapi lengan Leon menguat—memeluknya lebih erat, seolah berkata jangan pergi. Seolah... ia akan hancur jika Ghea menghilang satu detik pun.
"Leon..."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.