Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Tiga orang anak dari asrama kelas 2 segera melompat maju, tanpa ragu.
Mereka langsung mengeluarkan martial soul mereka dan berlari ke arah Qian Liang.
Mata Yin Lian menyipit tajam.
"Begitu caramu menyelesaikan masalah?"
Tanpa ragu, ia langsung mengambil sebuah kayu panjang dari tanah dan berlari ke tengah arena.
Saat tiga orang itu hendak menyerang Qian Liang, Yin Lian melompat ke arah mereka.
Bugh!
Kayu di tangannya menghantam salah satu dari mereka di bahu, memaksa anak itu mundur selangkah.
Dua lainnya terkejut, tetapi Yin Lian tidak berhenti.
Dengan gerakan cepat, ia memutar kayunya dan menyerang lagi, membuat mereka kehilangan ritme serangan.
Kini, Yin Lian berdiri di antara Qian Liang dan tiga anak asrama kelas 2 itu.
Matanya tajam.
Tangan yang memegang kayu menggenggamnya erat.
Ia menatap Feng Zhiyang dengan ekspresi dingin.
"Kau tidak menerima kekalahanmu?"
Feng Zhiyang mengeraskan rahangnya.
Melihat anak perempuan dari kalangan biasa berani menantangnya secara langsung—di depan semua orang—harga dirinya terbakar.
Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi.
"Bunuh rasa sombongnya!" teriaknya lagi.
Mata tiga anak asrama kelas 2 itu berkilat marah.
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung menyerang Yin Lian secara bersamaan.
Namun, begitu mereka bergerak—
Mata Yin Lian berubah warna.
Dari biru jernih menjadi hitam keunguan.
Aura di sekelilingnya bergetar, seolah hawa dingin menyelimuti area pertarungan.
DOR!
Satu pukulan keras mengenai dada salah satu dari mereka, membuat anak itu terlempar ke belakang.
Dua lainnya mencoba mengepungnya, tetapi Yin Lian sudah membaca gerakan mereka.
Dengan ayunan kayunya yang cepat, ia menghantam salah satu dari mereka di pergelangan tangan, memaksa anak itu melepaskan senjatanya.
Yang terakhir tidak menyerah.
Dengan ekspresi penuh amarah, ia berlari ke arah Yin Lian, bersiap memberikan serangan pamungkas.
Yin Lian tidak mundur.
Ia juga berlari maju, siap menghadapi serangan itu secara langsung.
Namun—
Seseorang melesat ke tengah pertarungan.
Sebelum Yin Lian bisa melancarkan serangannya—
Bugh!
Anak asrama kelas 2 itu terjatuh ke tanah sebelum sempat menyentuhnya.
Yin Lian terkejut.
Tangannya yang memegang kayu tertahan di udara.
Saat ia menoleh, sepasang mata putih bercampur kuning bertemu dengannya.
Seorang anak laki-laki dengan rambut sebahu berdiri di depannya, mencegah serangannya dengan tangan kosong.
"Sudah cukup," ucap anak laki-laki itu dengan suara tenang tetapi penuh otoritas.
Yin Lian menatap tajam ke arah anak laki-laki di depannya.
Ia mengenali sosok itu—anak yang sama yang ia lihat saat makan malam kemarin.
Ada sesuatu yang terasa aneh sekaligus familiar darinya.
Kayu panjang dalam genggaman Yin Lian sedikit bergetar.
Matanya, yang tadi hitam keunguan, perlahan kembali seperti semula.
Namun, ia tidak menurunkan kewaspadaannya.
Tanpa mengalihkan pandangan, ia menarik kembali kayunya dan melangkah mundur, seolah menarik kembali serangannya.
Sorak-sorai langsung memenuhi halaman belakang akademi.
Anak-anak asrama kelas 2 berseru dengan penuh semangat, meneriaki anak laki-laki itu dengan nada penuh harapan.
"Hajar dia!"
"Kalahkan dia!"
"Ayo, tunjukkan siapa yang lebih kuat!"
Namun, anak laki-laki itu tetap diam, tidak bereaksi sedikit pun.
Matanya tenang, nyaris tanpa emosi.
Angin bertiup pelan, membuat ujung rambut panjangnya yang sebahu berkibar lembut.
Matanya yang berwarna putih bercampur kuning hanya menatap ke depan dengan ekspresi sulit ditebak.
Setelah beberapa saat, ia menghela napas pelan, lalu berbalik dan berjalan pergi dari tengah arena.
Sorakan anak-anak asrama kelas 2 mendadak terhenti.
Mereka saling bertukar pandang, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Hei! Kenapa kau pergi?!"
"Kau tidak bisa mundur begitu saja!"
"Jangan bilang kau takut?"
Terkejut dan tak terima, mereka berteriak panik, menuntut penjelasan.
Tapi anak laki-laki itu tetap berjalan, seolah tak peduli pada kegaduhan di belakangnya.
Saat itulah, ia berbicara untuk pertama kalinya.
Suaranya tenang, namun ada sesuatu yang tajam dalam nada bicaranya.
Tanpa menoleh, ia berkata singkat:
"Kalian memalukan."
Suasana langsung berubah sunyi.
Seolah waktu berhenti sejenak.
Anak-anak asrama kelas 2 membelalakkan mata.
Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Bibir mereka terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar.
Bagaimana mungkin seseorang dari asrama mereka sendiri menolak perintah mereka, lalu justru menghina mereka di depan semua orang?
Di sisi lain, anak-anak asrama kelas 1 terdiam dengan ekspresi campur aduk antara terkejut, kagum, dan bingung.
"Siapa anak itu?" bisik salah satu dari mereka.
"Dia jelas dari asrama kelas 2… tapi kenapa dia menentang mereka?"
Yin Lian tidak mengatakan apa pun.
Tatapannya mengikuti sosok anak laki-laki itu yang semakin menjauh.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Bukan karena rasa takut.
Tapi karena… penasaran.
Siapa dia?
Kenapa dia bersikap seperti itu?
Setelah beberapa saat, Yin Lian menghela napas, lalu melempar kayu panjang di tangannya ke samping.
Matanya kembali tajam saat ia menatap teman-temannya.
"Kita kembali." Suaranya dingin namun tegas.
"Jika kita masih di sini saat jam pelajaran dimulai, guru-guru akademi akan mencari kita."
"Dan kalian tahu apa yang akan terjadi jika mereka tahu kita terlibat perkelahian, bukan?"
Qian Liang menegakkan tubuhnya, menyadari maksud perkataannya.
Tanpa banyak bicara, ia mengangguk, lalu segera menyuruh anak-anak asrama kelas 1 untuk kembali ke akademi.
Sebelum pergi, ia melirik Yin Lian dengan senyum kecil.
Sebuah anggukan pelan.
Sebuah isyarat terima kasih.
Yin Lian hanya membalas dengan anggukan singkat, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjalan pergi ke arah lain.
Langkahnya cepat dan ringan, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan mata putih-kuning itu.
Siapa sebenarnya anak itu?
Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh…
Ia baru sadar satu hal yang lebih mendesak.
Ia benar-benar terlambat.
Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju ruangan Xu Feiyan.
Jika gurunya tahu ia terlambat hanya karena terlibat perkelahian, siapa yang tahu hukuman apa yang akan ia terima?