Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Langit Abu Abu
*📝** Diary Mentari – Bab 15**
"Aku ingin langit berwarna biru, tapi Tuhan mengajarku tentang kekuatan melalui langit yang abu-abu. Di sana, aku belajar bertahan, meski cahaya belum juga datang.”***
...****************...
Tahun 2004. Orang-orang bilang ini masa depan. Era baru. Katanya semua akan berubah. Tapi di kampung Karet, perubahan itu seperti angin yang tertiup di luar jendela—kedengarannya dekat, tapi tidak pernah benar-benar masuk ke dalam.
Hari ini adalah upacara bendera seperti biasa, dan juga pengumuman pemenang lomba menulis dalam rangka Bulan Bahasa. Biasanya aku bersemangat menyambut hari seperti ini. Tapi tidak kali ini. Seminggu terakhir ini terlalu melelahkan. Terlalu sesak untuk menaruh harapan. Rasanya seperti langit di atas rumahku—selalu mendung, seolah tak memberi ruang bagi matahari untuk bersinar.
Seminggu lalu, seorang kakek datang dan menetap di rumah kami. Katanya masih kerabat jauh, diusir oleh keluarga kandungnya karena menjual habis warisan. Dia tidak punya siapa-siapa. Dan seperti biasa, keluargaku membuka pintu untuknya. Ayah dan Ibu tidak bisa menolak, karena dalam kamus hidup mereka, menolak orang susah adalah dosa besar.
Kakek tua itu mengambil ruang tidur di dekat ruang tamu, tempat biasa aku dan Senja mengerjakan PR atau menulis cerita. Sekarang ruangan itu penuh aroma minyak kayu putih dan suara batuk tua.
Belum habis adaptasi, datang lagi tamu lain. Seorang wanita dengan kaki patah, katanya juga keluarga jauh. Suaminya entah ke mana. Dia perlu tempat tinggal selama masa pemulihan. Dan tentu saja, lagi-lagi kami menerima. Ruang tamu berubah jadi tempat rawat inap darurat. Rumah kecil kami, yang hanya tiga kamar, kini dihuni lebih dari 12 orang. Dan aku kehilangan ruang—ruang fisik dan ruang tenang dalam pikiranku.
Aku ingin marah. Tapi kepada siapa?
Aku ingin menangis. Tapi untuk apa?
Sore sebelum upacara, aku menyendiri di belakang rumah, menulis. Bukan cerita lomba, hanya sekadar meluapkan rasa. Aku menulis kalimat: “Langit masih abu-abu. Dan aku adalah cahaya kecil yang terus memantul pada kabut.”
Dan paginya, saat upacara berlangsung dan kepala sekolah mulai membacakan nama-nama pemenang, aku tidak mendengarkan. Aku terlalu lelah. Sampai Eka menyentuh pundakku dan berkata, “Men, kamu dipanggil tuh. Juara lomba menulis!”
Aku menoleh, tidak percaya. “Aku?”
“Iya! Juara satu!”
Kakiku bergetar. Aku melangkah ke depan. Nama lengkapku disebut di depan seluruh siswa dan guru.
“Kadek Mentari Intania – Juara I Lomba Menulis Bulan Bahasa 2004.”
Tanganku dingin saat menerima piagam. Tapi dadaku hangat. Untuk sesaat, langit terasa sedikit lebih terang.
⸻
Pulang ke rumah, aku menunjukkan piagam itu pada ayah. Dia membacanya pelan, mengangguk, lalu meletakkannya di atas meja. Ibu hanya berkata, “Bagus, taruh saja di lemari sama surat-surat penting lainnya.” Tidak ada peluk, tidak ada air mata haru. Tapi aku tahu, itu cara mereka menunjukkan bangga. Diam mereka adalah bentuk cinta yang tidak bisa dieja.
Malam itu, rumah kembali ramai. Kakek batuk-batuk. Perempuan itu mengeluh sakit. Dapur masih hidup karena Ibu baru selesai memasak makan malam untuk 14 orang. Dan aku kembali ke kamarku yang sempit, duduk di atas kasur tipis sambil memandangi piagam kemenanganku.
Aku menulis lagi. Tapi kali ini bukan untuk lomba. Untuk diriku sendiri. Aku tuliskan semua—tentang perasaan menjadi anak yang selalu berbagi ruang, tentang rasa ingin dimiliki utuh oleh orang tuaku, tentang mimpi yang kadang terasa terlalu besar untuk dipeluk di rumah kecil ini.
Tapi aku juga menuliskan syukur. Bahwa walau langitku masih abu-abu, aku masih bisa melihat sedikit cahaya. Aku tidak menyerah. Aku tetap menulis. Aku tetap belajar.
⸻
“Jika hidupku adalah langit, maka aku adalah mentari kecil yang mencoba bersinar meski awan terus bergulung. Mungkin bukan untuk mengubah langit, tapi cukup untuk membuat satu titik cahaya di tengah abu-abu.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.