Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuil Bawah Tanah Kembali Tenang dan Inti Neraka Roh Hilang
Setelah ledakan cahaya putih keperakan mereda, keheningan menyelimuti ruangan terdalam gua bagaikan ruangan hampa tak berujung. Debu halus masih berterbangan perlahan, menuruni retakan stalaktit yang terbelah, menciptakan bayangan bergerak di dinding batu. Liang Feng menepuk-nepuk ringan sisa debu di bilah pedangnya, mengangkatnya perlahan sambil menatap reruntuhan pilar naga yang berserakan dengan pecahan batu hitam berpadu serpihan kristal keperakan yang menjadi bukti nyata betapa dahsyatnya kekuatan suci yang baru saja mereka lepaskan.
Di tengah ruangan itu, tempat Inti Neraka Roh dahulu berdiri, kini hanya tersisa lantai batu yang tampak polos. Tak ada noda hitam pekat, tak ada pusaran energi gelap dan hanya suasana sunyi yang pekat dan udara lembap, menyisakan ruangan kosong untuk harapan baru. Liang Feng menunduk sejenak, menutup matanya, membiarkan suasana sunyi itu meresap hingga ke dasar hatinya. “Akhirnya…” bisiknya lembut, suaranya nyaris tenggelam oleh gema jauh di dalam gua. Ia menarik napas panjang, merasakan detak jantungnya yang pelan untuk menyesuaikan diri dengan suasana hening diarea itu.
Bai Xue menyusuri permukaan lantai gua, bulu peraknya memantulkan kilauan lembut yang meresap ke setiap sudut area gua tempat mereka pijak. Ia menyalurkan getaran aura peraknya, merasakan sisa-sisa noda hitam yang mungkin tersembunyi di balik bayangan. Khan… suara lembut gema cakaran Bai Xue di atas batu menandakan keberhasilannya, tak ada lagi jejak kegelapan dan semua benar-benar bersih. “Semua bersih.” bisiknya dalam pikiran Liang Feng, menenangkan sisa kegelisahan yang sempat menahan napas mereka.
Dua pertapa muda, Yan Hua dan Qian Li, melangkah mendekat. Wajah mereka masih memerah oleh kelelahan, namun sorot mata mereka memancarkan kelegaan yang tak terhingga. Yan Hua menepuk bahu Liang Feng dengan lembut. “Terima kasih, Pahlawan." ucapnya dengan suara pelan, suaranya bergetar oleh haru. “Tanpa keberanianmu dan kekuatan suci Bai Xue, kami takkan mampu melewati pertempuran ini.”
Liang Feng membuka matanya, menatap lembut ke arah kedua sahabatnya. “Tidak hanya aku.” jawabnya dengan nada tulus. “Bai Xue dan kalian semua yang disini berperan sama pentingnya. Semangat dan kesetiaan kalianlah yang menjaga kami tetap bertahan di tengah badai kegelapan yang datang menyerbu.” Ia tersenyum kecil, lalu menoleh pada Bai Xue yang sedang memutar tubuh, dia terlihat sedang memeriksa sisa-sisa pilar runtuhan.
Potongan batu hitam dan kristal putih berpadu menjadi mozaik alami. Dengan gerakan hati-hati, Bai Xue menyentuh satu serpihan menggunakan kilauan peraknya meresap ke dalam batu, memurnikan sisa energi gelap dan mengubahnya menjadi kristal bening yang berpendar lembut. Ia menunduk, menarik satu butir kristal dan menyerahkannya kepada Liang Feng. “Ambil ini.” dengusnya dalam pikiran, “sebagai pengingat bahwa kegelapan dapat dikalahkan.”
Liang Feng meraih kristal itu dengan penuh ucapan terimakasih. Saat permukaannya menyentuh telapak tangan, ia merasakan kehangatan lembut merambat disekitarnya, seolah jiwa-jiwa yang berada didalam gua dan roh-roh suci bersatu, menyampaikan rasa terima kasih. “Aku akan menjaganya.” bisiknya, memandangi kristal yang memantulkan cahaya redup di ruangan yang terlihat sunyi.
Sebelum mereka meninggalkan kedalaman gua, sosok tua berjubah putih muncul di antara reruntuhan. Nenek Yi, salah satu pertapa senior yang ditugaskan mengawasi kuil bawah tanah, melangkah pelan dengan tongkat ukir naga di tangan kirinya. Di tangan kanannya, ia memegang tabung kecil berisi bubuk mantra suci berkilauan biru. Dengan gerakan ritmis, ia menaburkan bubuk itu mengelilingi area bekas Inti Neraka Roh, melantunkan bait-bait mantera penutup dalam bahasa kuno.
“Sekat jiwa, rapatkan renggang,
Segel cahaya, abadi terjaga,
Neraka sirna, lembah tenang,
Dua dunia selamat selamanya.”
Kilatan cahaya biru memancar dari butir-butir mantra, membentuk lapisan perlindungan tipis yang menutupi retakan kecil pada lantai dan dinding. Suara ritmis Nenek yi bergema, menandai penyatuan energi suci yang menyegel kemungkinan kegelapan muncul kembali. Liang Feng menunduk hormat, merasakan beban berat yang dulu menjepit pikiran kini ringan bagai angin pagi.
Di atas mereka, cahaya merah senja merembes masuk melalui celah kecil di atap gua, memantul di permukaan kristal dan bebatuan, menciptakan lukisan alam yang lembut dan tenang. Liang Feng mengangkat pandangan, seakan memohon izin kepada langit yang baru saja ia bebaskan dari belenggu kegelapan. “Waktunya kembali.” ucapnya dengan suara pelan kepada Bai Xue dan kedua pertapa. “Desa Bayangan menanti dan Puncak Perak masih menyimpan pertempuran lain yang harus cepat kita selesaikan.”
Bai Xue mengepakkan sayapnya sekali, menciptakan kilauan di pintu gua yang kini terbuka lebar. Yan Hua dan Qian Li menyalakan kembali obor ramuan asap biru mereka, lalu menuntun rombongan menapaki tangga batu yang berkelok naik ke permukaan. Tiap langkah terasa ringan, seakan misi besar yang baru saja mereka selesaikan telah menghapus lelah dan keraguan mereka.
Begitu kaki terakhir mereka menyentuh tanah di mulut gua, udara malam yang dingin menyambut layaknya pelukan hangat yang kontras dengan hawa lembap dan pekat di bawah. Desiran angin malam membawa aroma pinus dan tanah basah, menandakan hujan ringan belum lama reda. Cahaya bulan memantul di permukaan daun, menuntun langkah mereka menuju jalan setapak yang menurun ke Desa Bayangan.
Di sepanjang perjalanan, keempatnya berjalan tanpa banyak bicara dan hanya suara bulan berkedip di antara dedaunan dan desir langkah kaki yang teratur. Liang Feng memandang ke belakang sejenak, menatap mulut gua yang menganga gelap namun kini tak menakutkan lagi. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, kuil bawah tanah telah kembali tenang dan Inti Neraka Roh benar-benar menghilang.
Sesampainya di tepian sungai kecil yang mengalir di tepi desa, Bai Xue hinggap di pundak Liang Feng, moncongnya menempel di tangan manusia yang telah menjadi sahabatnya itu. Liang Feng menatap sahabat roh itu dengan sorot mata yang lembut. “Kita telah melewati ujian paling sulit ini bersama.” bisiknya rendah. “Dan lihatlah… segalanya kembali tenang.”
Bai Xue meringkik lembut, aura peraknya memancarkan kilauan kecil yang menenangkan. “Perjalanan kita belum berakhir.” Dengungan dalam pikiran Liang Feng. “Masih ada Puncak Perak, Jiwa Bumi Tua, dan misteri lain yang menanti.”
Yan Hua dan Qian Li berjalan di belakang, wajah mereka memerah oleh dinginnya malam namun mata mereka bersinar penuh harapan. “Pelindung….” lirih Yan Hua, “terima kasih telah melindungi kami dan desa ini.”
Liang Feng mengangguk. “Semua demi Desa Bayangan.” balasnya dengan tangan menggenggam erat kristal pengingat. “Setiap ujian yang kita lewati membuktikan satu hal yaitu selama kita bersatu, cahaya akan selalu mengalahkan kegelapan.”
Di kejauhan, api unggun kecil berkobar di halaman balai desa, terlihat tanda bahwa para tetua sedang menanti dengan cemas kabar kepulangan mereka. Suara riuh rendah salam perayaan sudah terdengar samar, namun bagi Liang Feng, momen hening ini adalah yang paling bermakna yaitu saat ia dan Bai Xue, bersama Yan Hua dan Qian Li, menuntun cahaya kembali ke desa, sambil memegang lentera bulan yang menyinari jalannya pulang.