Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Wajah Lily berbinar bahagia saat menerima amplop coklat dari Rama. Ia membukanya dan benar saja, gaji bulan ini Lily mendapatkan dua kali lipat. Tak henti-hentinya gadis itu mengucapkan terima kasih kepada bosnya itu.
"Girang amat, Ly."
"Nes, pulang kerja gue traktir elu makan. Gaji gue dobel bulan ini," kata Lily. Senyum semringah nampak menghiasi wajah gadis itu.
"Weh, seneng amat. Soal makan gratis, okelah! Besok kalau gue yang dapat rezeki, gantian gue yang traktir elu ya," balas Ines.
"Tenang aja." Lily menepuk pundak Ines. Lalu keduanya kembali bekerja. Rasanya sungguh tidak sabar.
Sebelum pergi, Lily berpamitan dulu kepada ayahnya, tidak mau membuat lelaki paruh baya itu khawatir. Setelahnya, ia pun berboncengan dengan Ines menggunakan sepeda motor milik Ines. Kedua gadis itu berhenti di sebuah restoran. Padahal Ines tidak mau, merasa bahwa itu terlalu berlebihan.
Makan lesehan di pinggir jalan bukankah lebih enak. Selain itu, juga ramah di kantong. Namun, Lily tetap bersikukuh. Jarang sekali mereka makan di restoran seperti itu.
"Makasih banyak, Ly. Seharusnya elu gunakan uang ini buat kebutuhan elu."
"Ish! Enggak usah dipikir. Jarang kita kayak gini, 'kan. Elu tunggu sini dulu, gue mau pesan buat ayah sama Bibi Imah." Lily bangkit dan meninggalkan Ines sendiri.
Memesan makan untuk orang di rumah, selain itu Lily juga membungkus makanan untuk orang tua Ines. Tanpa sepengetahuan sahabatnya.
"Ini gratis, Nona."
Kening Lily mengerut dalam ketika hendak membayar.
"Gratis? Kenapa bisa?"
"Barusan ada yang menelepon dan mengatakan kalau semua makanan yang Nona makan dan bungkus, tidak perlu dibayar. Beliau sudah membayar lunas."
"Siapa dia?" tanya Lily penasaran. Ia melihat ke sekitar dan tidak ada siapa pun di sana yang dikenalnya.
"Beliau tidak mau disebutkan namanya. Terima kasih sudah makan di sini, Nona. Ini pesanan Anda."
Dengan ragu, Lily menerima makanan yang telah dipesan. Menatapnya bingung. Batinnya terus bertanya, siapakah yang sudah berbaik hati membayar semua makanan itu. Apakah Brian? Tapi lelaki itu tidak mengirim pesan apa pun padanya. Bahkan, ia tidak mengatakan pada Brian kalau hendak ke restoran itu bersama Ines.
"Kenapa wajah lu bingung gitu, Ly? Duit lu kurang?" tanya Ines mendadak bingung.
"Enggak. Gue cuma heran aja. Ada orang misterius yang ngebayarin makanan kita."
"Orang misterius?"
Lily mengangguk cepat sambil menghabiskan minuman di gelas yang tinggal sedikit. "Heem. Bahkan, termasuk makanan yang gue bungkus ini juga sudah dibayar."
"Siapa yang bayar?"
"Kalau gue tahu, mana mungkin gue bilang orang misterius." Lily menghela napas panjang. Tangannya mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada Brian.
Namun, tidak ada balasan. Justru pesan itu hanya menunjukkan centang satu. Nomor Brian tidak aktif.
Walaupun masih merasa penasaran, tetapi Lily mengajak Ines untuk pulang karena hari sudah mulai malam. Sesampainya di parkiran, kedua gadis itu terkejut saat melihat Arvel berdiri di samping mobilnya. Wajah Ines mendadak bersemu merah karena bertemu dengan pujaan hatinya.
"Ehemm! Kok bisa ada Arvel, jangan-jangan dia ngejar elu, Nes." Lily berbicara setengah berbisik sambil menggoda sang sahabat.
"Apaan sih elu, Ly. Jangan buat gue malu." Ines memukul lengan sang sahabat. Bukan untuk meluapkan rasa kesal, tetapi untuk menutupi rasa grogi karena bertemu sang gebetan.
Ines semakin merasa gugup saat Arvel sudah berjalan mendekat. Sementara Lily nampak biasa saja.
"Gue enggak nyangka ketemu kalian di sini," kata Arvel. Senyum manisnya menambah kadar ketampanan lelaki itu.
"Iya, gue juga. Elu sama siapa?" tanya Lily. Menengok ke sekitar dan tidak melihat siapa pun.
"Gue sendirian. Kebetulan tadi ada acara, dan mau mampir makan. Kalian udah makan?" tanya Arvel sambil terus menatap Lily dalam.
"Udah. Kita mau pulang."
"Yaaah, gue pikir kalian belum makan. Jadi, kita bisa makan bareng." Arvel menunjukkan wajah sedih. Sementara Ines menggoyangkan lengan sang sahabat dengan sangat perlahan. Seolah memberi kode.
"Oh iya, gue lupa. Biar Ines yang nemenin elu. Gue mau ada kepentingan dulu. Nanti setengah jam lagi gue jemput. Kalau enggak elu anter Ines pulang ya," kata Lily. Mendorong Ines perlahan agar semakin dekat dengan Arvel.
"Ly ...."
Lily meminta Ines diam sambil mengedipkan mata. Berbeda dengan Arvel yang justru nampak kecewa.
"Kenapa enggak sama elu juga?" tanya Arvel.
"Sorry, gue mesti pergi sekarang. Byeeee." Lily segera naik motor dan meninggalkan kedua orang itu.
Arvel hanya bisa menatap kepergian Lily. Lalu mengajak Ines masuk kembali ke restoran. Padahal Ines sudah merasa kenyang, tetapi ia sengaja agar bisa berduaan dengan Arvel. Kapan lagi ia bisa berduaan dengan lelaki idamannya.
Arvel memesan beberapa makanan dan menyantapnya dengan lahap. Keduanya tidak terlalu banyak terlibat percakapan. Hal itu membuat Ines merasa bahwa suasana itu cukup hampa.
"Nes, gue mau bertanya beberapa hal sama elu." Arvel menatap Ines dengan intens, membuat pipi gadis itu bersemu merah.
"Mau tanya apa? Gue bakal jawab."
"Emm, elu 'kan sahabat baik Lily. Pasti elu tahu semua hal tentang dia."
"Ya, apa yang mau elu tahu soal Lily?" Wajah Ines mendadak sendu. Dalam hati terus bertanya mengapa Arvel justru menanyakan soal Lily.
"Apakah dia dan Kak Brian memang benar pacaran? Gue lihat, mereka enggak seperti sepasang kekasih yang saling mencintai," kata Arvel sambil menghabiskan makanannya.
"Kenapa elu pengen tahu banget? Elu suka sama Lily?" tebak Ines.
"Gue cuma pengen tahu aja."
"Emm ... gue juga enggak terlalu tahu. Tapi, Lily dan Tuan Brian itu hanyalah sebatas kekasih karena ganti rugi." Ines pun menceritakan kejadian yang dialami oleh Lily dan bagaimana gadis itu bisa berpacaran dengan Brian.
Arvel mengangguk paham mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Ines.
"Oh, jadi kayak gitu. Besok gue bantu Lily buat bayar ganti rugi itu dan Lily enggak perlu lagi jadi kekasih Kak Brian."
"Kenapa?" tanya Ines tidak sabar.
"Enggak papa. Gue cuma enggak mau Lily tidak nyaman dengan kehidupannya."
"Arvel ...," panggil Ines pelan. Arvel menatapnya dalam. "Apa elu suka sama Lily?"
Arvel tidak langsung menjawab. Ia tersenyum simpul. Seolah menjadi jawaban bahwa hal itu memang benar. Sementara Ines langsung murung saat itu juga. Hatinya seolah patah berkeping-keping.
"Jangan bilang pada Lily. Selama ini cuma elu yang jadi sahabat baik dia. Gue yakin, pasti elu tahu segalanya tentang dia."
Arvel tersenyum sambil berujar demikian. Ia tidak menyadari bahwa ucapannya meruntuhkan harapan seseorang. Seorang gadis yang selama ini bermimpi untuk menjadi ratu di hati lelaki itu.
Lily ... ternyata selama ini gue salah.
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦