NovelToon NovelToon
Pernikahan Status

Pernikahan Status

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Juwita Simangunsong

Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.

Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.

Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.

Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Langkah kaki Anya terdengar pelan menuruni anak tangga menuju lobi. Hari itu ia datang untuk menghadiri rapat gabungan antar divisi. Rambutnya digelung sederhana, blazer hitamnya membingkai tubuh ramping yang tampak tegas namun anggun.

Di sisi lain lobi, Adipati baru saja keluar dari ruang rapat lantai dua. Ia menatap layar ponselnya, lalu menyimpan kembali ke saku. Begitu matanya mendongak...

Mereka saling melihat. Terdiam. Waktu seolah membeku.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Dunia tak bersuara. Hanya tatapan yang berbicara. Penuh tanya. Penuh rindu. Penuh luka yang belum sempat dijahit.

Adipati menelan ludah pelan, langkahnya sedikit ragu. Namun akhirnya ia melangkah maju.

Adipati pelan, nyaris tak terdengar

"Anya..."

Anya berdiri tegak. Hatinya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Senyum formal muncul sejenak, lalu lenyap.

Anya singkat, datar

" Mas Adipati."

Mata mereka bertemu lagi.

FLASHBACK suasana berubah perlahan, kenangan masuk.

Taman belakang rumah saat hujan kecil, Adipati memayungi Anya dengan jasnya. Adipati tertawa kecil, lembut "Nanti kamu sakit, nyebelin. Tapi lucu juga sih, kamu hujan-hujanan cuma buat nyari bunga liar."

Anya tertawa malu-malu "Bunga liar itu... kayak kamu tahu gak si mas? Spontan, liar, dan bikin candu."

" Ya , dan kamu juga pasti tahu hanya kamu yang bisa membuat aku lupa pada sosok Bram. Ingat apa pun yang terjadi aku mau kamu dengar dulu penjelasan ku. Aku tahu dan kamu harus percaya apa pun yang menyangkut tentang Bram dan aku itu sudah tidak ada." Adipati tersenyum penuh kehangatan pada wanita yang sangat penting dalam kehidupan nya saat ini.

Flash back off

Keheningan mengikat mereka lagi. Anya mengalihkan pandangan, mencoba tersenyum tipis "Aku ada rapat. Maaf."

Adipati setengah menahan "Bentar, Anya..."

Anya berjalan dengan cepat "Jangan. Jangan mulai lagi mas."

Ia melangkah melewatinya. Namun langkahnya berat. Saat hampir sampai di pintu lift, ia berhenti sejenak, lalu berbisik dalam hati.

Monolog Anya "Kenapa rasanya seperti kembali ke hari itu... hari di mana semuanya hampir baik-baik saja, sebelum semuanya hancur?"

Adipati menatap punggung Anya yang menjauh. Hatinya remuk, tapi ia hanya mampu menatap tanpa bisa menahan. Seraya berkata kepada dirinya sendiri "Satu kesempatan lagi. Tuhan, bisakah aku punya satu saja? Untuk bilang... aku masih cinta dan butuh dirinya, karena hanya Anya yang mampu membuat aku kembali menjadi laki - laki sejati.

***

Aku membuka pintu rumah dengan sedikit tergesa, peluh masih terasa di pelipis setelah perjalanan dari minimarket. Aku mendapati Andre duduk santai di ruang tamu sambil membaca komik Alvino, dengan kaki disilangkan dan senyum yang langsung merekah saat melihatku masuk.

"Baru aja mau nelepon kamu," ujarnya sambil bangkit dan membantuku membawa kantong belanjaan.

"Maaf, macet. Tadi Vino minta dibelikan es krim stroberi," sahutku sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam.

Suara tawa renyah Alvino terdengar dari taman belakang. Aku menoleh cepat. Vino?

Aku dan Andre saling pandang sejenak, lalu berjalan menuju pintu belakang yang mengarah ke taman. Di sana, Alvino duduk di ayunan sambil tertawa lepas. Yang membuatku membeku adalah pria dewasa yang sedang mendorong ayunan itu.

Adipati.

Dengan kemeja putih yang tergulung di lengan dan celana jeans biru gelap. Seolah tak ada jarak waktu sejak terakhir kali aku menatap matanya.

"Om Pati dorong lebih tinggi!" seru Alvino riang.

Om?

Jantungku mencelos. Ya, tentu saja. Alvino belum tahu siapa sebenarnya Adipati.

Andre menepuk pundakku pelan. “Tenang,” katanya lirih. Tapi hatiku tak tenang. Sama sekali tidak.

“Aku... ke dalam dulu. Mau bersihin diri.” Aku nyaris berbisik, buru-buru masuk kembali dan menuju kamar mandi. Aku tak ingin melihat apa yang akan terjadi antara mereka. Aku sudah cukup lelah hari ini.

 

Beberapa menit kemudian, aku kembali ke ruang tamu. Adipati sudah tak ada di dalam. Alvino tengah fokus dengan tabletnya, duduk di dekat jendela.

Andre duduk santai di sofa, menyambut ku dengan senyum menggoda.

"Udah adem, Nya?"

"Belum sepenuhnya," jawabku, menyisir rambutku yang masih agak basah dengan jari. “Tapi bisa ku atasi. Jadi… kalian ngobrol apa tadi?”

Andre terkekeh. “Oh, dia serius banget, loh ternyata kalau kita punya hubungan spesial. Tegas banget ngomong kalau kamu itu masih istrinya.”

Aku terbelalak. “Apa?”

“Iya, dia bilang gini...,” Andre menirukan suara berat dan dingin, “‘Anya itu masih istriku. Alvino anak kami. Jadi tolong menjauh.’”

Aku membekap mulut, lalu tertawa. “Ya ampun, lebay banget.”

“Banget...dan aku jawab, ‘Kita bersaing sehat aja, Om. Karena setahuku, kamu itu masa lalunya.’” Andre menirukan nada sok bijaknya, membuat tawaku pecah makin keras.

Kami tertawa terbahak-bahak, tak tahan membayangkan wajah Adipati yang penuh ego dan keseriusan saat melontarkan kalimat itu.

“Aduh... aku nggak tahan,” ucapku sambil menyeka air mata di ujung mataku karena terlalu banyak tertawa. “Kamu bikin aktingnya pas banget.”

Andre juga masih terkekeh saat berkata, “Tapi jujur ya, Nya, aku salut. Dia beneran kelihatan sayang banget. Walau... ya... terlalu posesif.”

Aku mengangguk, tawa mulai mereda. “Dia memang seperti itu. Tapi... kamu tahu kan, aku dan kamu itu cuma sahabat tidak lebih dan kamu sudah tahu alasannya.”

Andre menatapku lekat, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyaman seperti ini, Nya. Kita nggak perlu berpura-pura.”

Tanpa kami sadari, dari balik dinding dekat lorong dapur, ada sepasang mata yang menatap dengan amarah tertahan. Adipati.

Ia tak tahu apa yang kami tertawakan. Ia tak tahu isi percakapan kami. Tapi tawaku dan Andre cukup untuk membakar bara di dadanya.

Dengan rahang mengeras dan mata yang memerah oleh api cemburu, Adipati melangkah pergi dari rumah. Tidak mengucap pamit. Tidak melihat ke belakang.

Tapi aku yakin… itu belum akhir dari semuanya.

***

Tawa itu terus berputar di kepala Adipati, seperti gema tak berujung. Wajah Anya dan Andre, tertawa lepas di ruang tamu tanpa beban, tanpa rasa bersalah tertanam jelas di benaknya. Ia menggertakkan gigi, tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat. Suara knuckle-nya berderak samar.

“Bagus, Pati. Kamu kira dengan main ayunan bareng anakmu, kamu bisa langsung masuk ke hidup mereka lagi?” gumamnya sarkastik. “Lihat aja, mereka... tertawa. Tertawa!”

Mobilnya melaju tanpa arah pasti, hanya mengikuti jalanan kota yang mulai temaram diterpa cahaya oranye senja. Ia membuka kaca jendela, berharap angin bisa mendinginkan kepalanya yang panas. Tapi sia-sia. Kepalanya justru dipenuhi suara hatinya sendiri yang terus menuduh.

“Enam tahun... enam tahun gue nahan semuanya, hidup di tengah rasa bersalah, dan sekarang...? Gue malah kelihatan kayak orang asing di depan anak gue sendiri. Bahkan dipanggil ‘Om.’” Suaranya tercekat.

Matanya mulai memerah. Tapi bukan karena air mata. Ini kemarahan. Dan kekecewaan pada dirinya sendiri.

Hingga...

Sebuah bayangan familiar tertangkap di sudut matanya. Ia menginjak rem perlahan dan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Dari balik kaca depan, dia melihat sebuah café terbuka. Dua pria duduk di salah satu meja dekat jendela.

Salah satunya...

“Bram?” gumamnya pelan.

Pria itu tampak santai, menyesap kopi dengan senyum lebar, seolah tak pernah membawa luka dalam hidup orang lain. Di depannya duduk seorang lelaki muda yang asing, mereka berbincang dengan santai, tertawa kecil.

Adipati menatap lekat. Jemarinya bergetar. Ingin rasanya ia turun, berjalan cepat ke arah Bram, menarik kerah bajunya dan memaksanya bicara di depan Anya. Mengungkap semuanya. Bahwa malam kelam enam tahun lalu hanyalah jebakan keji. Bahwa ia dijebak. Bahwa dia tak pernah mengkhianati Anya seperti yang terlihat.

Tapi tubuhnya tak bergerak. Jantungnya justru berdegup makin kencang. Dadanya sesak.

“Kalau gue kasih tahu Bram... kalau dia cerita ke Anya... dia bakal percaya?” gumamnya lagi, kali ini lebih lirih, lebih takut. “Atau... dia malah makin muak sama gue?”

Bayangan Anya yang memalingkan wajah darinya muncul lagi. Tatapan penuh luka. Suara tegasnya saat berkata, “Aku udah gak percaya lagi, Dip.”

Adipati memejamkan mata. Kedua tangannya gemetar menggenggam setir.

“Gue udah nyakitin dia cukup dalam waktu itu... gue takut malah makin hancur semua kalau Bram ikut campur.” Suaranya pecah, nyaris berbisik pada dirinya sendiri.

Beberapa detik kemudian, ia menyalakan mobil lagi. Kakinya menekan pedal gas perlahan.

Ia memilih pergi. Menjauh dari Bram. Menjauh dari kemungkinan memperbaiki keadaan dengan risiko kehilangan segalanya.

Dalam diam, Adipati kembali ke keheningan yang selama ini sudah akrab. Namun kali ini, dengan perasaan lebih pahit.

Karena satu hal yang ia sadari... Ia mulai kalah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!