"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: : Tugas Pertama
Hari pertama Cakra di batalyon dimulai dengan suasana yang jauh dari santai. Baru saja ia selesai merapikan ranjang di barak, seorang ajudan datang menghampirinya dengan ekspresi serius. “Danton, Komandan memanggil Anda ke ruang briefing.” Tanpa banyak tanya, Cakra langsung bergegas menuju ruang komandan. Di ruang itu, Komandan sudah menunggunya bersama beberapa perwira lainnya. Di layar proyektor, tampak peta kawasan perbatasan yang ditandai dengan garis merah mencolok.
“Dua prajurit kita hilang saat patroli semalam di sektor Delta Lima,” ucap sang Komandan tegas. “Terakhir mereka terlihat sebelum badai datang. Sejak itu, tidak ada komunikasi.” Cakra berdiri tegap, memperhatikan peta dan mendengarkan setiap penjelasan dengan saksama. Suara Komandan terdengar berat, mencerminkan keseriusan situasi. “Daerah itu rawan. Cuaca buruk, jalur terjal, dan diduga masih ada gerakan separatis kecil yang belum tertangkap. Ini bukan latihan, Letnan. Ini medan sesungguhnya.”
Jantung Cakra berdegup lebih cepat. Ini adalah misi pertamanya sejak resmi dilantik menjadi perwira. Namun, ragu tidak pernah diajarkan di akademi. “Siap, Pak. Saya akan berangkat bersama tim,” jawabnya mantap, suaranya bulat dan penuh keyakinan. Sang Komandan menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Bagus. Persiapkan dirimu. Helikopter berangkat pukul lima sore ini.”
Langit kelabu menggantung rendah saat hari keberangkatan tiba. Hujan turun rintik-rintik, menambah kesan muram yang menggantung di udara. Angin berembus dingin, membawa kabar dari pusat cuaca bahwa badai besar akan melanda wilayah pencarian malam ini. Namun misi tetap dijalankan—waktu terlalu berharga untuk menunggu cuaca membaik.
Cakra mengenakan rompi taktisnya dan memeriksa ulang perlengkapan di punggung. Ia bergabung dengan satu regu tempur lengkap, bersama beberapa relawan medis yang akan bersiaga untuk evakuasi jika ditemukan korban selamat ataupun gugur. Di helipad yang basah oleh hujan, baling-baling helikopter mulai berputar perlahan. Suara mesin menggema di udara. Tim sibuk dengan persiapan: mengecek radio, menyesuaikan helm, mempersiapkan tandu darurat.
Cakra berdiri di samping pemimpin regu, menatap peta dan mendengarkan instruksi sambil sesekali menyeka embun dari pelindung wajahnya. Fokusnya tajam, tak ada ruang untuk distraksi. Namun di balik deretan relawan medis yang mengenakan jas hujan tipis berlogo Palang Merah, sepasang mata terus mengamati dari kejauhan. Seseorang dari tim medis diam-diam memperhatikan Cakra sejak tadi wajah itu ia kenal betul. Tapi Cakra belum menyadarinya.
Suara baling-baling helikopter menderu keras, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tulang. Di dalam kabin yang sempit dan penuh perlengkapan, para personel duduk berjajar, masing-masing sibuk memeriksa senjata, logistik, dan perlengkapan navigasi.
Cakra duduk dengan punggung tegap, helm tempur sudah terpasang rapi. Di tangannya, ia memegang berkas laporan: dua foto prajurit yang hilang, lengkap dengan catatan kronologi terakhir mereka terlihat. Tatapannya tajam, penuh konsentrasi, seolah tak ingin ada detail sekecil apa pun terlewat. Tak jauh darinya, seorang relawan medis duduk diam, mengenakan masker medis dan penutup kepala. Hanya sepasang matanya yang terlihat—mata yang memandang Cakra tanpa berkedip, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar dirinya.
Namun Cakra tak menyadari apa pun. Fokusnya hanya pada misi. Shifa menunduk perlahan, menggenggam erat bucket kecil berisi perlengkapan medis. Ini adalah penugasan pertamanya ke area konflik. Ia sudah mempersiapkan diri secara fisik dan mental, tapi tetap saja jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya—bukan hanya karena medan berbahaya, tapi karena satu hal tak terduga: bertemu Cakra di tempat seperti ini. Ia tak menyangka akan melihat laki-laki yang dulu melamarnya, kini duduk hanya beberapa langkah darinya—tanpa tahu bahwa ia ada di sana.
Sesampainya di pos depan, helikopter mendarat dengan guncangan halus di atas tanah berkerikil. Cuaca mulai memburuk—angin membawa kabut tipis dan langit tampak semakin muram. Semua personel segera turun, sigap menyiapkan perlengkapan dan menyusun strategi penyisiran.
Beberapa mobil off-road mulai dipanaskan. Jalur patroli tempat dua prajurit terakhir terlihat sudah dipetakan, dan regu dibagi ke dalam beberapa tim kecil. Cakra berdiri di tengah lapangan pos, menunjuk ke arah peta sambil memberikan instruksi pada anak buahnya dengan suara lantang dan tegas.
“Tim Alfa ke sektor utara. Bravo menyisir lembah. Tim medis tetap stand by di titik temu ini,” ujarnya sambil menunjuk koordinat. Koordinator medis datang mendekat, membawa daftar perlengkapan dan tenaga relawan. Di sampingnya, seorang relawan membuka masker pelan-pelan, seperti menanti momen yang tepat.
Cakra sedang menjelaskan sesuatu pada koordinator itu saat matanya tanpa sengaja tertumbuk pada sosok di sampingnya. Ia terdiam. Waktu seolah berhenti. “Shifa…?” suaranya hampir tak terdengar di tengah angin yang mulai kencang. Gadis itu berdiri di hadapannya, masih mengenakan jas hujan tipis di atas seragam medis. Wajahnya sedikit letih, tapi senyumnya tetap sama—hangat dan menenangkan.
“Surprise?” katanya pelan, sedikit canggung, seolah tak yakin apakah ini waktu yang tepat. Cakra menatapnya lama, masih sulit percaya. Di medan seperti ini, di antara kabut, ketegangan, dan bahaya yang mengintai—justru ia bertemu gadis yang paling ia rindukan.
Langit menggulung awan kelabu, angin mulai bertiup lebih kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Para personel mulai bergerak, tapi Cakra belum bisa mengalihkan pandangannya dari Shifa. Di antara riuh kesibukan dan deru kendaraan yang bersiap, dunia seolah menyempit hanya menjadi mereka berdua.
"Tempat ini bahaya… kamu nggak cerita bakal ke sini," ucap Cakra akhirnya, suaranya terdengar serak tertahan. Shifa menatapnya tenang, matanya jernih meski jelas ada kegelisahan di sana. Tapi sorot itu tetap tegas, tak goyah. "Shifa dapat panggilan buat jadi relawan, Bang. Shifa mau cerita… tapi abang yang selalu nggak ada waktu." Nada suaranya lembut, tanpa menyalahkan—lebih pada kejujuran yang sudah lama tertahan. Cakra terdiam. Kata-kata itu menyelinap ke dadanya, menyisakan perasaan bersalah yang tak bisa ia sangkal. Angin bertiup lebih dingin, menggoyang dedaunan dan menyibakkan rambut Shifa.
Di tengah langit yang gelap dan medan yang penuh risiko, ada badai lain yang tak kalah hebat—badai dalam hati mereka masing-masing. Cakra akhirnya menghela napas, lalu tersenyum kecil. Tangannya terangkat, mengacak lembut rambut Shifa yang sudah mulai basah oleh embun. "Kalau begitu…" katanya pelan. "Abang bakal awasin kamu terus. Jangan jauh-jauh dari abang, ya?" Shifa mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Mereka tahu, ini bukan tempat atau waktu untuk terlalu larut dalam rasa. Tapi justru di sinilah cinta mereka diuji—di antara derap tugas dan gelombang kekhawatiran.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf