Dipusingkan oleh pekerjaan, membuat Dakota Cynthia Higgins melampiaskan rasa lelah dengan bersenang-senang di club malam bersama teman. Dia yang sedang mabuk pun ditantang untuk menggoda seorang pria yang tak lain adalah Brennus Finlay Dominique.
Dalam kondisi terpengaruh alkohol, mabuk berat hingga kehilangan akal sehat, Dakota sungguh merayu Brennus hingga terjadi satu malam penuh tragedi. Padahal sebelumnya tak pernah melakukan hal segila itu dengan pria manapun.
Ketika sadar, Dakota benar-benar menyesal. Bukan akibat kehilangan mahkota yang selama ini dijaga, tapi karena pria itu adalah Brennus, salah satu keturunan Dominique. Di matanya, keluarga itu memiliki sifat menyebalkan.
Brennus berusaha untuk menerima segala konsekuensi atas apa yang terjadi malam itu, tapi ternyata Dakota tidak menginginkan hal serupa. Wanita itu sudah anti dengan keluarga Dominique.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20
Hari itu berakhir dengan Brennus tak mendapatkan hasil apa-apa. Ditolak, bahkan bisa jadi Dakota kian jauh untuk digapai karena ia keceplosan sudah memiliki kekasih.
Benar juga apa kata wanita itu. Pasti Dakota bisa dilabeli dengan perebut milik orang. Walau Brennus yang memaksa, tapi pasti mulut Laura tidak sehalus kulit perawatan yang tiap bulan ia biayai.
Untung saja sore harinya Brennus ada agenda. Jadi, dia meninggalkan Dakota tanpa memaksa lagi.
Selama satu minggu tidak menunjukkan diri di hadapan sosok itu juga. Brennus membuat hari Dakota menjadi tenang seperti yang diminta.
Namun, tidak bagi dirinya yang tetap gusar. Panggilan dan pesan masuk dari Laura sampai ia abaikan terus. Terakhir kali ia meminta sang kekasih untuk putus, tapi ditolak, dan kini diteror dengan rentetan pesan juga telepon. Pasti meminta untuk bertemu.
Pusing rasanya. Brennus tidak bisa meraih Dakota seandainya masih bersama wanita lain. Sekretaris kembarannya terlalu kolot.
Wajah kusutnya terbawa hingga pulang ke mansion. Biasanya dia kembali ke apartemen, tapi entah kenapa hari ini kaki menginginkan untuk memijak kediaman orang tuanya.
Kehadiran Brennus langsung mencuri perhatian dua orang yang kini duduk di ruang santai.
“Woi ... anak orang?!”
Merasakan ada sebuah kacang terlempar dan kena kepalanya, Brennus menengok ke manusia yang baru saja berteriak memanggilnya. Ada Daddy dan pamannya duduk di sana.
“Kenapa?” Brennus menjawab dengan lesu. Ia bergerak mendekat ke sofa dan menghempaskan tubuh di tempat yang kosong.
“Wajahmu jelek sekali. Kalah tender?” tebak Dariush. Ia sodorkan gelas berisi wine, bekasnya minum.
Brennus masa bodoh mau bekas apa baru, ia raih saja dan teguk perlahan. “Bukan.”
“Lalu?” Dariush mengisi lagi gelas yang sudah kosong itu.
“Ini tentang wanita, cinta, dan kerumitannya,” keluh Brennus. Mendorong tubuh hingga punggung dan kepala bersandar semua di sofa.
“Sini cerita,” bujuk Delavar. Jarang-jarang anaknya terlihat menyedihkan karena wanita.
Ada hembusan napas sangat kasar. Entah Brennus tepat atau tidak jika menceritakan pada dua orang yang telah masuk usia paruh baya. Apa lagi kelakuan Daddy dan pamannya terkadang di luar nalar. Ia sedikit ragu kalau mereka bisa membantu mencari jalan keluar.
“Kau tidak percaya dengan kami?” tebak Dariush karena sejak tadi keponakannya hanya melirik tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Menyentakkan kedua alis ke atas. “Begitulah.”
Delavar dan Dariush bersamaan berpindah duduk. Keduanya menghimpit Brennus di kanan dan kiri. “Kami ini pejuang cinta sejati, jangan kau remehkan kemampuan tentang wanita,” ucap mereka bersamaan seraya menepuk dada.
Brennus menggaruk tengkuk. Sudahlah, cerita saja. Hitung-hitung mengurangi beban hidup.
“Aku baru saja meniduri wanita,” ucap Brennus.
“Kekasihmu?” sahut Delavar
“Bukan, sekretaris Aloysius.” Brennus melirik dua pria di kanan kirinya, melihat keterkejutan di wajah mereka.
“Oh ... lalu, di mana letak masalahnya? Kau tidak suka dia? Dan tak mau tanggung jawab, begitu?” Dariush mulai menebak lagi. Mana ada pria sampai pusing begitu kalau bukan karena ingin mangkir.
“Bukan juga. Justru sebaliknya.” Brennus menegakkan posisi duduk, lalu melanjutkan. “Dakota tidak mau ku nikahi. Padahal sudah ku bujuk-bujuk sampai setengah mati.”
“Baru setengah, sampai matilah,” seloroh Dariush yang bibirnya memang suka seenaknya jika bicara.
Delavar menoyor kepala saudaranya itu. “Sembarangan kau, nanti berkurang satu anakku.”
“Canda, baru begitu sudah emosi.” Dariush mencebikkan bibir. Merangkul dan menepuk pundak keponakannya. “Perihal mengejar dan mendapatkan cinta seorang wanita, aku dan Daddymu sudah berpengalaman.”
“Hm ... meski butuh waktu yang lumayan lama juga.” Delavar menyetujui, memang begitu kenyataannya. Mereka berjuang mati-matian, sampai titik darah penghabisan.
“Oke, coba berikan aku saran.”
“Nah ini metode kita berbeda saat itu,” ucap Dariush. “Kalau aku pepet terus, tidak dapat-dapat, ku ulur sebentar, tinggal, jauhi, buat dia merasakan kehilangan keberadaanku. Lama-lama luluh juga.”
“Daddy saat mendapatkan mommymu justru sebaliknya. Ku pepet terus sampai dapat, tidak pernah meninggalkan sedikit pun, justru akan selalu ada di sampingnya dalam kondisi apa pun. Membuktikan bahwa keinginanku untuk hidup bersamanya adalah nyata dan bukan bualan belaka,” imbuh Delavar.
Bukannya mendapatkan jalan keluar yang lurus. Brennus sekarang menjadi menemukan tiga cabang sekaligus. Dua pria yang katanya bisa membantu, rupanya semakin membuat ia pusing saja. “Jadi, jalan mana yang harus ku tempuh? Mengikuti cara Daddy atau Dariush?”