NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8: Si Lemah yang Menjadi Bebek

*Flashback

Suara sendok beradu dengan piring terdengar jelas di ruang makan kecil rumah kami. Lampu neon tua menggantung di langit-langit, menyinari meja kayu yang sedikit tergores. Aroma sayur bening bercampur sambal goreng tempe memenuhi ruangan.

“Ayo, makan bareng-bareng dulu. Jangan sibuk sendiri,” suara ibu terdengar hangat, meski ada sedikit lelah di matanya.

Aku duduk di kursi sebelah adikku, Rina. Wajahnya ceria seperti biasa, pipinya agak tembam karena baru pulang sekolah. Dia mendorong piring berisi lauk ke arahku.

“Kak, cepetan. Ayam gorengnya tinggal satu.”

“Ha? Itu buat aku!” aku protes cepat.

“Enggak, itu buat aku duluan. Kakak kan makannya selalu lambat,” katanya sambil nyengir.

Ibu tertawa kecil melihat kami saling berebut. “Udahlah, potong dua aja. Biar adil.”

Ayah hanya tersenyum tipis dari seberang meja, tapi tangannya lebih sibuk mengutak-atik ponsel di bawah meja. Sesekali pandangannya melirik layar dengan cepat, lalu kembali ke piring. Waktu itu aku mengira dia hanya urusan kantor.

Semua terasa biasa. Hangat. Seperti keluarga normal yang lain.

Beberapa bulan setelah itu, perubahan mulai terasa.

Ayah semakin jarang pulang tepat waktu. Kalau pun pulang, aroma parfum asing menempel di bajunya. Ibu pernah diam-diam menciuminya, lalu malamnya aku mendengar suara tangisan samar dari kamar mereka.

Rina juga mulai berubah. Anak ceria yang dulu sering merengek minta jajan sekarang lebih sering mengurung diri di kamar. Aku beberapa kali mengetuk pintunya.

“Rin, belajar bareng yuk. Besok ada ujian kan?” tanyaku.

“Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri.” Suaranya datar.

Aku merasa aneh, tapi aku tidak memaksa. Kupikir, itu hanya masa-masa remaja yang labil.

Ibu makin sering gugup. Kalau ada suara keras di luar rumah, dia spontan menutup telinga. Kadang saat bel rumah berbunyi, ibu panik seolah ada bahaya besar. Aku tahu itu karena dia takut ayah benar-benar tak kembali.

Suatu malam, aku melihat Rina duduk sendirian di teras. Angin malam membuat rambutnya menutupi wajah. Aku duduk di sampingnya.

“Kenapa murung gini?”

“Enggak… cuma lagi mikir aja.”

“Mikir apa?”

Dia menoleh, menatapku dengan mata sayu. “Kak… kalau suatu hari aku nggak ada, Kakak bakal nyari aku nggak?”

Aku terdiam sebentar, lalu menjitak kepalanya pelan.

“Ngaco. Kamu adik aku. Mau sampai kapanpun, aku pasti bakal nyari. Jadi jangan ngomong aneh-aneh.”

Dia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. “Hehe, iya deh…”

Waktu itu aku hanya menganggapnya bercanda.

Sepulang sekolah, aku menemukan pintu kamarnya terkunci rapat. Kupikir dia sedang tidur, jadi aku mengetuk pelan. “Rin, bangun. Ayo makan.” Tak ada jawaban.

Aku mengetuk lebih keras. Masih hening. Dadaku mulai gelisah. Aku memanggil ibu, dan dengan kunci cadangan kami buka pintunya.

Tubuhnya tergantung di balik kusen jendela, seutas tali melilit lehernya. Kakinya terayun pelan, wajahnya pucat membiru. Mataku langsung membelalak, sementara ibu menjerit histeris sampai suaranya pecah.

“Rinaaa!!”

Aku gemetar, kakiku lemas, tubuhku membeku. Aku ingin berlari memeluknya, tapi semuanya terasa begitu jauh. Pemandangan itu seolah menelan seluruh udara di ruangan.

Malam itu menjadi titik balik.

Ayah tidak pulang sama sekali. Teleponnya tak bisa dihubungi. Ibu duduk memeluk foto Rina sambil terus bergumam, “Andai aku lebih perhatikan dia… andai aku nggak sibuk curiga pada ayahmu…”

Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Rina di teras malam itu berulang di kepalaku.

“Kak… kalau aku nggak ada, Kakak bakal nyari aku nggak?”

Aku sudah janji akan selalu mencarinya. Tapi nyatanya, aku terlambat.

Sejak saat itu, rumah yang dulu hangat berubah dingin. Ibu makin parno, ayah akhirnya ketahuan punya wanita lain, dan aku… aku hanya tenggelam dalam penyesalan.

Aku terus mengingat senyumnya, tawanya yang ringan, dan kalimat terakhirnya padaku. Satu-satunya kenangan hangat itu kini menusuk lebih dalam daripada luka apa pun.

Rina sudah pergi. Dan aku tidak akan pernah bisa memutar waktu kembali.

...----------------...

Aku masih membayangkan tubuh Petani Tegar yang tergeletak diam. Darahnya meresap ke tanah, bercampur dengan lumpur rawa.

Bau anyir menusuk hidungku. Dadaku terasa sesak.

“Dia juga manusia… dia pasti punya keluarga.”

Bayangan samar terlintas, wajah seorang ibu yang menangis histeris, berteriak kehilangan anak. Seperti ibuku dulu, saat Rina… pergi dengan cara yang begitu kejam.

"Apakah istri dan anaknya akan menangis seperti itu juga? Apakah mereka akan menyalahkan dunia, atau menyalahkan dirinya sendiri?"

Aku menggeleng pelan. Pertanyaan itu tidak ada jawabannya.

Kenyataannya jelas, kalau tadi aku ragu sedikit saja, cangkulnya yang akan menembus tubuhku. Tidak ada pilihan lain.

"Ujung-ujungnya… mungkin aku memang lemah. Tapi aku tidak boleh berhenti di sini. Aku harus terus berjuang, terus melangkah… sampai cukup kuat, sampai tak ada lagi yang bisa menyeretku mati begitu saja."

Setelah insiden di kebun kemarin, aku memilih menjauh dari semua tempat yang berhubungan dengan manusia. Aku tidak ingin menambah masalah.

Julukan “Pembunuh Petani” mungkin hanya bisikan di antara mereka untuk sekarang, tapi bisikan seperti itu bisa menjadi teriakan keras suatu saat nanti.

Dan aku tahu, kalau aku kembali terlalu cepat, kemungkinan besar yang menyambutku bukan percakapan, melainkan senjata.

Aku menghela napas panjang. “Pengen cepat-cepat jadi manusia biar kecurigaan ini hilang.”

Aku berjalan menyusuri tepian rawa. Air setinggi mata kaki membuat kaki berselaputku mengeluarkan bunyi setiap kali terangkat.

Hari ini sistem memberiku misi sederhana: mencari seekor capung di tepi rawa. Aku sendiri tidak tahu sudah berapa rawa yang kulalui.

“Lagi-lagi misi simulator jadi bebek…” gumamku kesal.

Di sela-sela aku mencari capung dengan perasaan yang masih tidak enak karena kemarin, tiba tiba sistem mengeluarkan panel kuning dihadapanku, mungkin memberikan kesan untuk berhati-hati.

[Penangkaran Unggas illegal – Level Keamanan Rendah]

[Populasi unggas: Bebek tiga, Itik dua, Angsa lima]

Aku menelan ludah.

“Penangkaran? Itu berarti ada manusia di sana. Aku masih menyandang gelar ‘pembunuh petani’... sebaiknya setelah misi selesai, aku pergi saja. Tidak perlu ikut campur, biar tidak timbul masalah baru.”

Sistem tiba-tiba memunculkan panel baru di hadapanku. Tulisan bercahaya biru muda melayang di udara, sangat jelas terbaca.

[Quest Aktif: Lepaskan Semua Unggas dan Rekrut 3 Bebek Menjadi Pasukan Anda]

[Waktu 180 menit]

[Hadiah: 210 XP]

[Peringatan: Menolak atau mengabaikan quest akan berakibat pada pengurangan statistik secara permanen.]

[Efek penalti: -20% pada seluruh atribut dasar]

Aku membelalakkan mata. “Woi, sistem, kamu ini serius? Di sana ada manusia lho!” Suaraku meninggi, tapi panel itu tetap diam seakan mengejek.

Aku menunduk, menatap baris teks penalti. “Kalau aku menolak, statistikku bakal turun? Apa-apaan ini…”

Kepalaku sedikit bergetar menahan rasa kesal. Aku tidak punya pilihan lain. Meski enggan, mataku kembali tertuju pada hadiah quest.

“Dua ratus exp, ya? Hhh… yah, mau bagaimana lagi.” Aku mendesah panjang, lalu menambahkan dengan nada pura-pura malas, “Aku sebenarnya sih nggak terlalu tertarik… tapi kalau sistem yang maksa, ya baiklah.”

[🤮🤮]

Aku mendengus. “Astaga, gaya notifikasimu itu bikin sebal. Padahal aku barusan dapat larangan menjauh dari manusia selama tiga hari. Eh, sekarang malah disuruh jadi pengacau lagi. Hebat banget, sistem, hebat banget.”

Aku melangkah pelan ke arah sumber misi. Tidak lama, penangkaran bebek ilegal itu terlihat jelas di depan rawa.

Sebuah pagar kawat setinggi dada manusia berdiri melingkar, membatasi area yang cukup luas. Kawatnya sudah berkarat di beberapa titik, warnanya cokelat kusam, tapi tetap kuat menahan apa pun yang ada di dalam.

Di balik pagar itu, pemandangan yang kulihat membuat bulu kudukku meremang. Puluhan unggas berdesakan di atas tanah becek yang penuh lumpur dan kotoran. Warna bulu mereka kusam, bercampur dengan tanah, membuatnya sulit dibedakan.

Aku menelan ludah. “Kasihan sekali…”

Beberapa unggas berdiri kaku dengan kepala tertunduk. Di leher mereka terlihat bagian bulu yang hilang, menyisakan kulit merah menyala seperti luka yang belum kering. Ada yang mencoba mengepakkan sayap, tapi ruangnya terlalu sempit. Gerakannya hanya berupa kibasan cepat sebelum terhenti sia-sia.

Di salah satu sudut, seekor bebek muda berusaha keluar lewat bawah kawat. Paruhnya mencongkel tanah, kakinya menendang-nendang lumpur, tapi tubuh kecilnya terjerat. Bebek itu hanya bisa menggelepar pelan, suaranya lirih dan penuh putus asa.

Udara di sekitarku makin pengap. Bau kotoran menusuk hidung, bercampur dengan kelembapan rawa yang sudah tidak sehat. Aku sempat mengernyitkan paruh, menahan rasa mual. Sesekali terdengar suara paruh mematuk tanah, tapi bunyinya lesu, tidak seperti keriuhan alami kawanan bebek yang hidup bebas di rawa.

Aku mengepalkan sayapku erat-erat. “Jadi… manusia di sini bukan hanya berbahaya untukku,” ucapku lirih namun tegas. Mataku menyapu wajah-wajah lemah itu satu per satu. “Mereka bahkan tega memperlakukan sesama bebek seperti ini.”

Telingaku menangkap suara lirih dari arah kandang. “Kwek…” Hampir tak terdengar, suara itu tenggelam bersama gesekan bambu yang ditiup angin.

Aku mendekat, menempelkan paruh ke celah kawat yang berkarat.

“Hei,” bisikku lirih, suara tercekat karena tegang. “Kalian bisa berdiri? Siapa yang melakukan semua ini?”

Seekor angsa dengan bulu punggung rontok menjawab. Lehernya yang panjang tampak kurus, matanya sayu. Suaranya parau, keluar patah-patah seolah setiap kata butuh tenaga besar.

“Manusia… mereka membawa kami dari berbagai tempat… memberi makan sedikit… menunggu kami gemuk… lalu—” ia berhenti. Paruhnya tertutup rapat, kepalanya menunduk dalam-dalam.

Aku menggerakkan sayap, menekan kawat kuat-kuat. “Aku akan keluarkan kalian dari sini,” kataku, nada paruhku tegas, tak menyisakan ruang ragu.

Waktu di kepalaku berkurang. Sistem menampilkan angka mencolok: [180:00]. Hanya tiga jam.

Tatapanku jatuh pada tiga bebek yang tak ikut panik. Mereka duduk di ujung kandang, berbeda dari unggas lain yang meronta.

Pertama, seekor bebek putih dengan satu mata tertutup bekas luka panjang, seperti bekas cakaran yang tak pernah sembuh sempurna.

Kedua, seekor bebek cokelat dengan kaki lebih panjang dari ukuran normal, seakan tubuhnya salah cetak.

Ketiga, seekor bebek hitam dengan mata sayu, menatap seperti tak tertarik pada apapun.

Di atas kepala mereka, sistem menampilkan label biru yang bergetar samar.

Aku tidak buang waktu. Paruhku diarahkan ke kawat, lalu Sword Peck! menghantam keras.

Krak! Kawat tipis itu terpotong bersih, suara logam terkelupas memantul di udara. Pintu kandang goyah lalu terlepas, terbuka lebar.

“Keluar!” seruku.

Unggas-unggas lain langsung histeris. Mereka berlari tergopoh, sayap mengepak sembarangan, kaki menghentak tanah becek. Lumpur terciprat ke udara, bercampur dengan bulu rontok. Suara riuh memenuhi area.

Namun tiga bebek itu tidak bergerak. Mereka tetap di tempat, menatapku dengan mata tajam, seolah menimbang sesuatu yang tak terlihat.

“Kwek! Kalian mau ikut atau tidak?!” Aku menoleh cepat bergantian pada mereka, suara keras agar tak kalah oleh hiruk pikuk.

Bebek putih bermata satu akhirnya mengangguk kecil. Meski gerakannya lambat, ada ketegasan di sana.

Bebek cokelat berkaki panjang berdiri, langkahnya besar, penuh percaya diri, keluar dari kandang tanpa ragu.

Bebek hitam hanya menatap keluar sebentar, lalu kembali menatapku, sebelum akhirnya ikut maju.

Kami bertiga berlari meninggalkan area penangkaran. Nafas memburu, kaki-kaki menjejak lumpur, menimbulkan cipratan hitam di belakang. Dari arah kandang, suara kawat yang bergoyang keras bercampur dengan teriakan manusia yang baru menyadari sesuatu salah. Langkah kaki tergesa terdengar, masih jauh tapi makin mendekat.

Di sampingku, bebek putih bermata satu akhirnya membuka mulut. Suaranya rendah, serak, tapi tegas.

“Terima kasih… siapa kau sebenarnya?”

Aku menoleh sekilas. Nafasku masih tersengal, bulu di leher basah oleh keringat dingin. “Aku hanya bebek yang lewat.”

Bebek cokelat berkaki panjang mendengus, suaranya keras. “Kwek! Bebek lewat bisa membuka kandang? Jangan bercanda. Kau pasti punya tujuan.”

“Benar,” ucapku akhirnya, suaraku tegas. “Tujuanku sederhana. Aku butuh pasukan. Bukan sekadar lari dari kandang. Kita harus merebut tempat kita di dunia ini. Kalau kalian ikut denganku, aku janji… kita tidak akan lagi jadi unggas yang menunggu disembelih.”

Hening. Hanya suara cipratan air ketika seekor katak melompat ke lumpur.

Bebek hitam akhirnya membuka paruhnya. “Terima kasih, tapi aku sepertinya tidak ikut.”

Kepalaku langsung menoleh. “Kenapa?” tanyaku cepat, agak menekan suaraku.

Ia mendesis kecil, bulunya berdiri sedikit. “Sebaiknya jangan terlalu banyak bacot. Kau hanyalah seekor bebek. Mana mungkin sampai merebut tempat segala. Apanya yang butuh pasukan? Namanya aja ‘pasukan bebek’ rasanya seperti pasukan konyol… Ingatlah tempatmu.”

Aku tidak menahan diri lagi. “Kalau aku bilang… aku telah membunuh manusia, gimana?”

Dua bebek lainnya sontak mengeluarkan suara lirih kaget.

“Apa?”

“Serius?”

Mata bebek hitam sedikit membesar, tapi ekspresinya cepat kembali dingin. “Paling hanya membual. Bagaimana mungkin seekor bebek bisa membunuh makhluk tiga kali lipat tinggi badannya?”

Aku menajamkan tatapan. “Aku tidak membual.”

Duck Dash langsung kuaktifkan. Sekejap tubuhku berpindah, kini berdiri tepat di belakang bebek hitam. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku. Paruhku mendekat ke telinganya.

“Beginilah caraku membunuhnya,” bisikku pelan.

Dalam hati, aku menahan tawa. Padahal tadi aku juga sempat mengandalkan skill Pura-pura Mati. Ehek.

Bebek hitam terlonjak, bulu sayapnya berdiri semua. “APA?! Bagaimana bisa?!”

Dua bebek lainnya semakin terkejut. Yang cokelat refleks mengibaskan sayap, yang putih buru-buru maju menahan.

“Sudah, kalian berdua!” suara bebek putih meninggi. Ia menghadap bebek hitam dengan pandangan tajam. “Ini semua tidak ada gunanya. Kita hanya harus percaya kepada penyelamat kita!”

Suasana tegang. Aku hanya mengamati. Bebek hitam menggertakkan paruh, lalu menunduk sedikit.

“Ba-baiklah… aku akan ikut,” sahutnya akhirnya, meski tatapannya masih menusuk ke arahku. “Tapi ingat, aku masih belum percaya penuh padamu.”

Aku menghela napas panjang. Merepotkan sekali.

“Untuk saat ini,” kataku kemudian, “kalian bertiga tidur saja di tepian rawa itu. Aku sudah menyimpan makanan, kalau ada yang lapar tinggal makan.”

“Terima kasih,” ucap bebek putih dengan nada lega.

Aku tersenyum tipis. “Kebetulan kemarin aku sempat mengambil beberapa singkong dari lumbung Petani Tegar.”

Mataku melirik mereka satu per satu. Bebek hitam dan bebek cokelat akhirnya pergi ke sisi rawa, mencari tempat yang agak kering untuk menenangkan diri. Mereka tampak masih canggung, tapi setidaknya tidak menolak.

Aku pun berjalan bersama bebek putih, langkahku membuat air rawa kembali memercik pelan. Begitu kami sampai di tempat yang agak teduh di bawah batang pohon miring, aku hendak menutup mata…

Lalu, layar transparan muncul tiba-tiba di sudut pandangku.

[Ding!]

Sistem langsung mengeluarkan notifikasi baru di hadapanku.

[Guild Baru Dibentuk: Featherstorm]

Anggota: 4/20

“Baiklah… misi selesai.” Suaraku keluar pelan, lebih seperti gumaman, tapi ada nada lega di dalamnya.

[Quest Aktif Selesai]

[210 XP]

[Selamat! Level Anda meningkat]

Mataku membesar. Panen-panen!” teriakanku spontan, hingga ketiga bebek di sekitarku ikut menoleh.

[Level 5 → Level 6]

“Levelku juga meningkat sekarang!”

[Level 6 → Level 7]

[Level 7 → Level 8]

Aku mengedip beberapa kali, nyaris tidak percaya dengan angka yang muncul. “Level 8, kah? Semakin kuat saja diriku.” Aku tidak bisa menahan senyum.

Tulisan notifikasi itu melayang beberapa detik di depan mataku sebelum perlahan memudar. Saat membacanya, dadaku terasa sedikit lebih lapang, seperti ada beban yang selama ini menekan perlahan mengendur. Untuk pertama kalinya sejak aku terjebak di dunia ini, aku tidak berdiri sendirian.

Malamnya aku tertidur bersama mereka bertiga, dan panel system kembali menyala sekarang.

[Akses Data Lore Dunia Tersedia]

[Pencapaian: Membentuk Guild & Memiliki ≥3 Anggota Unik.]

[Mengunduh data…]

1
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 1 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 1 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 1 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!