Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Demam Panggung
"Aku nggak mau! Titik! Pokoknya aku nggak mau naik panggung!"
Bantal bergambar Elsa Frozen melayang di udara, menghantam wajah Gavin dengan telak. Pria itu bahkan tidak sempat menghindar. Dia hanya bisa menghela napas panjang, memungut bantal itu dari lantai, dan menatap putrinya yang sedang gulung-gulung di kasur seperti ulat nangka kepanasan.
"Alea, sayang, dengar Papa dulu," bujuk Gavin dengan suara selembut mungkin, mencoba menekan rasa frustrasinya. "Besok itu hari pentas seni. Semua orang sudah siap. Kostum kamu sudah jadi. Teman-teman kamu nungguin. Kalau Putri Saljunya nggak datang, nanti Pangerannya nikah sama siapa? Sama Tukang Sihir?"
"Biarin!" jerit Alea dari balik selimut. Suaranya teredam tapi jelas terdengar penuh kepanikan. "Biar aja pangerannya sendiri seumur hidup! Aku nggak peduli!"
"Kenapa tiba-tiba begini? Kemarin waktu latihan kamu semangat banget. Kamu hapal semua dialognya," Gavin duduk di tepi kasur, mencoba menarik ujung selimut.
"Aku lupa!" Alea menyibakkan selimut dengan kasar. Wajahnya merah padam, matanya berkaca-kaca. Napasnya memburu karena panik. "Tadi di sekolah pas gladi resik, aku lupa kalimat habis makan apel! Terus Dino ketawa! Terus semua orang liatin aku! Aku nggak mau! Nanti aku diketawain lagi!"
Gavin terdiam.
Demam panggung. Dia paham rasanya. Dulu saat presentasi bisnis pertamanya di depan dewan direksi, lutut Gavin juga gemetar.
Tapi ini anak tujuh tahun. Gavin bingung harus pakai kata-kata motivasi apa yang mempan.
"Itu cuma gladi resik, Nak. Wajar kalau salah. Besok pasti..."
"Nggak mau! Papa nggak ngerti! Rasanya kayak mau muntah!" Alea melempar boneka beruangnya ke dinding. "Aku sakit perut! Aku pusing! Aku mau pindah sekolah aja!"
Gavin memijat pelipisnya yang berdenyut. Drama ini lebih melelahkan daripada negosiasi merger perusahaan.
"Ada apa ini? Ribut-ribut kayak pasar saham lagi anjlok."
Suara dingin dan tegas memotong teriakan Alea.
Kiana berdiri di ambang pintu kamar Alea. Dia baru saja pulang kantor, masih memakai kemeja kerja putih yang lengan bajunya digulung sesiku. Dia memegang segelas air dingin di tangan kanan dan iPad di tangan kiri.
"Tante!" Alea langsung menunjuk Kiana dengan jari telunjuk gemetar. "Bilang sama Papa, aku nggak mau ikut pentas! Aku mau sakit aja besok!"
Kiana melangkah masuk dengan tenang. Dia meletakkan gelas dan iPad di meja belajar, lalu berjalan mendekati kasur.
Dia tidak terlihat kasihan. Dia terlihat analitis.
"Kenapa? Takut?" tanya Kiana to the point.
"Aku lupa naskah!" adu Alea histeris. "Otak aku kosong! Nanti kalau aku diam aja di panggung gimana? Malu-maluin nama Ardiman!"
Kiana menaikkan alis sebelah. "Oh, jadi kamu sadar soal branding nama keluarga? Bagus. Ada kemajuan."
"Kiana, jangan ditekan dulu," bisik Gavin khawatir. "Dia lagi panik berat."
"Diam, Gavin. Kamu terlalu lembek," desis Kiana pelan, lalu kembali fokus pada Alea.
Kiana duduk di kursi belajar, memutar kursinya menghadap Alea. Dia melipat kaki, posturnya santai tapi mengintimidasi.
"Sini, duduk depan Tante. Hapus air mata kamu. Jelek," perintah Kiana.
Alea mengusap matanya kasar, lalu duduk bersila di kasur menghadap Kiana. Bibirnya masih manyun.
"Kamu pikir Tante nggak pernah takut waktu presentasi di depan ratusan investor yang mukanya garang-garang?" tanya Kiana.
Alea menggeleng. "Tante kan galak. Pasti investornya yang takut."
Gavin tersedak ludahnya sendiri mendengar kejujuran itu. Kiana hanya tersenyum miring.
"Benar. Tante galak karena Tante punya rahasia," Kiana mencondongkan tubuhnya, berbisik seolah membagikan strategi perang rahasia. "Tante nggak pernah menganggap mereka manusia."
Mata Alea membulat. "Terus? Hantu?"
"Bukan. Kentang," jawab Kiana datar.
"Ha? Kentang?" Alea bingung.
"Iya. Kentang. Wortel. Kol. Sawi," Kiana menghitung dengan jarinya. "Setiap kali Tante berdiri di atas panggung dan melihat ratusan orang menatap Tante, Tante membayangkan mereka semua itu cuma tumpukan sayuran di pasar induk. Sayuran nggak bisa ngejek kamu. Sayuran nggak punya otak. Sayuran cuma diam dan nunggu kamu masak."
Alea terdiam, mencerna konsep aneh itu.
"Jadi... Dino itu kentang?" tanya Alea polos.
"Kentang busuk, lebih tepatnya," koreksi Kiana. "Bu Siska itu kol yang ulatnya banyak. Kepala sekolah itu labu. Mereka semua benda mati, Alea. Kamu bosnya. Kamu kokinya. Kamu yang pegang pisau dan wajan. Kenapa harus takut sama bahan masakan?"
Senyum kecil mulai terbit di bibir Alea. Membayangkan Dino sebagai kentang busuk ternyata cukup menghibur.
"Tapi kalau aku lupa ngomong gimana?" tanya Alea lagi, kecemasannya belum hilang total.
"Improvisasi," jawab Kiana cepat. "Kalau kamu lupa kalimatnya, karang aja kalimat baru. Penonton itu bodoh, Alea. Mereka nggak hapal naskah aslinya. Asal kamu ngomongnya yakin, dagu diangkat, suara lantang, mereka bakal percaya kalau itu memang bagian dari naskah. Dalam bisnis, itu namanya bluffing alias menggertak. Yang penting confidence."
Kiana berdiri, bertepuk tangan satu kali. "Oke. Cukup teorinya. Sekarang praktik. Turun dari kasur."
"Mau ngapain?" tanya Alea.
"Gladi resik terakhir. Kita latihan di sini, sekarang. Sampai kamu bener-bener ngerasa jadi bosnya panggung," kata Kiana sambil menarik tangan Alea.
"Tapi lawan main aku nggak ada..."
Kiana menoleh ke arah Gavin yang sedang duduk diam di pojok, berharap tidak dilibatkan.
"Ada kok," Kiana menunjuk Gavin. "Aktor bayaran kita mahal nih."
Gavin melotot. "Saya? Saya nggak hafal naskah Putri Salju, Kia!"
"Nggak perlu hafal. Kamu jadi Kurcaci. Kurcaci ke-tujuh. Yang bisu dan cuma manggut-manggut," putus Kiana semena-mena.
"Saya CEO Ardiman Logistics! Masa jadi kurcaci bisu?!" protes Gavin tidak terima harga dirinya jatuh.
"Protes ditolak. Ini demi anak. Cepat jongkok!" perintah Kiana galak.
Gavin menggerutu panjang pendek, tapi akhirnya dia turun dari kursi empuk dan berjongkok di lantai karpet. Lututnya protes, tapi demi melihat Alea tersenyum lagi, dia rela jadi kurcaci, bahkan jadi jamur sekalipun.
"Oke, Action!" seru Kiana.
Alea berdiri tegak, menarik napas panjang. Dia membayangkan Kiana dan Gavin adalah kentang.
"Wahai Kurcaci yang... yang..." Alea macet. Dia lupa lagi.
"Improvisasi!" bisik Kiana tajam.
"Wahai Kurcaci yang... pendek dan buncit!" seru Alea lantang, menunjuk Gavin.
Gavin melongo. "Hei! Papa nggak buncit! Papa sixpack!"
"Sstt! Kurcaci bisu dilarang ngomong!" tegur Kiana, lalu beralih peran. Kiana mengambil selendang dari lemari dan melilitkannya ke leher. Wajahnya berubah menjadi Ratu Jahat yang sangat meyakinkan.
"Cermin, cermin di dinding! Siapa yang paling cantik di negeri ini?!" suara Kiana menggelegar, penuh drama.
Alea terkikik geli melihat ibu tirinya berakting jadi ibu tiri jahat. Itu peran yang terlalu pas.
"Aku! Aku yang paling cantik! Kamu cuma nenek-nenek keriput!" balas Alea berani, menyimpang dari naskah asli tapi penuh percaya diri.
"Bagus! Itu spiritnya!" puji Kiana. "Lanjut! Adegan makan apel beracun!"
Kiana melempar bola tenis (sebagai apel) ke arah Alea. Alea menangkapnya, pura-pura menggigit, lalu jatuh tergeletak di kasur dengan gaya dramatis. Lidahnya menjulur keluar.
"Mati kok melek? Merem!" koreksi Kiana.
"Oh iya," Alea memejamkan mata rapat-rapat.
"Sekarang Pangeran Kurcaci, cium dia biar bangun!" perintah Kiana pada Gavin.
Gavin yang masih jongkok dengan kaki kesemutan, merangkak mendekati kasur. Dia mengecup kening Alea penuh kasih sayang.
"Bangunlah, Putri. Tagihan kartu kredit menanti," bisik Gavin asal.
Alea langsung bangun sambil tertawa terbahak-bahak. Ketakutannya hilang musnah. Kamar itu dipenuhi tawa mereka bertiga.
Malam itu, Kiana tidak hanya mengajarkan akting. Dia mengajarkan Alea bahwa kesalahan itu wajar, asalkan ditutupi dengan kepercayaan diri yang tebal.
Dan Gavin... Gavin belajar bahwa menjadi kurcaci jongkok di lantai kamar anaknya ternyata lebih membahagiakan daripada duduk di kursi direktur.
Keesokan harinya. Aula Besar SD Anak Bangsa.
Suasana di belakang panggung lebih kacau daripada pasar saham saat krisis moneter.
Anak-anak berlarian dengan kostum setengah jadi. Ibu-ibu make-up artist dadakan berteriak mencari lipstik. Guru-guru sibuk mengatur lighting yang korslet. Bau hairspray dan keringat bercampur aduk membuat udara terasa pengap.
Di sudut ruangan yang disekat tirai hitam, Alea berdiri di atas bangku kecil. Dia sudah memakai gaun Putri Salju yang indah—gaun biru-kuning dengan rok mengembang yang dipesan khusus oleh Kiana dari desainer butik langganannya. Bukan kostum sewaan murahan yang gatal.
Kiana sedang sibuk membetulkan pita rambut merah di kepala Alea. Tangan Kiana bergerak cekatan dan presisi.
"Tahan napas. Jangan gerak. Bedak kamu belum rata," gumam Kiana, membedaki pipi Alea dengan spons.
"Tante, aku deg-degan lagi..." bisik Alea, meremas rok gaunnya. Suara riuh penonton di luar sana terdengar sampai ke dalam. Ratusan orang. Ratusan kentang.
"Ingat teori kentang," kata Kiana tanpa menghentikan tangannya. "Mereka cuma sayur sop. Kamu yang punya dapur. Nggak ada yang perlu ditakutin."
Gavin muncul dari balik tirai, membawa botol minum dengan sedotan. Dia memakai jas rapi, siap duduk di barisan VVIP paling depan. Dia menyempatkan diri ke belakang panggung untuk memberi dukungan moral.
"Gimana? Putri Papa siap?" tanya Gavin, tersenyum lebar.
"Siap, Pa!" jawab Alea, mencoba terdengar yakin meski kakinya sedikit gemetar.
"Lima menit lagi tampil!" teriak seorang guru dari lorong. "Pemeran utama siap di posisi!"
"Oke, turun," Kiana membantu Alea turun dari bangku. "Minum dulu dikit, jangan banyak-banyak nanti kebelet pipis."
Alea minum seteguk. Dia merasa cantik. Dia merasa siap.
"Alea! Sini! Kita baris!" panggil temannya yang jadi kelinci.
"Iya!"
Alea berbalik badan dengan semangat. Dia melompat kecil hendak berlari menuju pintu panggung.
Namun, bencana itu terjadi dalam hitungan detik.
Di belakang panggung yang sempit dan penuh barang-barang properti itu, ada sebuah kotak kayu besar bekas pengiriman logistik yang belum sempat dibereskan oleh kru sekolah. Di ujung kotak itu, ada paku karatan yang menonjol keluar beberapa senti, tak terlihat di keremangan.
Saat Alea berputar dan melangkah, ujung rok gaun mewahnya yang mengembang menyapu kotak itu.
Sreeeeeet!
Suara kain robek terdengar sangat nyaring dan menyakitkan di telinga.
Langkah Alea terhenti mendadak karena tersangkut. Dia menoleh ke bawah dengan horor.
Kiana dan Gavin membelalakkan mata.
Bagian bawah rok gaun Putri Salju itu—lapisan tulle dan satin halusnya—sobek memanjang dari betis sampai ke paha bagian samping. Kain mahal itu menganga lebar, memperlihatkan legging putih di dalamnya. Rumbainya menjuntai menyedihkan, tersangkut di paku karatan.
Hening.
Seluruh kru di belakang panggung menoleh.
"Ya ampun! Gaunnya!" pekik salah satu ibu guru panik.
Wajah Alea pucat pasi. Darah seolah surut dari mukanya. Bibirnya bergetar hebat. Air mata langsung menggenang di pelupuk matanya, siap tumpah.
"Rusak..." cicit Alea, suaranya pecah. "Gaunnya rusak... Tante... Papa..."
"Tiga menit lagi! Musik pembuka sudah mulai!" teriak MC dari luar, tidak tahu apa yang terjadi di dalam.
Alea mulai terisak. Pertahanannya runtuh.
vote untuk mu