"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: Ketakutan di Ruang Gelap dan Mesin Pencetak Uang
(POV Budi - Flashback Saat Penculikan)
Gelap.
Bau apek dan oli bekas.
Hanya itu yang bisa kurasakan. Mataku ditutup kain hitam yang kasar. Tanganku diikat ke belakang kursi besi yang dingin.
Aku baru pulang sekolah. Masih pakai seragam putih abu-abu. Tiba-tiba di depan gerbang sekolah, sebuah mobil van hitam berhenti. Pintu terbuka, seseorang menarikku masuk. Aku bahkan tidak sempat berteriak.
"Woy, Bocah! Diem atau gue potong kuping lo!" suara serak seorang pria mengancam di telingaku.
Aku gemetar hebat. Bapak... Bapak di mana?
Sekarang aku duduk di sini, di tempat antah berantah. Aku bisa mendengar suara langkah kaki berat mondar-mandir di sekitarku. Ada empat orang, dari suara napas dan obrolan mereka.
"Bos Haryo bilang apa?" tanya satu suara.
"Tahan aja dulu. Kalau bapaknya si bocah ini masih bandel ngerjain proyek itu, baru kita kirimin jari kelingking anaknya," jawab suara lain yang lebih berat.
Jantungku rasanya mau berhenti. Jari kelingking?
Aku menangis tanpa suara. Air mataku merembes membasahi kain penutup mata. Bapakku cuma pemilik bengkel bubut besi. Kenapa orang-orang ini jahat sekali?
Jam demi jam berlalu. Rasa haus mencekik tenggorokan. Ketakutan menggerogoti kewarasanku. Aku mulai berhalusinasi, membayangkan aku tidak akan pernah pulang.
Brak!
Tiba-tiba terdengar suara di luar pintu gudang.
"Woy! Siapa lo?!" teriak penjaga di depan.
Bugh! Suara hantaman. Lalu sunyi.
Aku menahan napas. Apa itu polisi?
PRANG!
Kaca jendela di sebelah kiriku pecah. Sesuatu—atau seseorang—melompat masuk dengan cepat.
"Maling! Ada penyusup!" teriak penculik di depanku.
Suasana menjadi kacau. Aku mendengar suara baku hantam. Dug! Bukk! Krek!
Anehnya, tidak ada suara tembakan. Hanya suara tulang patah dan erangan kesakitan para penculik itu. Mereka tumbang satu per satu dengan cepat, seolah sedang melawan hantu.
Seseorang mendekatiku. Langkahnya tegap tapi tidak berisik.
"Tenang, Dik. Jangan gerak," suara seorang bapak-bapak terdengar di telingaku. Suaranya tegas, berwibawa, dan menenangkan. Bukan suara penjahat.
Ikatan di tanganku dipotong. Kain penutup mataku dibuka.
Cahaya menyilaukan masuk. Aku mengerjapkan mata. Di depanku berdiri seorang pria bertubuh besar dengan jaket safari hitam (Pak Teguh). Di sekeliling ruangan, empat penculik yang tadi mengancam memotong jariku kini sudah terkapar di lantai, merintih memegangi kaki dan tangan mereka yang bengkok aneh.
"Kamu aman sekarang," kata pria itu sambil tersenyum kebapakan. "Ayo pulang. Bapakmu nunggu."
Saat itulah tangisku pecah. Aku tahu aku selamat.
(POV Rian - Tiga Hari Kemudian)
Pabrik Gunawan Mesindo, Pulo Gadung.
Suara desingan mesin memenuhi ruangan pabrik yang kini terang benderang. Tidak ada lagi suasana suram seperti tiga hari lalu.
Sejak insiden penculikan Budi, Pak Gunawan bekerja seperti orang kesurupan. Dia tidur di pabrik, mengerahkan seluruh teknisinya, dan bekerja 20 jam sehari demi menyelesaikan pesanan Rian. Rasa terima kasih (dan rasa takut akan kekuatan Rian) membuatnya bekerja melampaui batas manusia normal.
Dan hasilnya ada di depan mata Rian sekarang.
Sebuah mesin raksasa sepanjang 5 meter berbahan stainless steel mengkilap.
"Ini dia, Pak Rian," kata Pak Gunawan dengan mata panda dan rambut acak-acakan, tapi senyumnya lebar sekali. "Sesuai cetak biru Bapak. Vacuum Sealer Rotary Otomatis. Kapasitas produksi: 5.000 sachet per jam."
Rian menatap mesin itu kagum.
Mesin ini bukan mesin pengemas biasa. Berkat desain Sistem, mesin ini memiliki fitur Nano-Sterilization yang membunuh bakteri pembusuk saat proses pengemasan, membuat bumbu basah bisa tahan 6 bulan di suhu ruang tanpa pengawet kimia berbahaya.
"Coba nyalakan," perintah Rian.
Bu Ningsih, yang diajak serta, menuangkan satu panci besar "Bumbu Gulai Bahagia" ke dalam corong input mesin.
Whirrr... Ck-Ck-Ck-Ck...
Mesin bekerja dengan irama yang memuaskan. Di ujung conveyor belt, meluncurlah sachet-sachet berwarna emas metalik yang sudah terisi bumbu kental, tertutup rapat, dan hangat.
Rian mengambil satu sachet. Desain kemasannya sederhana namun mewah (hasil desain Maya).
BUMBU GULAI BAHAGIA
Resep Asli Warung Viral
"Bahagia dalam 5 Menit"
Bu Ningsih mengambil satu, membukanya, dan mencicipi sedikit bumbunya.
"Masya Allah..." Bu Ningsih menutup mulutnya. "Rasanya nggak berubah, Mas! Sama persis kayak baru mateng dari wajan! Padahal udah masuk mesin!"
"Itulah teknologi, Bu," Rian tersenyum puas.
Maya mencatat di iPad-nya. "Kapasitas 5.000 per jam. Kalau kita jalankan 8 jam sehari, kita punya stok 40.000 bungkus per hari. Masalahnya sekarang... siapa yang mau beli sebanyak ini?"
Rian menoleh ke Maya.
"Ingat Pak Hartono yang kasih kartu nama pas reuni?"
Maya mengangguk. "Raja Ritel itu?"
"Dia punya 500 supermarket. Tapi, kalau kita langsung masuk supermarket, kita akan ditaruh di rak belakang, kalah sama produknya Rasa Nusantara yang iklannya di TV tiap jam," jelas Rian.
Rian menatap sachet emas di tangannya.
"Kita nggak akan lawan mereka di TV. Kita lawan mereka di tempat yang mereka nggak ngerti: Media Sosial dan Kelangkaan."
Rian memberikan sachet itu ke Maya.
"Maya, hubungi Om Gembul dan 10 Food Vlogger lain yang kemarin review warung kita. Kirimkan mereka masing-masing satu kotak eksklusif bumbu ini sebelum kita jual ke umum."
"Strateginya apa, Pak?" tanya Maya penasaran.
"Strateginya: FOMO (Fear Of Missing Out)," Rian menyeringai. "Bilang ke mereka, Batch pertama cuma ada 10.000 bungkus. Siapa cepat dia dapat. Jual eksklusif di TikTok Shop dan Tokopedia jam 12 siang lusa."
"Kita bikin orang berebut. Kita bikin servernya down. Saat orang susah dapet barangnya, di situlah nilainya jadi mahal."
Pak Gunawan yang mendengar strategi itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Anak muda jaman sekarang... ngeri."
[TING!]
[Misi Sampingan Terbuka: The Viral War]
[Tujuan: Jual habis 10.000 unit Batch Pertama dalam waktu kurang dari 1 jam.]
[Reward: Poin +500 & Cetak Biru "Minuman Penambah Stamina" (Minuman Energi Herbal).]
Rian menatap notifikasi itu.
Kurang dari 1 jam?
Sistem meremehkannya.
"Maya, ralat instruksinya," kata Rian.
"Ya, Pak?"
"Bilang ke tim IT (kalau ada), atau kamu siapin server toko online-nya. Saya nggak mau servernya meledak. Karena saya yakin, ini bakal habis dalam 5 menit."
Perang dagang melawan raksasa Rasa Nusantara dimulai. Bukan dengan meriam, tapi dengan sachet bumbu seharga Rp 15.000.