Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BIMBANG
Siang hari, aku menuju kosan Hendra. Cuaca yang lumayan terik tiba-tiba sejuk karena mendung.
Dalam perjalanan aku masih merasakan yang tidak beres dari pengereman motorku.
"Ngeblong dikit anjir.."
Aku teringat saldo yang dikirim oleh Yudha tadi.
"Seratus buat servis rem... lumayan." gumamku.
Aku belum sempat membalas pesan Yudha. Mungkin isinya cuma ucapan saweran atas kemenangannya hari ini.
Sudah biasa.
Sesampainya di kosan Hendra, aku terlebih dahulu mengambil ponsel. Kemudian membuka WhatsApp.
Dan benar saja, "Udah gue kirim ke rekening bro, cuma seratus tapi..."
Aku membalasnya singkat, "Anjay.. menang berapa Yud?"
Kemudian menutup aplikasi, dan mematikan ponsel.
Hendra sudah menunggu duduk disamping pintu kosnya.
"Lama amat, otw dari arab lu?" keluhnya.
"Gue jalan pelan cok, rem gue ada masalah.."
Dengan nada kesal aku menjawab keluhan Hendra. Dia hanya tertawa kecil. Aku diam dan melangkah masuk.
"Bikin kopi Ndra.." suruhku.
Hendra lalu beranjak dari duduk. Melangkah masuk ke area dapur yang sempit. Suara gesekan gelas kaca terdengar.
"Pake gula nggak?" teriak Hendra dari dapur.
"Dikit aja, jangan kemanisan.." jawabku.
Setelah beberapa saat, Hendra akhirnya selesai. Dia keluar dari dapur sempit itu membawa segelas kopi.
"Emang dari mana lu?" tanya Hendra sambil menyuguhkan kopi.
"BKK, daftar loker." jawabku singkat sambil menggapai cangkir.
Kami berdua ngobrol sebentar. Membahas beberapa hal. Rasa kangen kampung, dan masalah pekerjaan.
Dia berasal dari kabupaten yang sama denganku, hanya berbeda kecamatan. Meski begitu jaraknya tetap jauh.
Aku kenal dengannya setelah dua bulan bekerja. Awalnya aku tak menyangka ada yang berasal dari kabupaten sepertiku.
Tapi setelah lama bekerja, ternyata hal itu lumrah. Dunia tak sempit seperti yang aku kira.
"Masih main?" tanya Hendra, dingin.
Aku diam sejenak. Bingung bagaimana mau menjawabnya.
"Gue ada saldo.. mau patungan gak.." imbuhnya.
Sampai disini aku paham. Mungkin dia butuh tambahan kekuatan. Pengalihan arus saat berulang kali kalah sendiri.
Aku dulu juga begitu.
"Ada nih, lima puluh doang tapi.." jawabku.
"Gak papa.. dari gue seratus."
Hendra pun membuka situs. Melakukan transaksi. Kemudian masuk ke permainan andalannya.
Walau patungan, aku tak berharap akan ada ledakan kemenangan. Setidaknya bisa jadi tontonan itu sudah cukup.
Seratus lima puluh yang awet, sudah tiga puluh menit berjalan. Tapi nominalnya juga naik turun tanpa arah.
Di sela itu..
Tingg
Notif pesan WhatsApp. Saat ku nyalakan ponsel, ternyata dari BKK.
"Untuk kandidat, tes PT dijadwalkan Senin....."
"...harap konfirmasi kehadirannya, terimakasih."
Begitulah pesan dari pihak BKK. Tes dijadwalkan hari Senin depan. Sekarang hari Jumat.
Akhirnya aku punya jadwal lagi. Saat Hendra tengah asik bermain, aku membuka browser.
Bukan untuk ikut main, namun membuka materi. Yakni materi Psikotes yang tersebar di internet.
"Buat belajar nanti malem..." batinku, kemudian berpaling lagi ke ponsel Hendra.
Sepertinya akun Hendra sedang berpihak. Nampak saldo yang naik di angka lima ratus ribu.
"Lah tuh naik Ndra, gak lu tarik?" tanyaku.
Hendra menatapku sejenak. Dahinya mengkerut.
"Jangan dulu lah, masih bisa naik ini.." jawabnya.
Pola yang sama. Aku dulu juga begitu. Sering berpikir bahwa saldo akan terus naik. Dan hasilnya? Malah buntung.
Namun alih-alih menasihatinya, aku hanya mengangguk setuju. Berniat untuk membiarkan permainan terus berjalan.
"Yah kalo menang lumayan, kalo nggak yaudah cuma lima puluh.." batinku.
Sampai saat saldo naik, kini nominalnya delapan ratus ribu. Hendra menghentikan gerak jarinya.
"Delapan ratus nih, lu tiga ratus gue lima ratus..." Hendra bertanya.
"Amann.." jawabku.
Tak disangka kehadiranku ini malah berujung manis. Aku dapat tiga ratus dari patungan lima puluh.
Lumayan, buat tambahan servis motor. Dengan begini saldo dari Yudha bisa awet.
Namun waktu berjalan terlalu cepat. Malam tiba. Kopi panas sudah tersisa ampas. Puntung rokok tak terhitung di asbak.
"Gue balik dulu Ndra, makasih ya.."
-
Di tengah jalan, aku mampir ke toko sparepart yang masih buka. Jaraknya sudah hampir sampai ke kosanku.
Toko yang kecil, tapi lengkap. Lantai depan yang hitam lembut seperti tanah. Bukti bahwa toko ini sudah berdiri lama.
Sebenarnya toko ini juga melayani penggantian part. Atau lebih tepatnya bisa dibilang bengkel kecil.
Sayangnya malam itu sudah hampir tutup, jadi mekaniknya sudah pulang lebih dulu.
Aku menghampiri penjaga toko.
"Kampas rem belakang Supra X 125."
Penjaga toko tersenyum. Kemudian berjalan melewati tumpukan kardus. Arah tempat gudang penyimpanan.
Setelah beberapa saat, dia kembali membawa yang ku minta.
"Tiga puluh ribu mas.."
Aku merogoh kantong, mengambil dompet.
"Ini mas.." sahutku menyodorkan uang pas.
Transaksi selesai, aku langsung pulang.
Jika saja mekaniknya belum pulang, aku lebih memilih sekalian di gantikan. Toh aku juga habis dapat uang tadi.
-
Sesampainya di kos, motor ku standar dua di depan kosan. Lalu masuk ke dalam mengambil beberapa kunci.
Karena sering terlibat modifikasi, pastinya aku punya kunci sendiri. Selain itu perbaikan motor juga basic dari SMK dulu.
"Lumayan lah buat kegiatan.." gumamku.
Jam menunjukan pukul sembilan malam. Akhirnya kampas rem selesai ku ganti.
Dan setelah mencobanya, hasilnya juga memuaskan. Motor kembali normal, plus dapat uang sedikit.
"Buat nyambung hidup, cukup..." aku bergumam lagi.
Kini aku punya waktu sedikit untuk membuka ponsel sebelum mandi. Setelah membuka layar kunci, ada balasan dari Yudha.
"Gak banyak, cuma menang dua juta.."
"..nanti kalau meledak lagi, gue kasih lagi bro."
Begitulah balasannya.
Saat mengecek saldo, masih tersisa empat ratus ribu. Tiga ratus bersama Hendra tadi, seratus dari Yudha.
Niatku sebenarnya ingin segera menukar saldo ini dengan tunai. Tapi rasanya malas untuk keluar lagi.
Lagipula aku masih punya cukup pegangan tunai. Jadi pikirku saldo ini lebih baik ku simpan dulu.
Nantinya, juga bisa ku gunakan untuk beli kuota dan pulsa listrik.
"Mandi dulu ah.." ucapku.
Aku juga teringat harus belajar. Karena tes berikutnya akan benar-benar aku jalani serius.
Aku harus berhasil. Jika tidak, tagihan pinjol bulan depan tak akan bisa ku bayar.
Handuk ku raih dari gantungannya. Aku berjalan masuk ke kamar mandi.
Di tengah guyuran air dingin malam ini aku juga berpikir satu hal.
"Beberapa hari ini kontrol gue udah mendingan..."
"...omongan Guntur beneran bikin gue mikir."
Tapi hasil sore tadi juga terlintas dalam kepalaku. Walau cuma patungan dan deposit kecil, aku bisa dapat tiga ratus ribu.
"Udah lama gak dibuka, kira-kira gacor nggak ya.." batinku sambil mengguyur badan.
Air terus mengalir. Menenggelamkan suara di kepalaku, tapi tidak pikiranku.
Aku menutup mata, membiarkan air menghantam wajah. Dinginnya seperti menampar pelan, mengingatkanku bahwa aku masih hidup.
Masih berdiri.
Masih punya pilihan.
Namun pikiranku justru melayang ke layar ponsel. Ke tombol yang tak pernah berubah tempatnya.
Ke situs yang selalu menunggu, tak peduli aku datang dengan harapan atau keputusasaan.
Seratus bisa jadi tiga ratus.
Tiga ratus bisa jadi kosong.
Aku tahu itu. Sangat tahu.
Tanganku mengepal. Ku keratkan gigi, seolah menahan sesuatu agar tidak keluar dari dadaku.
"Bukan sekarang," bisikku. Entah pada diriku sendiri, atau pada kebiasaan yang terus mengikuti ku seperti bayangan.
Air ku matikan. Sunyi kembali mengambil alih kamar mandi sempit itu. Aku berdiri diam beberapa detik.
Di luar, ponselku tergeletak di kasur.
Layar hitam.
Diam dan.... menunggu.