Ketika Arbiyan Pramudya pulang untuk melihat saudara kembarnya, Abhinara, terbaring koma, ia bersumpah akan menemukan pelakunya. Dengan menyamar sebagai adiknya yang lembut, ia menyusup ke dalam dunia SMA yang penuh tekanan, di mana setiap sudut menyimpan rahasia kelam. Namun, kebenaran ternyata jauh lebih mengerikan. Di balik tragedi Abhinara, ada konspirasi besar yang didalangi oleh orang terdekat. Kini, Arbiyan harus berpacu dengan waktu untuk membongkar semuanya sebelum ia menjadi target berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sama seperti ketenangan yang pernah ia miliki, harapan untuk menemukannya kembali kini lenyap ditelan deru mesin jet yang membawanya pulang. Lima belas jam penerbangan terasa seperti siksaan tanpa akhir, sebuah ruang hampa di ketinggian puluhan ribu kaki di mana satu-satunya teman Arbiyan adalah gema suaranya sendiri yang meneriakkan kata ‘terlambat’. Ia tidak tidur, tidak makan. Hanya menatap kosong ke luar jendela, membiarkan lautan awan menjadi layar bagi film bisu tentang penyesalannya.
Begitu roda pesawat menghantam aspal Bandara Soekarno-Hatta, getarannya seolah menjalar langsung ke tulang punggungnya, menyadarkannya dari lamunan beku. Udara Jakarta yang lembap dan panas langsung menyergapnya begitu pintu terbuka, sebuah pelukan gerah yang terasa mencekik. Tidak ada Arkan, tidak ada ibunya. Hanya seorang sopir paruh baya memegang papan nama bertuliskan ‘Pramudya’, wajahnya datar tanpa emosi.
Perjalanan menuju rumah sakit adalah kabur dari lampu jalanan dan siluet gedung-gedung pencakar langit. Jakarta tidak berubah, tetap bising dan sesak. Tapi dunia Arbiyan telah jungkir balik. Setiap klakson mobil terdengar seperti jeritan, setiap lampu merah terasa seperti jeda penyiksaan yang diperpanjang.
Koridor rumah sakit berbau disinfektan dan kesedihan yang tertahan. Dinding putihnya yang steril terasa dingin, memantulkan langkah kakinya yang tergesa. Di ujung lorong, di depan sebuah pintu kamar VVIP, ia melihatnya. Sosok itu berdiri tegak, setelan kerjanya masih rapi tanpa cela, rambutnya tersanggul sempurna. Linda Pramudya. Ibunya.
Arbiyan berhenti beberapa langkah di hadapannya, napasnya memburu. Amarah yang ia tekan selama penerbangan kini menggelegak di permukaan. “Mana Abhi?” tanyanya, suaranya serak dan menuntut.
Linda menoleh, wajahnya yang cantik menunjukkan sedikit keterkejutan sebelum kembali menjadi topeng ketenangan yang familier. “Arbiyan. Kamu sudah sampai.” Nada suaranya datar, seolah mengomentari cuaca.
Rahang Arbiyan mengeras. “Aku gak nanya itu. Aku nanya, di mana adikku?”
“Di dalam,” jawab Linda, matanya menunjuk ke pintu di belakangnya. “Tenangkan dirimu dulu, Biyan. Kamu kelihatan kacau.”
Kata-kata itu menyulut sumbu pendeknya. “Tenang?” Arbiyan tertawa sinis, suara tawanya terdengar sumbang di koridor yang sunyi. “Mama nyuruh aku tenang? Anak Mama koma di dalem sana, dan Mama cuma berdiri di sini kayak lagi nunggu antrean di bank!”
“Jaga bicaramu. Ini rumah sakit,” desis Linda, matanya melirik waspada ke perawat yang lewat. “Mama sudah mengurus semuanya. Dokter terbaik, fasilitas paling lengkap—”
“Aku gak peduli soal dokter!” potong Arbiyan, suaranya meninggi. Ia maju selangkah, menantang tatapan dingin ibunya. “Aku nanya soal Mama! Kenapa ini bisa kejadian? Mama kan di sini? Sementara aku dibuang jauh-jauh! Harusnya Mama yang jagain dia!” Tuduhan itu keluar begitu saja, tajam dan penuh racun rasa bersalahnya sendiri.
Untuk sesaat, topeng Linda retak. Ada kilat emosi di matanya—luka, mungkin—sebelum ia berhasil menguasai diri lagi. “Kamu pikir Mama tidak hancur?” balasnya dengan suara rendah yang bergetar. “Tapi apa gunanya histeris? Apa menangis akan membangunkan Abhinara dari komanya?”
“Setidaknya itu nunjukkin kalo Mama masih punya hati!” sembur Arbiyan. Ia membuang muka, tinjunya terkepal erat di sisi tubuh. “Keliatannya Mama lebih khawatir sama reputasi keluarga daripada nyawa anak sendiri.”
“Cukup, Arbiyan!” Kali ini suara Linda tajam, menusuk. Ada otoritas yang tak terbantahkan di dalamnya, otoritas yang sama yang telah mengirimnya ke Amerika setahun lalu. “Mama tidak akan berdebat denganmu di sini. Masuk. Lihat adikmu.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arbiyan mendorong pintu di hadapannya dengan kasar. Aroma obat-obatan yang lebih pekat langsung menyambutnya, bercampur dengan bunyi monoton dari mesin-mesin yang menopang kehidupan. Dan di sana, di tengah ruangan, di atas ranjang putih yang terlalu besar untuk tubuhnya, terbaring Abhinara.
Dunia Arbiyan berhenti berputar.
Ini bukan Abhinara yang ia kenal. Bukan adiknya yang akan tersenyum canggung saat ia goda, yang matanya akan berbinar saat bicara tentang buku atau musik klasik. Sosok di hadapannya pucat pasi, wajahnya tirus dengan lebam kebiruan di pipi. Sebuah selang pernapasan masuk ke mulutnya, dadanya naik turun dalam ritme mekanis yang dipaksakan oleh ventilator. Bunyi ‘bip’ teratur dari monitor jantung menjadi satu-satunya penanda bahwa adiknya masih ada di dunia ini.
Arbiyan berjalan mendekat, kakinya terasa seperti timah. Setiap langkah adalah sebuah penyangkalan. *Ini gak mungkin Abhi. Gak mungkin.*
Ia berdiri di samping ranjang, menatap wajah yang begitu mirip dengan wajahnya sendiri, namun kini begitu asing dan rapuh. Rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang pasang, menenggelamkannya dalam lautan penyesalan yang dingin. *Harusnya gue di sini. Harusnya gue gak pernah pergi.*
“Dia jatuh dari tangga, kata pihak sekolah,” suara Linda terdengar dari ambang pintu, memecah keheningan yang menyakitkan. “Tapi polisi masih menyelidiki.”
Arbiyan tidak menjawab. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, menyentuh jemari Abhinara yang tergeletak lemas di atas selimut. Dingin. Kulit adiknya terasa dingin seperti porselen. Amarah yang tadi meledak pada ibunya kini berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap dan terfokus. Sebuah sumpah tanpa suara. *Siapa pun yang lakuin ini ke lo, Abhi, gue pastiin mereka nyesel udah pernah dilahirin.*
Matanya menyapu tubuh adiknya yang tertutup selimut. Ia ingin memastikan tidak ada luka lain, ingin mencari bukti bahwa ini bukan sekadar kecelakaan. Perlahan, ia menggeser selimut itu sedikit ke bawah, hanya untuk melihat lengan Abhinara lebih jelas. Dan saat itulah ia melihatnya.
Di pergelangan tangan kiri adiknya, di antara kulit pucat dan jarum infus yang menancap, melingkar serangkaian memar berwarna ungu gelap. Bentuknya tidak acak. Polanya jelas, seperti bekas cengkeraman jari-jari yang begitu kuat, begitu brutal, hingga meninggalkan jejak permanen. Itu bukan luka karena jatuh. Itu adalah tanda perlawanan. Tanda bahwa seseorang telah memegang adiknya dengan paksa.
“Biyan?” panggil ibunya lagi, nadanya sedikit melunak. “Dokter sebentar lagi datang untuk menjelaskan—”
Napas Arbiyan tercekat di tenggorokan. Matanya terpaku pada pergelangan tangan itu. Darahnya terasa membeku, lalu mendidih dalam sekejap. Ini bukan kecelakaan. Ini bukan perundungan biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih keji. Jari-jarinya bergerak dengan sendirinya, hendak menyingkap lengan piyama rumah sakit itu lebih jauh, untuk melihat seberapa parah luka yang tersembunyi di baliknya.
Tidak sabar untuk selanjutnya!
semangat ya!