Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Suara seseorang sedang mengaduk sesuatu di dalam gelas terdengar memenuhi seluruh ruangan dapur sebuah apartemen mewah, membuat kesunyian yang sedari tadi sedang melanda secara perlahan-lahan mulai menghilang entah ke mana.
Aira—sosok seseorang itu—sedang mengaduk susu ibu hamil sambil menatap kosong ke arah luar melalui salah satu jendela. Ia perlahan-lahan mulai menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, kala ingatan tentang hasil pemeriksaannya beberapa jam lalu kembali hadir dan berputar-putar di dalam kepalanya.
Detik demi detik berlalu, air mata tanpa bisa dicegah mulai turun membasahi kedua pipi putih milik Aira, membuat perempuan berparas refleks menutup bibir mungilnya menggunakan telapak tangan—berusaha menahan isakan agar tidak terdengar memenuhi ruangan apartemen yang begitu sangat sunyi.
Tangan Aira yang satu masih menggenggam gelas berisi ibu hamil dengan sangat erat, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa di tengah dunianya yang secara tiba-tiba terasa begitu berat untuk dirinya jalani sendiri.
“Aku hamil … dua Minggu …,” bisik Aira dengan suara serak yang nyaris tidak terdengar sama sekali, seakan tengah berbicara kepada dirinya sendiri—kata-kata itu seperti menampar kenyataan yang selama ini tidak pernah berani dirinya bayangkan bahwa sentuh.
Setelah membisikan akan hal itu, tubuh Aira perlahan-lahan mulai berubah menjadi sangat lemas. Ia meletakkan gelas di atas meja dengan tangan bergetar, sebelum akhirnya merosot pelan ke lantai dapur apartemen miliknya—punggungnya bersandar pada lemari yang berada di bawah wastafel.
Aira dengan gerakan pelan dan sangat lemas mulai memeluk kedua lututnya, menyembunyikan serta menenggelamkan wajah cantiknya di sela-sela lengan sambil kembali meneteskan air mata.
“Aku … harus gimana? Aku bahkan … aku bahkan … bahkan nggak siap untuk semua ini ….”
Aira berusaha menarik napas panjang, tetapi itu justru membuat dadanya semakin bertambah sesak dan sakit.
Ingatan tentang malam itu—malam di mana kehidupannya berubah tanpa memberikan peringatan—mulai masuk dan kembali berputar-putar di dalam benaknya dengan begitu sangat jelas, membuat dirinya spontan mencengkeram dada kirinya, seakan mencoba menahan lima yang terasa semakin dalam setiap kali bayang itu lewat.
“Harusnya … harusnya … harusnya waktu itu aku biarin dia pingsan di depan toilet. Harusnya aku nggak nolongin dia dan bawa dia ke sini … Harusnya aku nggak terlalu percaya sama dia, walaupun dia mahasiswaku sendiri … Harusnya aku ngelakuin itu semua waktu itu … harusnya …,” gumam Aira dengan suara sangat pelan dan bergetar hebat.
Beberapa menit berlalu, Aira melepaskan pelukan pada kedua lututnya. Ia pelan-pelan mengangkat kepala dan bergerak menghapus semua air mata di wajah cantiknya, sebelum bergerak memberikan elusan lembut tepat di perut rampingnya.
“Maafin Mama, Sayang … karena kesalahan Mama … kamu yang nggak berdosa jadi harus hadir … Mama janji … Mama akan jagain kamu sebaik mungkin dan nggak pernah nelantarin kamu … meskipun Mama sendiri … Mama sendiri belum siap dengan semua ini.”
Aira menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan guna menormalkan kembali semuanya—menghilangkan semua ingatan buruk yang masih berpura-pura di dalam benaknya—sebelum dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian menggerakkan kedua tangannya yang masih bergetar hebat untuk mengambil gelas berisikan susu ibu hamil buatannya tadi dan mulai meminumnya secara perlahan-lahan.
•••
Pintu masuk ruangan kamar sebuah apartemen mewah nan megah secara perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan sosok Azka keluar dari dalam sana dengan wajah segar dan rambut masihlah sangat basah.
Azka melangkahkan kaki menuju ruangan tenang apartemennya, guna mencari keberadaan Rhea yang tadi sedang membantunya membuat rumah bagi Pixel—anak kucing yang baru saja dirinya adopsi beberapa jam lalu.
Begitu tiba di ruangan tengah, Azka refleks mengukir senyuman samar saat melihat Rhea sedang duduk di salah satu sofa sembari memberikan elusan lembut pada tubuh Snow dan juga Pixel. Ia sedikit mempercepat langkah kakinya, lantas segera mendudukkan tubuh tepat di samping kanan tempat sahabat baiknya itu berada.
Rhea refleks mengangkat kepala dan mengalihkan pandangan ke arah kanan, menatap wajah Azka sambil mengukir senyuman manis—tanpa menghentikan gerakan tangannya sama sekali. “Udah selesai mandinya?”
Azka mengangguk pelan seraya melipat kedua tangan di depan dada, lantas mengalihkan pandangan ke arah tempat rumah milik Pixel berada. “Iya … Lu sendiri … udah selesai buat rumahnya?”
Rhea mengangguk pelan sembari ikut mengalihkan pandangan ke arah rumah kecil berbahan kayu yang kini sudah berdiri rapi di sudut ruangan. “Udah. Tinggal lu kasih nama yang besar di depannya … buat kalau Pixel kabur, dia tahu rumahnya yang mana.”
“Kalau pun Pixel kabur … palingan juga ke lu … bukan ke orang lain,” kata Azka, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun.
Rhea terkekeh kecil saat mendengar hal itu, sembari memperbaiki posisi Snow yang sedang tertidur di atas pangkuannya. “Ya … mungkin juga. Dia kayaknya suka sama gue … tapi dia lebih butuh lu daripada gue, Az. Dia, kan, bakalan tinggal di sini bareng sama lu.”
Azka diam sejenak, merasakan ada sesuatu di dalam suara Rhea yang membuatnya sedikit teralihkan—halus, penuh perhatian, tetapi tidak berlebihan—sesuatu yang jarang sekali dirinya lihat serta sadari dari sahabat baiknya itu selama ini.
“Lu harus jaga Pixel baik-baik, Az ….” Rhea mengalihkan pandangan ke arah Pixel yang sedang berbaring sangat enak di tengah-tengah dirinya dan Azka. “Dia itu juga punya hati sama perasaan kayak manusia. Jadi, kalau lu nge-treat dia buruk … dia bakalan sedih dan anggap lu sebagai seorang penjahat.”
Azka mengangguk paham. “Iya … gue bakal lakuin hal itu … walaupun kayaknya bakalan susah dan ribet.”
Rhea kembali terkekeh pelan saat mendengar hal itu, lantas menggerakkan tangannya untuk memberikan elusan lembut di puncak kepala Azka. “Tenang aja … gue udah bilang bakalan bantuin ku, kan. Minggu depan kita ke tempat tadi lagi … kita ajak Pixel grooming … biar dia nggak kayak gembel.”
Azka menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil mengalihkan pandangan ke arah Pixel dan Snow. “Anjing lu aja yang kayak artis … tiap Minggu skincare-an.”
“Snow bukan anjing biasa.” Rhea mengangkat Snow dan mendaratkan beberapa ciuman di wajah anjing itu. “Dia ini anak gue yang paling gue sayangi.”
Azka menggeleng-gelengkan kepala pelan saat melihat tingkah sahabatnya itu. “Dasar … dah kayak emak-emak lu.
“Terserah,” jawab Rhea, sambil kembali menaruh Snow ke atas pangkuannya.
Setelah itu, keheningan nyaman mulai menyelimuti keduanya. Hanya ada suara AC dan dengkuran halus Pixel yang terdengar.
Azka mengalihkan pandangan ke arah luar melalui salah satu jendela ruangan tengah, membiarkan perasaan tenang dan hangat ini meresap—sesuatu yang jarang ia alami setelah sekian lama.
“Rhe,” panggil Azka secara tiba-tiba, membuat cewek berparas cantik itu spontan menoleh ke arahnya.
“Hmm?”
“Makasih, ya.”
Rhea mengerutkan kening. “Buat?”
“Buat … hari ini. Buat maksa gue ke tempat grooming. Buat bantuin gue bikin rumah Pixel. Buat … nemenin gue.”
Rhea terdiam sejenak, lalu secara perlahan-lahan mulai merekahkan senyumannya—senyuman yang tidak dibuat-buat sama sekali. “Kapan pun, Az. Gue selalu ada buat lu.”
Azka spontan mengukir senyuman tipis saat mendengar hal itu, lantas mengalihkan pandangan ke arah Pixel lagi dan mulai bergerak memberikan elusan lembut di tubuh kucing kecil itu.
“Jadi temen yang baik buat gue, ya … Pixel.”