"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LARI
Aku menunggu, lama, pikiranku berkelana tatkala jarum menancap di lengan lalu darah perlahan masuk ke dalam selang. Aku tersenyum dalam hati, menertawakan diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menyelematkan orang yang mengambil kebahagiaan terbesar dalam hidupku? Merusak dan memporak porandakan rencana yang kubangun begitu indah dengan Mas Pandu. Apa aku sudah gila?
Aku terus menatap langit-langit ruangan serba putih ini dengan pandangan menerawang. Memikirkan apa yang mengganjal di dalam sini, rupanya hatiku terlalu lunak, lukaku seolah mengering tatkala Melihat bayi merah tanpa daya itu lahir. Apakah aku sudah benar-benar tidak waras? Bagiku, Mas Pandu maupun Viona itu sama. Mas Pandu tergiur, Viona menggoda, hanya itu yang ada dalam pikiranku selama ini. Lalu, yang paling menyedihkan di sini adalah aku. Aku berada di tengah-tengah keluarga utuh mereka. Kehidupan macam apa ini. Tidak, aku harus keluar dari neraka ini bagaimanapun caranya.
Pikiranku terus melayang. Sekuat tenaga aku melawan logika dan nurani yang terus bertentangan. Inginku menutup mata atas kondisi Viona dan bayinya, namun nuraniku berkata sebaliknya.
Hatiku bergejolak dan berbagai pikiran terus masuk ke dalam kepala. Pikiranku sibuk bertanya lalu menjawab dengan sendirinya, hingga sampailah aku pada sebuah jawaban sesuai hati dan logika yaitu jika aku melakukan hal yang sama, bahkan tanpa darah ini Viona meninggal maka seumur hidup aku akan hidup dalam penyesalan, hatiku pun tak akan pernah tenang. Meski aku tahu, umur sudah ditentukan, tapi setidaknya aku bukanlah jalan atau alasan Viona meregang nyawa.
Suami sudah selingkuh bahkan sampai menikah dan punya anak, anak aku tak punya, orang tua pun tak ada. Ah, dunia sudah tidak dapat, mati masuk neraka. Susah dunia akhirat, dong? Seketika aku bergidik ngeri dengan pikiranku sendiri.
Aku menghela napas setelah lelah dengan segala pikiran yang terus bertentangan. Lalu kusapu pandangan ke seluruh sudut ruangan. Di kursi sebelahku, terlihat Mbok Darsih tertidur dengan posisi duduk. Aku tersenyum, damai setiap melihatnya. Mbok Darsih satu-satunya orang yang paling dekat dan berhati baik di dalam rumah itu. Aku seperti menemukan sosok ibu yang telah lama hilang dari dalam diri Mbok Darsih. Senyuman lugu, wajah teduh, dan kata-katanya selalu membuatku nyaman, kadang tertawa hingga terbahak. Kadang juga kesal.
"Ah, jadi teringat dokter sialan itu lagi setiap ingat kata-kata Mbok Darsih. Malas sekali aku," gumamku.
"Mbok, ngantuk?" tanyaku pelan. Ia terkesiap lalu
matanya terbuka lebar.
"Apa, Nya? Ada yang sakit?" Ia beranjak dari tempat duduk dengan raut terkejut seraya memeriksa tanganku. Aku menepisnya pelan. Entah sudah berapa kali aku melarangnya untuk memanggil Nyonya, tapi tetap saja Mbok Darsih melakukannya.
"Nggak, Mbok. Mbok ngantuk? Kalau ngantuk pulang aja, tidur, pasti semalem nggak tidur nunggu Viona. Minta anter Pak Danu atau Pak Totok, gih," perintahku masih dengan nada pelan, karena tak enak jika ada yang mendengar. Pasalnya, Mbok Darsih seharusnya tak perlu ada di sini. Tapi karena Mas Pandu menyuruh untuk menemani, akhirnya dia ada di ruangan ini. Malu? Tentu, dengan terus dikawal seperti ini membuatku tak nyaman. Mereka memang keterlaluan, sudah seperti buronan saja aku diperlakukan.
"Nggak, Nya, Mbok temenin Nyonya saja," jawabnya masih ngeyel, meski mata itu terlihat begitu lelah.
"Mbok nggak tidur, kan, semalem?"
Ia menggeleng. "Nyonya Viona nangis terus, teriak-teriak nyari Pak Pandu ...."
"Terus maki-maki saya?" selaku menebak apa yang terjadi semalam.
Ia tersenyum lalu mengangguk.
Sudah kuduga.
Aku menghela napas.
"Kenapa Mbok nggak mau bantu saya lari lagi, sih, Mbok? Saya capek. Ribut. Tersiksa." Akhirnya aku bertanya.
Pertama kali aku bertemu Mbok Darsih, dia sempat ingin membantuku keluar sampai akhirnya Viona datang menggagalkan. Namun, sekarang seolah tak pernah lagi ia lakukan. Bahkan, ia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku membahas tentang pelarian.
Ia terdiam seraya menunduk dalam.
"Mbok ...." Ulangku dengan nada penuh permohonan. Tak masalah jika darah ini membuat Viona selamat, asal aku tidak terus terpenjara dalam kekuasaan Mas Pandu yang jelas-jelas mengingkari kesepakatan kami sebelum pernikahan terjadi.
Ia menghela napas berat. "Kalau Nyonya Viona dan Bu Miranti saja tidak berani dan takluk, lalu apa lah saya ini yang hanya wanita tua, tanpa harta, tanpa daya," ujarnya dengan nada sendu.
"Tapi Mas Pandu kelihatan sekali percaya dan sayang sama Mbok."
Ia kembali terdiam.
"Mas Pandu nggak mungkin akan berani menyakiti, Mbok, kan. Palingan juga akan nyari saya aja. Saya cukup sembunyi. Sampai gugatan saya diterima pengadilan," lanjutku mencoba terus meyakinkan.
"Justru itu, bagaimana Mbok bisa menghianati orang
sebaik Pak Pandu. Dia yang menolong Mbok, dia juga sangat percaya dengan Mbok. Memperlakukan Mbok bukan seperti pembantu, tapi ibu." Ia berucap dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sisi baik dari Mas Pandu ia sampaikan dengan penuh keharuan, bagaimana bisa aku terus memaksanya?
Aku tak melanjutkan perbincangan karena tampaknya akan sia-sia saja. Rupanya, Mbok Darsih sudah berubah pikiran. Mungkin, Mas Pandu lebih berjasa sehingga dia tak bisa mengkhianatinya. Atau Viona mengadu pada malam di mana Mbok Darsih ingin membantuku waktu itu pada Mas Pandu, sehingga Mbok Darsih ditegur habis-habisan. Ah, kalau sampai benar kasihan sekali Mbok Darsih.
"Ya udah lah, Mbok. O, ya, bisa beli minum nggak?
Mbok, minta uang aja sama Mas Pandu, kalau dia belum keluar dari ruang bayi, minta saja sama yang ada. Bilang aja buat beli air dingin," perintahku setelah kulihat kantong sedikit lagi penuh.
"Oh, iya, Nya, iya."
Ia bergegas pergi. Sebelum ia pergi, ia terlihat berbicara dengan kedua pengawal yang saat ini berdiri di depan pintu. Sudah bisa dipastikan, Mbok Darsih menyuruh mereka agar tetap ada di sana. Ah, bagaimana aku bisa melarikan diri kalau seperti ini.
Perawat datang menghampiri. Melepaskan jarum dan selang yang menempel ditangan. "Sudah cukup, Mbak
Nanti jangan lupa makan-makanan yang bergizi biar cepet pulih," ujarnya padaku.
"Sus, bisa minta tolong."
"Ya, apa, Mbak?"
"Di luar itu ada orang yang ngikutin saya terus, saya takut, mereka berbuat macem-macem. Bisa nggak, Suster bantu saya keluar tanpa mereka tahu?"
"Kalau memang seperti itu, biar saya lapor pihak keamanan saja, Mbak," ujarnya lalu merogoh ponsel dari dalam saku. Tidak, kalau melibatkan security, sudah barang tentu melibatkan Mas Pandu juga. Mustahil.
"Eh, jangan, Sus. Saya nggak mau ada keributan di rumah sakit. Kasihan pasien yang lain. Suster cukup ikuti kata saya aja."
***
Suster mengalihkan perhatian lalu aku menerobos keluar. Aku berlari menuju parkiran, namun, tak bisa terlalu cepat sebab kepalaku sedikit berat. Mungkin efek setelah diambil darah.
Aku terus melangkah cepat, sedikit mengendap agar tak menimbulkan perhatian.
"Nyonya." Sial, suara Mbok Darsih justru terdengar olehku ketika aku sudah sampai loby rumah sakit.
Aku pura-pura tak mendengar lalu sekuat tenaga lari dari pandangannya.
"Nya, mau ke mana, Nya? Katanya minta minum," selorohnya lagi.
Ya Tuhan, kepolosan Mbok Darsih membuatku merasa bersalah. Ia bahkan masih tak mengira bahwa aku sedang berusaha lari darinya.
"Nya." Suaranya semakin keras. Lalu langkahkupun semakin aku percepat.
"Maaf, Mbok. Maaf," ujarku dalam hati lalu melangkah lebih cepat lagi.
"Nya, tunggu! Danu, Totok!"
Mati. Teriakan Mbok Darsih bisa menimbulkan masalah dan perhatian orang. Aku harus cepat pergi jika tak mau membuat kegaduhan.
Aku terus berlari Mbok Darsih terus mengejar.
Sesampainya aku di parkiran.
Bruk!
Aku justru menabrak seseorang yang sedang membawa makanan, sepertinya makan siang karena jam memang sudah menunjukkan waktu makan siang. Lunch box dan minuman yang ia bawa pun terjatuh dan berserakan. Cepat aku memungut sambil sesekali menoleh ke arah belakang untuk memeriksa Mbok Darsih sudah sampai mana lalu menyerahkannya kembali.
"Hati-hati, Mbak!" seloroh lelaki yang tanpa sengaja aku tabrak tadi.
"Sorry, Mas. Saya buru-buru." Aku berkata seraya menangkupkan ke dua tanganku di depan dada sebagai bentuk permohonan maaf dari hati yang paling dalam, lalu segera lari dari pandangannya.
Kali ini aku memilih untuk bersembunyi di balik mobil, sebab energiku sudah hampir habis, napasku pun seolah tinggal setengah.
"Woe, makanan saya nggak bisa dimakan ini, Mbak! Kamu maling, ya? Ngambil barang milik pengunjung kamu?! Saya panggil security." Lelaki itu terus mengoceh dengan tuduhan yang mengejutkan. Masih bisa kudengar dengan jelas suara itu, sebab, aku bersembunyi di balik mobil yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Tenagaku sudah habis, kepalaku mulai pening. Aku tak sempat menjawab, karena masih mengatur napas. Ia pun berdecak kesal. Lalu, detik selanjutnya, suara Mbok Darsih terdengar, kali ini suara Pak Danu dan Pak Totok pun turut serta.
"Nya ...." Suara mereka terdengar nyaring dan jelas. Tampaknya mereka sudah mendekat ke arahku.
Matilah aku.
"Sultan lagi!" gerutu pria yang ternyata belum juga meninggalkan tempat ini, masih bisa kudengar meski tak begitu keras. Aku mendesah lelah.
"Dia lagi, dia lagi. Dokter Ingusan." Lirihku tak percaya. Meski tak kulihat wajahnya, aku masih ingat gaya bicara yang selalu terkesan menghina itu siapa.
"Apa? Dokter apa tadi kamu bilang?" tanyanya tak terima.
"Diamlah, suara dokter bisa membuat mereka tahu. Dan saya bukan sultan. Jadi, jangan terus mengejek saya seperti itu. Kamu mau ganti rugi makanan yang jatuh oleh saya, kan? Saya Maira, rumah saya di jalan mawar, pinggiran jakarta. Saya akan tanggung jawab. Kalau nggak percaya datang saja. Saya nggak bawa KTP," kataku asal karena sudah sangat kesal.
Ia berdecak.
"Nya ...."
Lalu lagi-lagi terdengar suara mereka. Ah, sialan.
"Please, diamlah. Jangan kasih tahu mereka." Bahkan, tanganku menangkup secara tanpa sadar meski dia tak ada di hadapan.
"Semua orang punya masalah. Tapi, setidaknya jangan jadikan masalah Anda sebagai penyebab masalah bagi orang lain. Ibu itu misalnya. Lihatlah, dia sudah sangat payah. Apa Anda masih kuasa melihat mereka dihabisi majikannya!"
Aku terkesiap mendengar ucapannya. Reflek aku berdiri, menatap nanar punggung yang menghilang pergi setelah ia membuang makanan yang aku pungut tadi ke dalam tempat sampah. Ia tak mendebatku seperti pagi tadi, bahkan ia memilih pergi tanpa memberi tahu Mbok Darsih dan yang lain. "Ah, dua kosong lagi," desahku dalam hati.
Mataku berkunang, lalu kesadaranku menurun dan pandanganku pun mengabur. "Viona... menyusahkan aku lagi," gerutuku.