NovelToon NovelToon
Cinta Atau Obsesi??

Cinta Atau Obsesi??

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Teen School/College / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia / Romansa / Nikah Kontrak
Popularitas:231
Nilai: 5
Nama Author: nhaya

Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
​Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia belum bangun

"Silahkan ambil ini,Tuan Artama," Dokter Harun pun kemudian memberikan sebuah botol kecil salep khusus."Salep luka bakar. Oleskan di bagian yang tidak terlalu parah setelah saya membersihkannya.Dan Tuan Artama,Anda sendiri terlihat seperti korban bencana.Saya sarankan Anda membersihkan diri dan menjaga suhu tubuh Anda. Anda tidak bisa merawatnya jika Anda sendiri sakit.".

"Tidak apa,Dokter.Saya bisa mengatasinya.".

​Artama malah mengabaikan saran itu. Ia hanya menatap Kanaya, gadis yang kini terbaring tak sadarkan diri, menderita karena permainannya. Rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang pasang, lebih menyakitkan daripada tinju Victor.

​"Apakah dia akan baik-baik saja, Dokter?" tanya Artama, suaranya terdengar serak.

Sofia yang mendengar itu pun kini menahan tawa nya.Ia merasa lucu melihat tingkah Artama saat ini.Ternyata tuan dingin kita juga bisa merasa kasihan.Panik ga tuh..Batin Sofia.

​Dokter Harun pun tersenyum tipis. "Dia kuat,Tuan Artama.Dia hanya kelelahan secara emosional dan fisik.Kita akan menurunkan demamnya,menangani lukanya, dan dia akan stabil dalam beberapa jam.Tapi dia butuh istirahat total, dan yang terpenting, kedamaian emosional.".

​Dokter Harun pun melirik Artama dengan tatapan penuh makna sebelum kembali fokus pada Kanaya. Pesannya jelas seperti mengatakan bahwa Artama, kaulah masalah emosionalnya.

​Sofia, yang kini sibuk menyiapkan peralatan medis, melirik Artama lagi.

Ekspresi Artama pun sekarang tidak lagi berupa amarah atau cemburu.Hanya ada kekhawatiran yang mendalam dan rasa bersalah yang menyakitkan.

​Dua jam pun berlalu. Dokter Harun telah selesai memberikan suntikan, memasang cairan IV, dan membersihkan serta membalut luka bakar Kanaya.Setelah memberikan instruksi ketat untuk pemantauan suhu ,mengganti cairan dan mengganti balutan luka, Dokter Harun pun pamit.

​Setelah itu,Sofia pun dengan sigap membereskan kekacauan di kamar Kanaya dan kamar mandi.Artama sebelumnya sudah menyuruhnya untuk memanggil maid agar membantunya membersihkan,tapi Sofia menolaknya.

Lagi pula hanya lantai yang basah dan terkena coklat panas tadi.Saat lantai sudah bersih,pecahan kaca sudah disingkirkan, dan gaun safir yang robek telah dibuang.Ia memastikan Kanaya dibalut selimut bersih dan nyaman.

​Artama, yang selama proses medis hanya berdiri diam seperti patung,akhirnya menurut perintah Dokter Harun. Ia masuk ke kamarnya,berganti pakaian kering menjadi pajamas set sutra gelap.Namun, wajahnya tetap kaku dan dingin, jauh dari rasa tenang.

​Ketika Artama kembali, Sofia telah selesai. Cairan IV menetes perlahan ke dalam nadi Kanaya, dan kompres dingin diletakkan di dahi gadis itu.Kanaya terlelap, wajahnya masih pucat, tetapi napasnya kini sudah teratur.

​Sofia memberi isyarat kepada Artama. "Saya sudah menyiapkan makanan ringan di dapur, Tuan. Saya akan berjaga di luar."

​Artama mengangguk tanpa melihat Sofia. Ia berjalan perlahan ke sisi tempat tidur.

​Artama pun lalu duduk di tepi kasur.Ia menatap wajah Kanaya yang polos dalam tidurnya.Wajah itu damai, jauh dari amarah dan histeria yang tadi meledak.Hanya ada balutan luka di tangan dan selang infus yang mengingatkan Artama pada betapa parahnya ia telah melukai gadis itu.

​Setelah beberapa saat hanya duduk dan memandang, Artama melakukan sesuatu yang jarang ia lakukan,mengikuti nalurinya, bukan logikanya.​Ia berbaring di samping Kanaya, di tempat tidur yang sama.Ia tidak tidur,dan ia hanya bersandar, memposisikan dirinya agar tidak menyentuh bagian tubuh Kanaya yang terluka atau pun ter infus.

Artama pun berbaring di sana, menatap langit-langit, sementara Kanaya yang dikompres terlelap di sampingnya.

​Perlahan, Artama mengulurkan tangannya. Ia menyentuh punggung tangan Kanaya dengan ujung jarinya,sangat lembut,seolah takut membangunkan.

​Rasa frustrasi yang Artama rasakan kini jauh melampaui urusan bisnis yang gagal.Frustrasi ini lahir dari kegagalannya mengendalikan emosi Kanaya, dan yang lebih buruk, kegagalannya mengendalikan reaksi dirinya sendiri terhadap gadis itu.

​"Si4lan," gumam Artama pelan, suaranya serak. Ia menoleh ke samping, menatap profil Kanaya.

​"Aku minta maaf, Kanaya," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Penyesalan itu terasa nyata, berat, dan baru pertama kali ia merasakannya dengan intensitas seperti ini.

"Aku sangat menyesal.Aku... aku tidak pernah bermaksud membuatmu terluka sampai seperti ini."

​Saat Artama sedang bergumul dengan penyesalannya,Kanaya yang terlelap mulai gelisah.Demamnya masih ada, dan ia mulai meracau.

​"Monster..." rintih Kanaya, suaranya lemah. "Jangan sentuh aku... aku bukan barang... aku bukan perebut...aku tidak murahan..."

​Kanaya meracau tentang Valencia, tentang Artama yang mencuulik dan membiarkannya dipermalukan.Ia mengulang kata-kata dari pertengkaran tadi, mengeluarkan semua rasa sakit dan malu yang ia rasakan.

​"Aku benci dia... aku benci gaun ini... aku benci Artama..."

"Artama..ini sakit sekali..Ayah..Artama jahat padaku..".

​Artama mendengarkan setiap kata itu, dan setiap kata menembus pertahanan dinginnya.Dia sadar, Kanaya tidak hanya terluka fisik,jiwanya benar-benar hancur.

​Artama menatap tangan Kanaya yang terinfus lekat-lekat. Tangan yang tadi memukul dadanya dengan putus asa.Tangan yang kini dibalut perban putih, terhubung dengan selang plastik.

​Saat Artama melihat tangan itu, sebuah kesadaran menghantamnya. Artama menyadari bahwa ia tidak hanya khawatir tentang rencananya, citranya, atau cemburunya pada Victor.

​Artama menyadari ia benar-benar mengkhawatirkan Kanaya. Kekhawatiran itu murni, tidak terkontaminasi oleh manipulasi atau ego.Ia khawatir Kanaya tidak akan bangun. Ia khawatir luka bakar itu akan meninggalkan bekas,dan membuat Kanaya semakin membencinya.

​Artama mengangkat tangannya, menyentuh dahi Kanaya yang masih sangat panas.

​Aku tidak ingin dia sakit. Aku tidak ingin dia terluka. Aku tidak ingin dia hancur.Ini semua salahku.Victor benar.Aku tidak pantas disebut pria.

​Artama pun akhirnya mengakui kebenaran yang paling ia hindari bahwa Kanaya bukan lagi sekadar mainan, pion, atau pun properti.Gadis itu kini adalah titik rentan dalam diri Artama.

​Artama pun terbangun saat fajar mulai menyentuh tirai jendela yang tertutup. Ia terbangun dalam posisi yang sama seperti saat ia tertidur,bersandar,menjaga jarak aman dari Kanaya, tetapi tetap berada di sampingnya.

​Rasa sakit dari tinju Victor di rahangnya terasa tumpul, tetapi rasa sakit dari penyesalan di hatinya jauh lebih tajam.

​Artama pun segera menoleh ke samping.Kanaya masih terlelap. Kompres di dahinya sedikit miring. Artama perlahan dan hati-hati menggerakkan tangannya,membetulkan kompres itu. Ia merasakan suhu tubuh Kanaya.Tidak sepanas tadi malam, tetapi demamnya belum sepenuhnya hilang.

​Artama pun duduk tegak, memastikan Kanaya tidak terganggu. Ia melihat infus Kanaya, yang kini hampir habis.Artama menyadari bahwa ia tidak tidur nyenyak. Sepanjang malam, ia terbangun setiap kali Kanaya meracau atau mengubah posisi.

​Ia tahu Dokter Harun akan datang sekitar pukul delapan.

Artama pun bangkit, berjalan ke kamar mandi, dan membersihkan diri.Ia mengenakan setelan kasual yang rapi dan mahal,kemeja linen dan celana panjang,mencoba mengembalikan kontrol dirinya yang hilang tadi malam.

​Saat ia keluar dari kamar, Sofia sudah berdiri di ruang tengah, tampak segar dan sudah menyiapkan sarapan.

​"Selamat pagi, Tuan," sapa Sofia, nadanya kembali ke profesionalisme yang biasa. "Saya sudah mengganti infus dan mengecek suhu Nona Kanaya. Suhu turun menjadi 39.8°".

​Artama pun hanya mengangguk, berjalan menuju dapur.

"Segera siapkan kopi.Dan pastikan pintu depan terbuka saat Dokter Harun tiba."

 

​Tepat pukul delapan pagi,bel pintu berbunyi,dan Sofia segera menyambut Dokter Harun.

​Dokter Harun langsung menuju ke kamar Kanaya dengan Sofia dan Artama yang mengikutinya,berdiri diam di kaki tempat tidur sambil menyaksikan pemeriksaan.​Dokter Harun pun lalu memeriksa perban luka bakar Kanaya, mendengarkan detak jantung dan paru-parunya, dan memeriksa infus.

​"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Artama, suaranya mengandung ketegangan yang jelas.

​Dokter Harun tersenyum tipis. "Luka bakar tidak terlalu parah, Tuan Artama. Kita akan mengganti perban dan memberikan antibiotik oral. Infusnya hampir selesai.Demamnya sudah tturun perlahan tetapi 39,8° masih cukup tinggi. Ini wajar setelah syok dan demam semalam.".

​Setelah memberikan instruksi kepada Sofia tentang dosis obat dan mengganti perban, Dokter Harun hendak berkemas.

​"Tapi,Dok" Artama memotong, nadanya mendesak. "Mengapa dia masih belum sadar?".

​Dokter Harun pun menoleh, melihat kekhawatiran yang nyata di mata Artama.

​"Tuan Artama," jawab Dokter Harun, suaranya menenangkan. "Nona Kanaya tidak berada dalam keadaan koma. Dia hanya pingsan karena kelelahan ekstrem, demam tinggi, dan stres emosional yang parah.Otaknya butuh istirahat total untuk memulihkan diri dari semua trauma yang ia alami.".

​Dokter Harun lalu melangkah mendekat, berbicara dengan nada yang lebih pribadi.

"Pikirkanlah seperti ini, Tuan Artama. Tubuhnya mematikan diri sendiri sebagai mekanisme pertahanan.Dia baru saja mengalami kehancuran emosional yang besar dan kemudian syok fisik.Dan akan sadar ketika tubuhnya merasa sudah cukup pulih dan,yang lebih penting...ialah merasa aman.".

​Dokter Harun menatap Artama dengan serius. "Dia akan bangun. Tetapi ketika dia bangun, dia akan sangat lemah dan bingung. Dia sangat membutuhkan lingkungan yang tenang, perawatan yang lembut, dan tidak ada lagi kejutan emosional.".

​"Saya mengerti," jawab Artama, rahangnya mengeras. Perawatan yang lembut. Itu adalah kebalikan dari semua yang ia lakukan selama ini.

​Setelah Dokter Harun meninggalkan resep dan instruksi, ia pun pamit. Artama kembali ke sisi tempat tidur, menatap Kanaya yang terlelap.

​"Aman," Artama mengulang kata itu pelan. Ia menyentuh dahi Kanaya sekali lagi.

​Aku adalah ancaman terbesarnya. Artama akhirnya menerima fakta itu.

Next...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!