NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19 -- william teman masa SMA

Sudah beberapa hari ini, rutinitas Aruna tidak jauh-jauh dari satu hal: duduk di sisi tempat tidur pria itu.

Setiap pagi ia datang dengan rambut yang dikuncir asal, wajah segar tanpa riasan, dan selimut di tangannya, lalu duduk di kursi rotan di samping ranjang besar itu. Udara kamar dingin dan tenang,

Pria itu masih sama seperti kemarin, dan kemarin dulu, dan hari-hari sebelumnya—terbaring diam, wajahnya tenang seakan sedang bermimpi panjang.

Aruna menopang dagu di atas lututnya. “Tahu nggak, aku tuh capek ngomong sendirian,” gumamnya kesal. “Tapi kalau nggak ngomong, malah sepi banget.”

Ia menyipitkan mata, lalu melipat bibir, menatap wajah tampan yang sama sekali tak menanggapinya itu.

“Kayaknya kamu sengaja pura-pura nggak denger deh. Dasar batu.”

Ia menjulurkan lidah pelan, kemudian terkekeh. “Eh, tapi kamu tuh ganteng banget kalau tidur. Coba kalau melek, mungkin aku udah malu sendiri tiap detik.”

Tak ada jawaban, tentu saja. Tapi Aruna tetap meneruskan ocehannya seperti biasa—tentang cuaca, tentang bunga di taman, bahkan kadang tentang menu makan siang pelayan rumah itu yang rasanya hambar. Ia seperti punya hobi baru: mengganggu pria itu.

Kadang ia menempelkan cermin kecil di depan wajahnya dan berkata dengan nada main-main, “Coba lihat, aku lebih cantik dari cerminmu, kan?”

Kadang ia bahkan menepuk lembut bahunya sambil berbisik,

“Bangun deh, aku janji nggak bawel sehari penuh. Eh, dua jam deh. Setengah jam juga boleh.”

Hari demi hari berlalu seperti itu. Dan hari ini pun tak berbeda—kecuali perutnya mulai bernyanyi minta diisi.

Aruna berdiri sambil menguap panjang. “Oke, aku menyerah. Aku lapar. Rumah ini terlalu sepi, dan aku butuh sesuatu yang digoreng, berasap, dan pedas.” Ia menatap pria itu lagi. “Aku pergi bentar ya, jangan kangen.”

Ia mengambil tas kecil dan keluar dari kamar. Lorong rumah itu panjang dan sunyi, hanya suara langkah kakinya yang terdengar memantul di antara dinding marmer.

Ny. Clarissa dan Tuan Darius mertua kesayangan nya sedang di luar kota, sementara para pelayan sibuk di bagian dapur. Tak ada siapa pun yang menghalanginya untuk sedikit ‘kabur’ mencari jajanan kaki lima.

Di garasi, ia mengambil mobil putih kecil yang baru pertama kali ia pakai. “Nggak mungkin aku minta pak armand anterin. Nanti dikira aku nyari masalah,” ujarnya sendiri sambil menyalakan mesin.

Begitu keluar dari gerbang besar keluarga Adikara, Aruna langsung merasa lebih bebas. Angin kota menerpa wajahnya yang segar, matahari siang sedikit silau, tapi ia justru tersenyum lebar.

“Udah lama nggak jalan sendirian setelah kejadian itu. Rasanya kayak remaja lagi,” katanya sambil melirik kaca spion.

Ia berhenti di tepi jalan di mana aroma jajanan menggoda dari kejauhan—bau telur gulung, cilok, dan sosis bakar beradu di udara.

Baru saja hendak turun, dari arah samping, sebuah bayangan melintas cepat. “Brak!”

Mobilnya berhenti mendadak.

“ASTAGA!” Aruna langsung keluar panik. “Aku nabrak orang?! Ya Tuhan, semoga nggak parah!”

Seorang pria jatuh terduduk di pinggir jalan, tangannya memegangi lutut sambil meringis. Tapi yang membuat Aruna terpaku bukan luka kecil di tangannya, melainkan wajahnya yang entah kenapa terasa sangat… familiar.

“Mas, kamu nggak apa-apa?!” Aruna berjongkok di depannya, matanya panik. “Duh, aku tuh beneran nggak liat tadi—”

Pria itu mengangkat kepala perlahan, lalu tersenyum kecil.

“Tenang, aku nggak kenapa-kenapa kok.” Suaranya tenang, dalam, dan lembut, membuat Aruna spontan berhenti bicara.

Tatapan mata itu—hangat, bersih, dan menenangkan—membuat jantungnya berdetak sedikit aneh.

"aghhh dasar jantung murahan! ingat aruna kamu udah punya suami hiks" bergitulah kira-kira,aruna terpekik histeris mengumpat diri nya sendiri yang mudah jatuh hati.

“Tapi…” Aruna memicingkan mata, menatap lebih lama. “Eh… kamu… kamu Wiliam, kan?”

Pria itu—Wiliam—mengernyit sebentar lalu tersenyum lebih lebar. “Kamu masih ingat.”

Aruna hampir terlonjak. “WILIAM?! Ketua kelas SMA-ku yang suka ngomelin aku karena lupa bawa dasi tiap Senin itu?!”

“Dan kamu yang suka pura-pura sakit biar bisa duduk di UKS pas olahraga,” balas Wiliam cepat.

Mereka berdua terdiam sejenak—lalu tawa pecah bersamaan.

Wiliam kini terlihat jauh berbeda dari sosok culun masa SMA yang ia kenal dulu. Rambutnya tersisir rapi ke samping, rahang tegas dengan garis lembut, dan sepasang kacamata tipis di hidungnya memberi kesan cerdas dan berwibawa.

Kemeja biru langitnya disetrika sempurna, lengan digulung hingga siku, dan arloji kulit di pergelangan tangan menambah kesan profesional. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang tetap sama—senyum hangat dan tatapan ramah yang membuat siapa pun merasa aman di dekatnya.

“Aku serius, kamu sekarang kayak model majalah, Will,” ucap Aruna spontan. “Padahal dulu kalau difoto selalu merem.” Wiliam terkekeh. “Kamu juga nggak berubah—masih cerewet, masih spontan, masih… hidup.”

Aruna menaikkan alis. “Itu pujian, kan?”

“Separuhnya,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Obrolan mereka mengalir seperti air. Wiliam mengajaknya duduk di bangku taman kecil tak jauh dari tempat kejadian, sementara Aruna dengan ceria membeli dua porsi telur gulung dari pedagang terdekat.

“Masih suka jajan sembarangan ya?” goda Wiliam.

“Eh, ini bukan sembarangan! Ini seni kuliner jalanan yang penuh cita rasa masa kecil,” bela Aruna sambil menyuap sebatang telur gulung.

Wiliam hanya tertawa, menatapnya seperti dulu—dengan pandangan yang sabar, sedikit nakal, tapi penuh ketulusan.

“Aku kira kamu udah lupa semua kenangan SMA,” katanya.

“Lupa? Mustahil! Aku aja masih ingat kamu pernah jatuh di depan gerbang gara-gara ngejar guru biologi.”

“Itu karena kamu yang bilang tugas dikumpul jam tujuh, padahal jam delapan!” Aruna tergelak sampai menepuk pahanya. “Oh iya, aku lupa! Duh, kasian banget kamu waktu itu.”

Matahari bergeser perlahan, langit mulai berubah jingga. Obrolan mereka berlanjut, kini lebih tenang, lebih dalam.

“Aku sempat nyari kabar kamu, tahu,” ujar Wiliam tiba-tiba.

“Tapi kamu menghilang begitu saja setelah lulus.”

Aruna tersenyum samar.

“Iya… waktu itu banyak hal yang harus aku beresin. Dunia orang dewasa tuh ribet banget, Will.”

“Dan sekarang kamu di mana?”

“Hmm…” Aruna menggoda, “Rahasia negara.”

Wiliam pura-pura menatap tajam. “Masih suka penuh misteri ya.”

“Biar seru,” balasnya dengan tawa kecil.

Angin sore berhembus lembut, membawa aroma wangi tanah dan bunga. Aruna menatap langit yang mulai keemasan, lalu melirik jam di ponselnya—dan matanya langsung melebar.

“Ya ampun! Udah hampir jam enam! Aku harus balik sebelum gelap!”

Wiliam menegakkan badan. “Mau aku antar?”

“Wah, nggak usah, aku udah repot banget nyusahin kamu. Lagian tadi kamu yang ditabrak, aku malah ninggalin duluan, dasar aku.”

“Aruna yang aku kenal dari dulu juga gitu—selalu merasa bersalah padahal nggak perlu,” ujarnya lembut.

Aruna menunduk sedikit, lalu tertawa kecil. “Kamu masih terlalu baik, Will.” Wiliam tersenyum tipis, tapi pandangannya seolah mengatakan sesuatu yang tak terucap.

“Senang bisa ketemu kamu lagi,” katanya pelan.

Aruna menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk. “Aku juga. Terima kasih udah nggak marah ditabrak.”

Mereka berpisah di ujung jalan dengan tawa kecil dan janji samar untuk “makan bareng lain kali.” Namun saat Aruna melangkah ke mobilnya, ada sesuatu yang aneh di dadanya—rasa hangat yang entah kenapa bercampur dengan sedikit sesak.

...----------------...

Keheningan panjang menggantung di ruangan.

Lampu kamar redup, hanya cahaya layar ponsel di tangan Darren yang menerangi sebagian wajahnya. Ia berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke arah halaman di mana Aruna baru saja turun dari mobil dan melangkah masuk ke rumah.

Suaranya rendah dan terkontrol saat berbicara ke ponsel.

“Laporan hari ini sudah lengkap,” ujarnya datar. “Nyonya keluar rumah sekitar pukul dua belas lewat tiga belas menit. Ia menuju pusat kota, membeli makanan jalanan, lalu bertemu dengan seorang pria. Interaksi berlangsung selama lebih dari tiga jam.”

Suara di seberang tak terdengar jelas—hanya getaran rendah, dalam, dan tenang.

Darren menunduk sedikit, mendengarkan dengan saksama. “Baik. Saya akan pantau dari jauh dan kumpulkan informasi tambahan mengenai identitas pria itu.”

Hening sejenak.

Darren kemudian menambahkan pelan, “Apakah Anda ingin saya… melakukan tindakan lanjutan?”

Nada suara dari seberang berubah halus, tapi dingin—pendek, nyaris seperti bisikan.

Dan hanya itu yang dibutuhkan Darren untuk mengerti.

“Baik, saya mengerti.”

Sambungan telepon berakhir dengan bunyi klik lembut.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!