NovelToon NovelToon
Jangan Pernah Bersama

Jangan Pernah Bersama

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Anastasia

Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19.Bersikap biasa saja.

Pagi itu, udara masih lembap sisa hujan malam. Embun menempel di kaca jendela ruang makan, memantulkan cahaya matahari yang baru muncul malu-malu dari balik awan.

Dapur keluarga Lukman tampak seperti biasa dengan aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi ruangan. Tapi di antara semua kehangatan itu, ada sesuatu yang berbeda yaitu keheningan yang terlalu rapi.

Clara duduk di meja makan, menatap kosong pada piring rotinya. Ia sudah memakai seragam SMAnya tapi matanya menandakan kalau pikirannya jauh sekali dari sini.

Sementara itu, Luna sedang menuang kopi ke cangkir suaminya, wajahnya lembut seperti biasa. Tak ada amarah, tak ada kepanikan. Hanya ketenangan yang nyaris menakutkan.

Lukman turun dari tangga dengan setelan kerja seperti biasa. “Pagi,” sapanya datar.

“Pagi, Yah,” jawab Clara, tanpa menoleh.

Luna menatapnya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Kopimu sudah Mama siapkan. Hari ini kamu ada rapat, kan?”

“Ya,” sahut Lukman sambil duduk. Ia menyeruput kopi itu pelan, matanya menatap Luna singkat ada sesuatu di sana, entah rasa bersalah atau kewaspadaan. Tapi Luna hanya menanggapinya dengan senyum tenang yang sudah bertahun-tahun ia latih.

Mereka bertiga makan dalam diam.

Hanya suara sendok yang beradu dengan piring, seperti biasa.

Sesekali Clara melirik ibunya mencoba menebak apa yang ada di balik wajah tenang itu. Tapi setiap kali mata mereka bertemu, Luna hanya memberi tatapan singkat seolah berkata: jangan sekarang.

Setelah sarapan selesai dan Lukman pamit berangkat, Clara menunggu sampai suara mobil ayahnya benar-benar menghilang di ujung jalan.

Lalu ia menatap ibunya.

“Jadi… sekarang apa langkah kita, Ma?” tanyanya pelan, tapi suaranya tegas.

Luna menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah meja rias di sudut ruang tamu. Ia membuka laci bawah dimana tempat yang selama ini tidak pernah disentuh siapapun dan mengeluarkan sebuah map cokelat.

“Ini,” katanya, meletakkannya di meja. “Mama sudah mulai kumpulkan dari dua bulan lalu. Rekening hotel, tagihan restoran, bahkan ada laporan transfer ke rekening atas nama Rosi.”

Clara membulatkan mata. “Mama… sudah tahu sejak dua bulan lalu?”

Luna menatapnya lembut. “Mama tahu jauh sebelum itu, Nak. Tapi dua bulan terakhir ini… Mama mulai berpikir untuk berhenti pura-pura,mama sadar setelah jatuh sakit dan diambang kematian yang hampir menghampiri mama.”

Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dari map, foto yang diambil diam-diam oleh seseorang. Lukman terlihat sedang berjalan berdua dengan Rosi di parkiran hotel. Ada juga foto mereka makan malam di restoran. Salah satunya bahkan memperlihatkan Desi duduk di meja yang sama, memeluk lengan Lukman.

Clara meremas jemarinya sendiri. “Kita bisa pakai ini buat bukti di pengadilan, kan Ma?”

Luna mengangguk. “Bisa. Tapi Mama butuh bukti yang lebih kuat. Sesuatu yang tidak bisa dibantah dengan alasan bisnis atau pertemanan.”

Clara mengangguk perlahan. “Aku akan bantu Mama.”

“Bagaimana caramu?”

Clara menatap lurus ke depan. “Aku akan pura-pura mendekat pada Desi. Selama ini dia pikir aku benci dia, tapi kalau aku bisa membuat dia percaya padaku, dia pasti akan cerita sesuatu. Mereka semua terlalu yakin Mama nggak tahu apa-apa. Saat mereka lengah, kita dapatkan semuanya.”

Luna terdiam beberapa saat, menatap anaknya dengan rasa campur aduk antara bangga, tapi juga takut. “Kamu yakin bisa, Nak? Ini apa tidak bahaya?.”

Clara menatapnya balik. “Mereka ingin keluarga bahagia,maka kita berikan.”

Luna menarik napas panjang. Ia menatap wajah anaknya wajah yang dulu selalu penuh tawa, kini berubah jadi dingin dan tajam.

“Mama akan bantu dari sisi legal,” katanya lembut. “Papa masih percaya sama Mama, jadi Mama bisa akses dokumen perusahaan yang sering dia pakai buat menutupi pengeluaran pribadinya.”

Clara mengangguk. “Kita lakukan ini diam-diam. Nggak boleh ada yang tahu,kita akan buat ayah membayar atas kebohongannya pada kita.”

“Mama mengerti,” sahut Luna sambil menatap map cokelat itu. “Mulai hari ini, kita hidup seperti biasa. Tersenyum, makan bersama, pura-pura jadi keluarga yang harmonis. Tapi di balik itu…”

Clara melanjutkan kalimatnya dengan suara dingin, “...kita siapkan jalan keluar dari kebohongan ini.”

Luna menatap anaknya, lalu mengulurkan tangan memegang jemari Clara.

“Untuk pertama kalinya, Mama tidak ingin bersabar lagi.mama ingin hidup tenang dengan mu”

Clara menggenggam tangan ibunya erat.

“Dan untuk pertama kalinya, aku akan pastikan Mama tidak sendirian,aku akan ambil apapun yang menjadi milik kita.”

Di luar, matahari mulai menembus awan, menerangi halaman yang masih basah. Tapi di dalam rumah itu di balik senyum dan rutinitas yang tampak biasa, sebuah badai diam mulai tumbuh.

Dan pagi itu, tanpa seorang pun tahu, ibu dan anak itu telah memulai langkah pertama untuk menghancurkan kebohongan yang sudah terlalu lama berdiri di atas nama keluarga.

Suara bel masuk sekolah terdengar nyaring menembus riuh pagi di halaman SMA Pelita. Para siswa berlarian menuju kelas masing-masing, sebagian masih menenteng roti, sebagian sibuk merapikan seragam.

Clara berjalan pelan menuju kelasnya. Langkahnya teratur, tapi pikirannya masih bergema oleh percakapan pagi tadi dengan ibunya. Wajah Luna yang tenang, map cokelat di atas meja, dan kalimat “Mama ingin hidup tenang denganmu” terus berputar di kepalanya seperti gema yang tak mau hilang.

Ia masuk ke kelas tanpa banyak bicara. Beberapa teman menyapanya, tapi ia hanya tersenyum sekilas. Setelah duduk di bangkunya, ia meletakkan tas dengan pelan. Di sebelahnya, Ria sudah duduk sambil membuka botol minum dan menatap sahabatnya itu dengan wajah khawatir.

“Clar,” panggil Ria pelan, mencondongkan tubuhnya. “Kamu nggak apa-apa? Dari tadi mukamu pucat banget.”

Clara menatap sahabatnya sejenak, lalu menggeleng lemah. “Aku cuma kurang tidur.”

“Kurang tidur gara-gara mikirin kejadian kemarin, ya?”

Clara terdiam. Tidak menjawab, tapi tatapannya cukup menjelaskan segalanya.

Ria mendesah pelan. Ia meletakkan tangannya di atas meja, jari-jarinya mengetuk pelan. “Aku masih nggak nyangka, Clar. Jadi… semua yang kamu bilang kemarin itu beneran? Desi itu…”

Clara menatap lurus ke papan tulis. “Saudara tiriku. Iya.”

Ria menelan ludah. “Dan tante Rosi—”

“Selama ini selingkuhan ayahku,” potong Clara datar.

Ria terdiam. Ia tahu betapa hancurnya perasaan Clara, tapi gadis itu sekarang terlihat seperti batu yang dingin, kaku, menahan sesuatu yang besar.

Setelah beberapa detik hening, Ria akhirnya berkata, “Clar, kalau kamu butuh bantuan… bilang aja. Aku dan Papa bisa bantu, lho.”

Clara ingat kalau ayah Ria adalah teman sekolah mamanya saat sma seperti mereka, papa Ria pria yang hangat dan ayah yang baik tidak seperti ayahnya yang dingin, suka ngatur.

Clara terdiam, dikehidupan nya yang dulu papa Ria setelah kematian ibunya memutuskan pindah ke luar negeri bersama Ria dan saat itulah hubungan persahabatan mereka terputus.

Clara menoleh perlahan, menatapnya dengan bersemangat. “Bantu? benar papamu seorang pengacara pasti bisa menangani masalah perceraian.”

Ria mencondongkan tubuh, menurunkan suaranya agar tidak didengar teman lain. “Apa?,kamu yakin mamamu mau cerai dengan om Lukman?.”

“Aku sudah bicara dengan mama, dan itu bukan hanya keputusan aku saja tapi juga mama. jadi aku butuh banget bantuan papamu!. ”

“Tenang saja, apa yang tidak buatmu. ”

Mereka berdua tersenyum, setelah obrolan serius tadi. seakan masalah yang terjadi pada Clara tidak ada apa-apa nya bagi dirinya.

1
Putri Ana
thorrr lanjuttttt dong.🤭
Putri Ana
lanjutttt thorrr 😭😭😭😭😭😭😭
penasaran bangetttttttt🤭
Putri Ana
bagussss bangettttt
Putri Ana
lanjutttttttttytttttttttt thorrrrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!