NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:978
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titik Balik dari Sebuah Harga Kejujuran

Di sekolah, Valeria dan Tante Kiara baru saja tiba. Mobil mereka berhenti di depan gerbang, dan tepat pada saat itu, mobil Bram juga berhenti. Fara dan Aluna keluar dari mobil.

Suasana pagi yang cerah langsung berubah tegang. Keempatnya saling berhadapan di depan gerbang sekolah. Valeria menatap lurus ke depan, wajahnya tenang, namun tatapan matanya menunjukkan kekuatan. Sementara Fara menghindari kontak mata, wajahnya pucat dan matanya bengkak. Aluna terlihat sangat gugup, ia menggenggam tasnya erat-erat.

Tante Kiara berjalan di samping Valeria, melindunginya. Sementara Bram berdiri di dekat Fara, seolah menjadi penjaga yang tegas. Tidak ada yang berbicara, hanya ada keheningan canggung yang disaksikan oleh siswa-siswa lain yang lalu-lalang.

Bram menatap Fara, memberi isyarat agar dia berjalan. Fara menghela napas, dan akhirnya berjalan mendahului. Aluna mengikutinya di belakang. Valeria dan Tante Kiara juga masuk ke dalam sekolah.

Tante Kiara menepuk bahu Valeria. "Tante akan pulang sekarang," katanya, suaranya dipenuhi dukungan. "Tante tahu kamu kuat. Hadapi hari ini, dan jangan pernah merasa takut."

Valeria mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Tante," jawabnya, matanya menunjukkan ketegasan yang tak lagi rapuh. Ia berbalik dan berjalan masuk ke dalam sekolah, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Tante Kiara menatap punggung Valeria hingga ia menghilang di balik pintu gerbang. Ia melihat mobil Bram juga sudah pergi, menyadari bahwa para orang tua telah sepakat untuk menyerahkan masalah ini kepada anak-anak mereka. Ini adalah saatnya mereka belajar dari kesalahan.

Di dalam sekolah, suasana terasa berbeda. Begitu Fara dan Aluna tiba, semua bisikan dan tawa langsung berhenti. Mereka berjalan di koridor dengan kepala menunduk, merasakan setiap tatapan mata yang menembus mereka.

Tidak lama kemudian, Valeria juga tiba. Sekelompok siswa, termasuk Damian, langsung mendekatinya, menanyakan keadaannya. Valeria hanya tersenyum tipis, menenangkan teman-temannya. Ia melirik ke arah Fara dan Aluna, tetapi tidak ada yang berbicara.

Tiba-tiba, pengumuman dari kepala sekolah terdengar di seluruh sekolah, "Kepada Fara dari kelas XI IPA 1, Aluna dari kelas XI IPA 1, dan Valeria dari kelas XI IPA 2, dimohon segera menuju ke ruangan kepala sekolah. Ada hal penting yang perlu dibicarakan."

Fara dan Aluna saling pandang, wajah mereka memucat. Mereka tahu, saat yang mereka takutkan akhirnya tiba. Valeria menghela napas, ia berbisik kepada Damian, "Aku akan baik-baik saja."

Mereka bertiga berjalan menuju ruangan kepala sekolah, dipenuhi rasa tegang dan ketidakpastian.

Di Ruangan Kepala Sekolah

Fara, Aluna, dan Valeria duduk di hadapan kepala sekolah, Bapak Adi. Suasana di dalam ruangan itu terasa sangat tegang. Bapak Adi menatap mereka bergantian, ekspresinya tegas dan serius.

"Saya sudah menerima laporan tentang apa yang terjadi," kata Bapak Adi, memecah keheningan. "Grup-grup di media sosial sekolah dipenuhi dengan gosip dan fitnah yang tidak bertanggung jawab. Saya tahu ini adalah perbuatan kalian bertiga."

Ia menghela napas. "Sekolah ini adalah tempat untuk belajar, bukan untuk menyebarkan kebencian. Kalian sudah merusak nama baik sekolah, dan yang lebih penting, kalian sudah menyakiti satu sama lain."

Bapak Adi kemudian menoleh ke arah Fara dan Aluna. "Fara, Aluna, saya tahu kalianlah yang memulai semua ini. Saya sudah bicara dengan orang tua kalian, dan mereka sudah mengakui semua perbuatan kalian. Tapi saya ingin dengar dari kalian sendiri. Apa yang membuat kalian melakukan ini?"

Fara hanya menunduk, tidak berani berbicara. Aluna mulai menangis. "Saya... saya minta maaf, Pak. Saya salah," bisiknya.

Bapak Adi mengangguk. Ia tahu Aluna adalah korban manipulasi Fara. Ia kemudian menatap Fara, yang masih diam. "Fara, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu. Kalian berdua akan diberi hukuman."

"Hukuman?" tanya Fara, mengangkat kepalanya.

"Ya. Kalian harus meminta maaf di hadapan seluruh siswa di aula sekolah," jawab Bapak Adi. "Dan setelah itu, kalian akan menjalani hukuman sosial selama satu minggu, di mana kalian harus membantu membersihkan area sekolah. Saya harap itu bisa membuat kalian belajar."

Bapak Adi menghela napas. "Seharusnya ada satu orang lagi di sini, Risa. Tapi sayangnya, hari ini dia tidak masuk. Bapak dengar dia akan dipindahkan dari sekolah ini."

Fara terkejut, sementara Aluna terlihat sedih. Mereka saling pandang, menyadari bahwa Risa telah meninggalkan mereka untuk menghadapi konsekuensi sendirian.

Bapak Adi kemudian menoleh ke arah Valeria. "Valeria, saya tahu kamu adalah korban. Tapi kamu juga harus ikut bertanggung jawab. Saya ingin kamu membantu Fara dan Aluna untuk mengembalikan nama baik mereka."

Valeria terkejut. "Tapi, Pak..."

"Saya tahu kamu tidak bersalah," potong Bapak Adi. "Tapi ini adalah pelajaran bagi kalian semua. Ini tentang bagaimana kita menyelesaikan masalah, bukan bagaimana kita menghindarinya. Kalian setuju?"

Fara dan Aluna hanya mengangguk pelan. Valeria juga mengangguk, meskipun ia tidak mengerti mengapa ia harus membantu orang yang telah menyakitinya.

Setelah percakapan selesai, Bapak Adi mempersilakan Fara, Aluna, dan Valeria untuk keluar dari ruangannya. Ketiganya berjalan keluar dengan langkah pelan. Fara berjalan dengan kepala tegak, meskipun matanya menunjukkan rasa takut. Aluna berjalan di sampingnya, terlihat rapuh dan tertekan. Sementara itu, Valeria, meskipun merasa tidak adil karena harus ikut membantu, ia tetap berjalan dengan tenang.

Mereka bertiga kemudian menuju aula sekolah, di mana seluruh siswa sudah berkumpul untuk upacara pagi. Ribuan mata tertuju pada mereka. Bisik-bisik terdengar di antara para siswa.

Kepala sekolah kemudian naik ke atas panggung. Ia memberikan pidato singkat tentang pentingnya kejujuran dan rasa hormat. Setelah itu, ia memanggil Fara dan Aluna untuk naik ke atas panggung.

Fara berjalan dengan angkuh, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa takut. Aluna berjalan dengan bahu terkulai, terlihat sangat rapuh.

"Hari ini, Fara dan Aluna akan meminta maaf di hadapan kalian semua," kata kepala sekolah dengan suara tegas.

Fara menatap Valeria, yang berdiri di barisan depan. Ia menarik napas dalam-dalam. "Saya... saya minta maaf," katanya, suaranya bergetar. "Saya tahu saya sudah menyakiti Valeria. Saya minta maaf atas semua kebohongan yang sudah saya sebarkan."

Aluna berdiri, dan matanya berkaca-kaca. "Saya juga... saya minta maaf," katanya. "Saya juga minta maaf atas semua yang sudah saya lakukan. Saya tahu itu tidak benar."

Setelah permintaan maaf itu, Valeria menatap Fara dan Aluna, lalu ke seluruh siswa. "Saya sudah memaafkan mereka," katanya, suaranya tenang dan jelas. "Saya harap ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Saya tidak ingin masalah ini berlarut-larut."

Setelah permintaan maaf di aula selesai, semua siswa bubar menuju kelas masing-masing. Valeria dan Damian berjalan di koridor menuju kelas mereka. Damian menggenggam tangan Valeria. "Kamu hebat," bisiknya. "Kamu sudah bersikap sangat dewasa."

Valeria hanya tersenyum tipis. Ia tahu, permintaan maaf di aula hanyalah awal. Hukuman yang sebenarnya, bagi Fara dan Aluna, baru saja dimulai.

Di saat yang sama, Fara dan Aluna berjalan berdampingan di koridor sekolah. Atmosfer di sekitar mereka terasa dingin, dipenuhi dengan bisik-bisik dan tatapan menusuk dari siswa lain. Mereka berdua menunduk, tidak berani melihat ke sekeliling.

Tiba-tiba, Revan, Kian, dan Liam menghampiri mereka. Fara menegang, merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka.

Revan menatap lurus ke arah Aluna. "Aluna, gue mau ngomong sama lo," katanya, suaranya terdengar serius.

Fara yang mendengar itu, merasa seolah ia tidak ada. Ia melihat sekilas ke arah mereka, ekspresinya dipenuhi kekesalan dan amarah, lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Aluna sendirian.

Aluna terkejut, ia menatap kepergian Fara dan kembali menatap Revan yang kini berada di hadapannya.

"Lo... mau ngomong apa?" tanya Aluna, suaranya bergetar.

Revan tersenyum lembut. "Kita cuma mau bilang, jangan terlalu dipikirin," katanya. "Kita semua tahu, Fara yang pakai nama lo untuk fitnah Valeria. Lo juga korban di sini, Aluna. Lo nggak salah. "

Kian mengangguk. "Lo udah berani minta maaf di depan semua orang," tambahnya. "Itu butuh keberanian besar. Salut gue sama lo."

"Dan lo terlihat sangat tulus," sambung Liam. "Beda sama Fara."

Aluna menunduk, air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Perkataan mereka terasa seperti air dingin yang menyegarkan. Ada rasa lega yang luar biasa. Ia merasa tidak sendirian lagi dan ada yang memahami posisinya.

"Makasih," bisik Aluna.

Revan menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Santai aja," katanya. "Mulai sekarang, lo punya kita. Lo enggak harus jadi bagian dari masalah itu lagi."

"Oh iya, Lun, lo masih tinggal sama Fara?" tanya Revan, suaranya terdengar penasaran.

"Iya," jawab Aluna pelan.

"Kenapa lo masih tinggal sama dia?" tanya Revan, wajahnya menunjukkan kebingungan.

"Iya, Lun, lo enggak takut kalau Fara macam-macam sama lo?" sambung Liam, mewakili kekhawatiran mereka.

Aluna menunduk, ia ragu untuk melanjutkan. Mengungkapkan rahasia keluarga ini bukanlah hal yang mudah. "Sebenarnya, om gue, papanya Fara, bilang..."

Aluna menunduk, ragu untuk melanjutkan ceritanya. Pertanyaan Revan dan Liam tentang mengapa ia masih tinggal bersama Fara membawanya kembali ke percakapan yang terjadi antara dirinya dan omnya.

...🍃 Flashback Aluna 🍃...

Bram menatapnya dengan lembut. "Aluna," kata omnya. "Apa kamu masih takut jika tinggal dengan Fara? Kamu bilang saja sama Om kalau kamu merasa takut. Om akan mengajak Fara untuk pulang dan tidak tinggal di sini. Om juga akan mengatur orang lain untuk menemanimu di sini dan membantumu. Jadi, katakan saja, Aluna."

Aluna mendengarkan, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan perhatian Bram. Ia teringat wajah Fara yang memerah karena amarah, dan ia tahu, Fara pasti tidak ingin pergi. Aluna menarik napas dalam-dalam.

"Tidak, Om," kata Aluna, suaranya pelan tapi mantap. "Aku tidak takut lagi."

Bram terkejut. "Kamu yakin?"

"Aku yakin, Om," jawab Aluna. "Aku percaya Fara bisa berubah. Dia hanya perlu waktu untuk menyadari kesalahannya."

Bram tersenyum, hatinya terasa lega. Ia menepuk pundak Aluna. "Kamu anak yang baik, Aluna. Om bangga padamu."

"Kalau begitu, Om tinggal dulu, Aluna. Jaga diri baik-baik," kata Bram, lalu pergi.

...🍃 Flashback end 🍃...

Aluna mendongkak menatap mata Revan dan berkata,

"Om gue bilang," Aluna memulai, suaranya pelan. "Kalau gue merasa takut untuk tinggal sama Fara, Om akan bawa Fara pulang dan mengatur orang lain untuk menjaga gue di rumah. Tapi gue bilang kalau gue enggak takut, gue yakin Fara bisa berubah dan menyadari kesalahannya."

Revan menatap Aluna, terkejut. "Aluna, kenapa lo ngomong gitu? Seberapa lo yakin Fara bakalan berubah?"

"Gue enggak tahu, Revan. " jawabnya jujur. " Yang gue tahu semua orang lihat dia cuma sebagai orang yang jahat. Tapi gue... gue juga lihat dia sebagai korban. Fara juga butuh orang yang percaya sama dia, butuh orang yang mau membantu dia."

Revan dan Liam terdiam. Mereka tidak menyangka Aluna akan memiliki pandangan seperti itu. Kian menepuk pundak Aluna. "Lo anak yang baik, Aluna," katanya, suaranya tulus. "Semoga lo benar."

Dengan hati yang kini terasa lebih ringan, Aluna kembali ke kelas. Fara duduk di bangkunya, terasingkan. Di dalam kelas, suasana terasa dingin dan canggung. Tidak ada yang berani menatap Fara atau berbicara dengannya. Fara hanya bisa duduk di bangkunya, merasa terasingkan.

Sementara itu, beberapa siswa mencoba untuk mendekati Aluna, tetapi Aluna hanya menunduk, tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Ia tahu, meskipun sudah meminta maaf, kepercayaannya sudah hilang. Selama pelajaran berlangsung, tidak ada percakapan antara Aluna dan Fara. Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Aluna duduk di samping Fara, sesekali melirik ke arahnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin memulai percakapan, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya bisa menatap Fara, berharap Fara akan menoleh.

Fara, di sisi lain, duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan. Ia merasakan tatapan Aluna, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Hatinya dipenuhi amarah dan rasa malu. Ia merasa dikhianati oleh semua orang, termasuk Aluna, yang kini tidak ia anggap sebagai teman lagi.

Waktu terasa sangat lambat. Detik-detik berlalu, dan keheningan di antara mereka terasa semakin berat.

Di dalam ruangan psikolog, suasananya terasa tenang dan damai. Ada sofa yang nyaman, beberapa tanaman hias di sudut, dan rak buku yang penuh dengan berbagai buku. Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, Dr. Mira, menyambut Risa dan kedua orang tuanya.

"Selamat pagi, silakan duduk," sapa Dr. Mira, menunjuk ke arah sofa.

Ken dan Tiara duduk dengan canggung, sementara Risa memilih duduk di kursi tunggal, menjauh dari mereka. Tiara tampak gelisah, sementara Ken menenangkan istrinya dengan mengelus punggungnya.

Dr. Mira menatap Risa dengan senyum hangat. Ia tahu, anak ini tidak akan mudah untuk terbuka. "Silakan, orang tua Risa bisa menceritakan apa yang terjadi," kata Dr. Mira.

Ken menghela napas. Ia menceritakan semuanya, mulai dari masalah di sekolah hingga pengakuan Risa tentang kecanduan judi online. Dr. Mira mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk.

Setelah Ken selesai, Dr. Mira menatap Risa. "Risa," katanya dengan suara lembut, "terima kasih sudah berani datang ke sini. Saya tahu ini pasti tidak mudah."

Ia menggeser kursinya hingga sejajar dengan Risa, mencoba membangun kepercayaan. Ia menatap Risa dengan lembut, tanpa ada sedikit pun penghakiman di matanya.

"Risa," katanya dengan suara yang tenang. "Saya tahu ini pasti sulit. Saya ingin kamu tahu bahwa ruangan ini adalah tempat yang aman. Apa pun yang kamu katakan di sini, akan tetap di sini. Saya di sini bukan untuk menghakimimu, tapi untuk mendengarkan."

Risa menunduk, tidak berani menatap Dr. Mira. Ia mencengkeram erat roknya, berusaha menahan tangis.

"Jadi," lanjut Dr. Mira. "Bisa ceritakan pada saya, kenapa kamu merasa jalan keluar dari masalahmu hanya bisa diselesaikan dengan uang?"

Risa menunduk, butiran air mata jatuh membasahi celananya. Dengan suara bergetar, ia mulai bercerita.

"Aku... aku merasa sendirian," bisiknya. "Papa dan Mama selalu sibuk. Aku tahu itu untuk kebaikanku, tapi aku... aku merasa seperti aku tidak cukup. Aku selalu harus menjadi anak yang sempurna, yang tidak pernah membuat masalah."

Ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih kuat. "Saat aku mulai judi online, aku merasa... kuat. Aku merasa seperti aku mengendalikan sesuatu. Dan saat aku menang, rasanya seperti semua masalahku hilang. Fara tahu. Dia bilang dia bisa memberiku uang untuk menutupi semua utangku. Aku tahu itu salah, tapi aku... aku hanya ingin semua masalah ini cepat selesai tanpa harus membuat Papa dan Mama kecewa."

Ken dan Tiara saling pandang, terkejut. Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik sikap diam Risa, ada beban sebesar ini.

Dr. Mira mengangguk. "Terima kasih sudah jujur, Risa. Ini adalah langkah yang sangat berani," katanya. Ia kemudian menoleh kepada Ken dan Tiara. "Kalian bisa lihat, masalahnya bukan hanya pada kecanduan. Ini juga tentang bagaimana Risa merasa tidak bisa meminta bantuan dari kalian."

Ken menarik napas panjang, air mata menggenang di matanya. Hatinya hancur mendengar pengakuan Risa. Tanpa ragu, ia mendekati Risa, berlutut di depannya, dan memeluknya erat.

"Maafkan Papa, Nak," bisik Ken, suaranya bergetar. "Maafkan Papa dan Mama yang terlalu sibuk. Maafkan kami yang tidak menyadari betapa beratnya bebanmu. Kami tidak akan meninggalkanmu. Kami akan ada di sisimu. Kami akan membantumu, Risa."

Risa menangis di pelukan ayahnya. Rasanya, semua beban yang ia pikul selama ini akhirnya terangkat.

Setelah Risa memeluk ayahnya,Tiara yang sedari tadi terdiam, juga mendekat dan memeluk putrinya. "Maafkan Mama, Risa," isaknya. "Mama malu dengan perbuatanmu, tapi Mama lebih malu karena tidak ada di sisimu saat kamu membutuhkan Mama."

Dr. Mira membiarkan mereka, memberikan ruang bagi keluarga itu untuk bersatu kembali. Ia tahu, langkah pertama dari penyembuhan sudah dimulai.

Perlahan, Tiara melepaskan pelukannya. Ia menggenggam erat tangan putrinya dengan lembut, dan berkata,

"Mama tahu mungkin ini terdengar egois dan membela diri," kata Tiara, suaranya parau. "Tapi, sayang... Mama dan Papa bekerja itu juga buat memenuhi kebutuhan kita. Buat kamu, adik kamu, biaya sekolah kamu, biaya sekolah adik kamu."

Ken mengangguk. "Itu benar, Risa. Kami kerja keras setiap hari karena kami sayang sama kamu dan adik kamu," katanya.

Risa hanya diam. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan yang dipenuhi rasa bersalah.

"Tentu saja," sela Dr. Mira dengan lembut. "Anak tahu bahwa orang tuanya bekerja keras untuk mereka. Tapi, anak juga butuh kehadiran emosional. Mereka butuh tahu bahwa orang tuanya ada untuk mendengarkan, bukan hanya untuk memberikan."

Dr. Mira menoleh ke arah Ken dan Tiara. "Risa tidak pernah menganggap uang sebagai masalah. Masalahnya adalah dia merasa tidak bisa berbicara dengan kalian."

Tiara terdiam. Ia menatap Ken, lalu menatap Risa, menyadari kebenaran dari kata-kata Dr. Mira.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua?" tanya Ken kepada Dr. Mira, suaranya dipenuhi harapan.

Dr. Mira tersenyum lembut. "Langkah pertama, kalian harus mulai belajar untuk mendengarkan Risa, bukan hanya memberikan apa yang dia inginkan. Dia butuh kehadiran kalian," jelasnya. "Kedua, jangan pernah lagi membandingkan Risa dengan orang lain. Dia perlu merasa dihargai apa adanya."

"Dan yang terakhir," lanjut Dr. Mira, "kalian harus menepati janji yang kalian buat. Bersama-sama, kalian akan membantu Risa melewati kecanduan ini. Kita akan jadwalkan sesi berikutnya minggu depan. Selama itu, kalian harus meluangkan waktu untuknya setiap hari, bahkan jika hanya 15 menit. Tunjukkan padanya kalau kalian ada untuknya."

Tiara mengangguk, matanya berlinang. "Kami akan lakukan, Dokter."

Ken menepuk pundak Tiara, lalu kembali menatap Dr. Mira. "Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak."

Mereka kemudian keluar dari ruangan, meninggalkan klinik dengan hati yang terasa lebih ringan. Mereka tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi setidaknya mereka sudah memulai langkah pertama. Mereka sudah memiliki sebuah rencana.

Di sekolah, Bel istirahat berbunyi nyaring. Guru yang mengajar keluar dari kelas. Fara dengan cepat bangun dari duduknya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu, berusaha menghindari tatapan semua orang. Namun, ia tidak berhasil.

Tiba-tiba, seorang siswi bernama Rina datang menghampirinya.

"Fara, lo mau ke mana?" tanyanya dengan nada menuntut. "Katanya lo mau traktir jajan di kantin? Dan uang yang lo janjiin, mana?"

Fara berhenti, terkejut. Ia menoleh ke arah Rina, yang kini menatapnya dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun keramahan yang biasa ia tunjukkan. Fara menyadari, Rina bukan temannya. Rina hanya menagih janji yang dibuat dengan uang.

"Nanti gue kasih," bisik Fara, berharap Rina tidak membuat keributan.

"Enggak bisa nanti!" jawab Rina dengan suara keras, menarik perhatian siswa lain. "Gue butuh sekarang!"

"Yaudah, ayo ke kantin," kata Fara, pasrah.

Fara dan Rina pun pergi bersama ke kantin. Aluna, Revan, Kian, dan Liam melihat itu. Kemudian, Revan menghampiri Aluna dan mengajaknya ke kantin bersama.

"Aluna, ayo ke kantin bareng," ajak Revan.

Aluna hanya mengangguk. Mereka berempat, Revan, Aluna, Kian, dan Liam, berjalan bersama menuju kantin. Aluna merasa sedikit canggung, tetapi ada rasa lega karena ia tidak sendirian.

Sementara itu, di kantin, Fara dan Rina sudah tiba.

"Yaudah, lo cepet pesen makanan, nanti gue yang bayar," kata Fara, suaranya terdengar malas.

"Oke kalau gitu gue pesen ya. Tapi uang yang kemarin, lo harus gantiin. Janjinya lo mau traktir," tagih Rina.

"Iya, iya, yaudah sana pesen," jawab Fara. "Sekalian punya gue, gue mau bakso. Lo pesenin, gue cari tempat duduk. Nih uangnya." Fara memberikan selembar uang seratus ribu. Rina menerima uang itu, lalu pergi untuk memesan.

Setelah itu, Fara pergi mencari tempat duduk. Setelah mendapatkannya, ia duduk sendiri di meja yang biasanya penuh dengan teman-temannya. Tepat saat itu, ia melihat Valeria dan Damian berjalan berdua sambil tertawa. Mereka berpegangan tangan dan tampak bahagia.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Fara merasa marah dan kesal. Ia merasa sangat terhina.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Tiba-tiba, ia melihat Aluna, Revan, Kian, dan Liam masuk ke dalam kantin.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Aluna, Revan, Kian, dan Liam masuk ke kantin. Mereka melihat sekeliling, dan mata mereka langsung tertuju pada satu meja di sudut: Fara duduk sendirian, memandang kosong ke depan. Keangkuhan yang biasanya ia tunjukkan kini digantikan oleh kesepian yang nyata.

"Itu Fara," bisik Kian.

"Ya, gue tahu," jawab Revan. Ia melirik Aluna, yang matanya dipenuhi keraguan. "Lun, lo mau kita duduk di sana?"

Aluna menatap Revan, lalu kembali menatap Fara. Ia menghela napas panjang. "Ayo," katanya, menguatkan diri.

Mereka berempat berjalan menuju meja Fara. Beberapa siswa di kantin berbisik-bisik, kaget melihat kelompok itu mendekati Fara.

Fara yang sadar akan kehadiran mereka, mendongak dengan tatapan marah. "Mau apa kalian?" tanyanya, suaranya tajam. "Mau kasihani gue? Pergi sana!"

Revan mencoba menenangkan. "Kita cuma mau duduk, Fa."

"Gue enggak butuh temen kayak lo semua!" balas Fara, menantang. "Terutama lo, Aluna. Gue kira lo di pihak gue!"

Aluna merasa sakit mendengar perkataan itu. "Fara..."

Tepat saat itu, Rina datang sambil membawa dua mangkuk bakso. Ia melihat Fara dan kelompok Aluna berada di meja yang sama.

Fara menatap Aluna dan teman-temannya dengan mata menyala-nyala. "Sana lo semua pergi atau gue yang akan pergi!" serunya, suaranya menarik perhatian seisi kantin.

Aluna terkejut, air mata menggenang di matanya. Ia tidak menyangka Fara akan bereaksi seperti itu. Ia mencoba mendekat, tetapi Fara sudah berdiri.

"Fara, tunggu," panggil Aluna, suaranya bergetar.

Fara tidak menoleh. Ia berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan baksonya dan Rina di meja. Rina hanya menatapnya dengan bingung, tidak mengerti mengapa Fara tiba-tiba pergi.

Revan menepuk bahu Aluna, mengisyaratkan agar ia tidak mengejar Fara. "Percuma, Lun. Dia butuh waktu sendiri," bisik Revan.

Aluna hanya bisa melihat Fara pergi, merasakan penyesalan yang mendalam. Ia ingin membantu Fara, tetapi Fara sendiri yang memilih untuk menjauh.

Rina menatap bakso di tangannya, Ia berkata,

"Terus, ini baksonya gimana?" tanyanya.

Revan melirik ke arah Fara yang sudah jauh.

"Yaudah, buat Aluna aja. Nih, Lun, lo aja yang makan," katanya sambil menggeser salah satu mangkuk bakso itu ke arah Aluna.

Aluna ragu. "Tapi ini kan punya Fara?"

"Fara-nya udah pergi, jadi mending lo makan aja, Aluna. Sayang, mubazir," bujuk Kian.

"Iya, udah makan aja. Atau buat gue aja, sini!" celetuk Liam, mencoba mencairkan suasana.

"Eh, kita pesan aja," kata Revan, mencegah Liam. Ia lalu menatap Rina dan bertanya, "Ini udah dibayar, kan?"

"Udah kok, Van," jawab Rina.

"Yaudah, lo duduk di sini aja, Rin, temenin Aluna," kata Revan. "Gue, Kian, sama Liam mau pesen dulu ya. Lo mau minum apa, Lun?"

"Es teh manis aja," jawab Aluna.

"Lo, Rin?" tanya Revan.

"Eh, nggak usah, gue udah pesan," balas Rina.

"Yaudah," kata Revan, lalu ia, Kian, dan Liam meninggalkan mereka berdua.

Aluna dan Rina kini duduk berdua dalam keheningan yang canggung. Mangkuk bakso yang diletakkan di depan Aluna terasa sangat berat.

Revan, Kian, dan Liam berjalan menuju konter kantin untuk memesan makanan dan minuman. Revan memesankan Aluna es teh manis dan meminta pelayan untuk mengantarkannya ke meja mereka. Pelayan itu mengangguk.

Sesaat kemudian, seorang pelayan menghampiri meja Aluna dan Rina, membawa nampan berisi dua gelas. Satu gelas berisi es teh manis yang dipesan Aluna, dan satu lagi berisi es jeruk pesanan Rina. Pelayan itu meletakkan minuman di depan mereka dan pergi.

Kini, ada makanan dan minuman di atas meja, tapi keheningan masih menyelimuti Aluna dan Rina.

"Makan aja, Lun. Nanti keburu dingin dan enggak enak," kata Rina, suaranya terdengar lugas. Ia mulai menyantap baksonya sendiri, sementara Aluna masih terdiam.

Aluna akhirnya mengambil sendok. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Fara yang pergi.

"Jadi, tadi di depan kelas lo ngomong apa ke Fara?" tanya Aluna, memberanikan diri.

Rina menatap Aluna, lalu terkekeh sinis. "Gue nagih janji dia," jawabnya.

"Janji, Janji apa?" tanya Aluna.

"Dia janjiin gue satu juta sama traktir dikantin selama seminggu biar gue mau pindah tempat duduk. Terus tadi dia cuma kasih seratus ribu dan dia bilang bakalan gantiin duit gue yang kemarin. Dia janji traktir gue kemarin. Jadi gue tagih, dia kira janji itu main-main?" Rina menjelaskan, suaranya dipenuhi kekesalan.

Aluna menghentikan suapannya. Ia tidak pernah tahu tentang perjanjian itu. Ia hanya tahu Fara tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia melirik Rina, yang kini sibuk dengan baksonya.

"Tapi, Lun, lo benar saudara Fara? Saudara kandung?" tanya Rina, kini balik bertanya.

"Nggak, sepupu," jawab Aluna. "Bokapnya dia kakaknya Mama gue."

"Tapi kok sifatnya dia sama sifat lo beda, ya?" ujar Rina.

Aluna hanya terdiam dan melanjutkan makannya.

Sementara itu, Revan, Liam, dan Kian sudah selesai memesan. Tepat saat itu, Damian datang untuk memesan minuman.

"Hey, Damian, lo sendiri?" tanya Revan.

"Enggak, sama Valeria," jawab Damian.

"Di mana? Gue enggak lihat," kata Revan.

"Tuh, di ujung," tunjuk Damian ke arah Valeria yang sedang makan dan memainkan ponselnya.

... Hanya ilustrasi gambar. ...

"Oh, yaudah," kata Revan.

" Kalau lo mau samperin, ke sana aja?" tawar Damian.

"Enggak, gue mau nemenin Aluna," jawab Revan, yang membuat Damian sedikit terkejut.

"Oh, oke," kata Damian.

Revan, Kian, dan Liam pun berpamitan kepada Damian dan kembali menuju meja Aluna.

"Yaudah, gue balik ke meja Aluna dulu ya, Dam," kata Revan sambil menepuk bahu Damian.

"Oke," jawab Damian, tersenyum kecil.

"Yo, Dam, kita duluan," kata Kian.

"Iya," balas Damian.

Revan, Kian, dan Liam pergi, meninggalkan Damian di depan konter. Damian kemudian memesan dua minuman es teh untuknya dan Valeria. Tak lama, pesanan pun jadi. Damian membayar dan berjalan ke meja Valeria, yang duduk di sudut kantin. Sesampainya di meja Valeria, Damian menaruh esnya di meja, lalu menggeser salah satu minumannya mendekat ke Valeria dan berkata, "Ini es teh manis kesukaanmu."

"Makasih, Dam," kata Valeria, tersenyum hangat.

"Sama-sama," jawab Damian. Ia duduk di hadapan Valeria, mengambil kentang goreng di mangkuknya.

"Eh, Dam, makanannya nggak habis. Gue kenyang," kata Valeria, mendorong piringnya sedikit.

"Yaudah, sini gue yang habisin," jawab Damian santai. Ia mengambil piring itu dan mulai menyantap makanan sisa Valeria, menunjukkan betapa nyamannya hubungan mereka.

Sementara itu, di meja lain, Aluna dan Rina masih dalam keheningan yang canggung.

Bersambung......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!