Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Sosok laut
Mobil berhenti di halaman rumahku. Nafasku masih terasa berat, jantungku belum benar-benar tenang. Rumah terasa sunyi, hanya lampu teras yang menyala. Joan membantu aku turun, sementara Wita dan Gilang mengikuti di belakang, masih terdiam sejak meninggalkan pantai.
Begitu masuk ke ruang tamu, aku langsung menyalakan semua lampu. Entah kenapa, kegelapan terasa lebih menakutkan sekarang. Suasana hening, hanya terdengar suara detak jam dinding.
Ponselku berdering. Papah menelpon.
“Hallo pah?”nafasku tercekat
“Nadia, maaf ya, Papah sama Mamah nggak bisa pulang malam ini. Restoran lagi ada masalah, kami harus cek sampai selesai. Kamu nggak apa-apa kan sendirian?”
Aku menelan ludah. “Aku nggak sendiri, kok. Kak Joan, Wita, sama Gilang di sini. Papah hati-hati aja di jalan.”
“Baik. Kunci semua pintu, ya. Kalau ada apa-apa, telpon Papah.”
“Iya, Pa.”
Telepon kututup. Joan menatapku. “Mereka nggak pulang?”
Aku menggeleng. “Nggak… jadi cuma kita di rumah malam ini.”
Wita langsung bersuara, suaranya pelan tapi jelas tegang.
“Nad… boleh aku sama Gilang nginep di sini? Aku nggak yakin bisa tidur sendirian habis liat… makhluk-makhluk itu.”
Aku mengangguk cepat. “Iya. Kalian semua nginep sini aja. Aku juga nggak mau sendirian.”
Joan menambahkan, suaranya serius, “Aku juga nggak akan ninggalin kamu. Kita semua tetap satu rumah, biar kalau ada apa-apa, kita bisa hadapi bareng.”
Kami duduk berempat di ruang tamu. Televisi menyala hanya sebagai latar, suaranya kecil, sekadar mengusir keheningan. Tapi aku bisa merasakan… sesuatu. Udara di rumah terasa lebih dingin dari biasanya, meski semua jendela sudah tertutup rapat.
Gilang merapatkan jaketnya. “Kamu ngerasa nggak… rumah ini kayak… lebih dingin?”
Wita menggenggam tangannya. “Aku takut… kalau mereka bisa ngikut sampai sini.”
Aku menarik napas panjang, berusaha tenang. “Aku juga nggak ngerti apa yang kita lihat di pantai… tapi… rasanya belum selesai.”
Tiba-tiba, lampu di ruang tamu berkelip. Sekilas, aku merasa ada bayangan bergerak cepat di sudut mata, tapi saat kutoleh, tidak ada apa-apa. Joan berdiri, matanya waspada.
“Kunci semua pintu dan jendela. Jangan ada yang pisah.”
Kami semua bergerak cepat mengunci pintu. Tapi saat aku menutup gorden di ruang tengah, mataku menangkap sesuatu di luar jendela. Di halaman depan, di bawah lampu teras, ada bayangan tinggi… bentuknya sama seperti yang di pantai.
Jantungku langsung terasa berhenti berdetak. “kak joan…” suaraku nyaris berbisik.
Dia datang mendekat, mengikuti arah pandangku. Wita menahan napas, Gilang berdiri kaku.
Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri menatap ke arah rumah. Angin di luar tidak ada, tapi tirai jendela bergetar sendiri.
Joan meraih tanganku erat. “Kita semua kumpul di ruang tengah. Nyalain semua lampu. Jangan ada yang sendirian.”
Kami semua kembali ke tengah rumah, duduk berdekatan. Lampu menyala terang, tapi rasa dingin dan rasa diawasi itu tetap ada, menempel seperti kabut.
Aku memeluk lengannya erat. “Kalau mereka bisa sampai sini… kita harus ngapain, kak?”
Dia menatapku, suaranya pelan tapi tegas. “Kita bertahan sampai pagi. Apa pun yang terjadi… aku nggak akan biarin mereka ambil kamu.”
Di luar, terdengar suara ketukan pelan di jendela, seperti sesuatu menggores kaca… perlahan.
Kami berempat duduk rapat di ruang tengah. Semua lampu di rumah sudah dinyalakan, tapi tetap terasa gelap di sudut-sudut tertentu. Suara televisi samar jadi satu-satunya pengisi keheningan, namun tidak cukup menenangkan.
Aku menggenggam tangan Joan erat, jantungku berdetak tak karuan. Setiap beberapa detik, aku menoleh ke arah jendela, takut melihat sesuatu… dan semakin takut kalau nggak melihat apa-apa tapi merasa ada yang mengawasi.
Ketukan di kaca kembali terdengar.
Tok… tok… tok…
Pelan, berirama tak beraturan. Suara itu berasal dari jendela ruang makan.
Wita menelan ludah, suaranya nyaris berbisik. “Kamu dengar itu?”
Gilang meraih tangannya. “Aku dengar… tapi jangan lihat ke jendela. Jangan.”
Aku sendiri tak bisa menahan rasa penasaran. Perlahan, aku menoleh.
Tirai bergerak… padahal semua jendela sudah tertutup rapat. Lalu samar, bayangan hitam tinggi melintas cepat di balik kaca, bergerak dari satu sisi ke sisi lain. Tidak menatap ke dalam, tapi… rasanya mereka sedang berkeliling, mengitari rumah.
“kak joan…” suaraku gemetar.
Dia berdiri, menarik aku berdiri bersamanya. “Kita tetap di tengah. Jangan mendekat ke jendela atau pintu.”
Kami semua kembali ke tengah ruangan, duduk berdekatan. Joan menyalakan lilin-lilin kecil di meja, mungkin hanya agar cahaya terasa lebih hangat daripada sekadar lampu putih. Tapi bahkan api lilin pun bergetar, seperti ada hembusan angin… padahal tidak ada jendela terbuka.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari atap.
Ctak… ctak… ctak…
Teratur, seolah ada sesuatu yang berjalan di atas rumah. Wita spontan menutup telinganya, tubuhnya gemetar.
“Mereka… mereka naik ke atap…?”
Gilang memeluk bahunya. “Tenang, aku di sini. Mereka nggak bisa masuk… kan?”
Joan menatap ke langit-langit, matanya tajam. “Aku nggak yakin mereka makhluk yang bisa ditahan sama pintu atau dinding.”
Detik berikutnya, suara berbisik terdengar. Bukan dari luar, tapi dari dalam rumah. Samar, seperti suara banyak orang berbicara bersamaan, tak jelas bahasanya. Suara itu datang dari arah koridor menuju dapur.
Aku menggenggam tangan Joan lebih erat, hampir menyakitinya. “Kamu dengar, kan? Itu… di dalam rumah…”
Joan mengangguk pelan, suaranya tenang tapi tegas. “Iya. Tapi kita jangan berpencar. Mereka cuma pengen bikin kita takut. Jangan kasih celah.”
Suara bisikan itu berhenti tiba-tiba, digantikan oleh bunyi ketukan pelan di pintu depan. Satu kali. Lalu dua kali. Lalu berhenti.
Rumah terasa hening… terlalu hening. Bahkan suara televisi mendadak mati sendiri, layarnya gelap.
Wita mulai menangis pelan, wajahnya pucat. “Aku… nggak kuat kalau mereka masuk…”
Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang walau tubuhku bergetar. “Kita… harus tunggu sampai pagi. Mereka nggak mungkin bisa… bertahan setelah matahari terbit… kan?”
Joan menatapku, matanya tajam. “Aku harap begitu. Sampai saat itu, kita nggak boleh terpisah.”
Suara langkah di atap berhenti. Tapi dari luar jendela, bayangan tinggi itu terlihat berdiri diam lagi… kali ini lebih dekat, tepat di bawah lampu teras.
\=\=\=\=\=
Suara burung dan cahaya matahari akhirnya masuk lewat celah tirai. Begitu mataku terbuka, aku langsung menyadari — rumah terasa tenang. Tidak ada lagi bisikan, tidak ada langkah di atap, tidak ada bayangan di jendela. Hanya suara normal pagi hari.
Aku duduk pelan, bahuku terasa berat karena semalaman aku bersandar ke Joan di sofa ruang tengah. Wita dan Gilang juga tertidur di karpet, masih saling berpegangan tangan.
Joan membuka mata, menatapku. “Udah pagi?”
Aku mengangguk kecil. “Iya… sepi. Mereka nggak ada lagi.”
Dia menatap sekeliling, memastikan semuanya aman. “Syukurlah… sepertinya mereka cuma bisa muncul saat malam.”
Wita perlahan bangun, matanya merah karena kurang tidur. “Aku nggak mau di rumah lagi hari ini. Aku mending ke kantor aja sekalian, walaupun capek.”
Aku menghela napas setuju. “Aku juga. Aku nggak bisa diam di rumah. Rasanya… masih kebayang suara mereka.”
Gilang meregangkan tubuh, menatap ke arah luar jendela yang kini hanya memperlihatkan halaman biasa. “Aku sama Joan juga balik kerja aja. Daripada di sini kepikiran terus.”
Joan berdiri, merapikan kemejanya. “Bagus. Aktivitas bikin kita nggak fokus ke rasa takut. Nanti malam… kita pikirin lagi kalau mereka datang.”
Kami semua saling pandang, masih ada rasa waspada, tapi juga lega karena pagi ini benar-benar normal. Tidak ada bayangan, tidak ada suara aneh.
Sambil bersiap ke kantor, aku menoleh ke Joan. “Kamu yakin mereka nggak bakal balik siang ini?”
Dia menatapku dengan serius, tapi lembut. “Matahari terang. Mereka nggak mungkin bisa muncul sekarang. Tapi kalau malam… kita harus hati-hati.”
Wita menyambar tasnya cepat. “Pokoknya aku nggak pulang dulu kalau malam mereka balik lagi. Aku nggak mau sendiri.”
Aku tersenyum tipis, meski rasa takut masih tersisa. “Yaudah. Kita semua jaga bareng. Tapi sekarang… kerja dulu aja biar pikiran kita nggak kosong.”
Kami pun keluar rumah bersama-sama. Matahari pagi terasa lebih hangat dari biasanya, tapi di dalam hatiku, rasa waspada belum hilang sepenuhnya. Seolah… sosok-sosok itu hanya menunggu malam berikutnya untuk kembali.