Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kujang Kembar Larang
Suara mesin mobil meraung di antara kabut pekat dan jerit neraka.
Lampu depannya memecah kegelapan. Menyorot lurus ke arah altar.
Manglayang Merah berdiri tegak, tubuh setengah dibungkus kabut berdarah.
Di tangannya tergenggam leher Sasmita — tubuhnya menggantung, tak berdaya, mata nyaris menutup, darah mengalir dari mulut dan pelipis.
Mobil berhenti hanya beberapa meter dari kaki Manglayang.
Pintu-pintunya terbuka bersamaan.
Yang pertama turun adalah seorang gadis muda, wajah garang, mata menyala dengan tekad yang hanya dimiliki oleh seseorang yang tak takut mati.
Tri Wahyuni.
Pakaian silatnya sobek-sobek, masih berlumur noda darah pertempuran sebelumnya, tapi dia membawa sesuatu di punggungnya — sarung panjang bersilang dua, senjata Kujang Kembar yang terbungkus kain mori putih penuh rajah.
Di sampingnya, turun Ningsih, mengenakan selendang batik hitam yang bergerak sendiri ditiup angin meski udara diam. Matanya sudah memerah, tanda bahwa sisi dukun warisan keluarganya telah bangkit penuh.
Di belakang mereka keluar dua orang dewasa — Maya dan Aditya, wajah mereka pucat karena perjalanan dan ketakutan, tapi mata mereka langsung menangkap Kenan, tubuhnya tergeletak, luka menganga di perut dan dadanya.
"KENAN!!"
Maya berlari duluan. Disusul Aditya. Mereka menghambur, berlutut, memeluk tubuh anak mereka tanpa peduli darah yang membasahi tangan mereka. Maya menjerit, Aditya mengguncang tubuh Kenan, yang tersadar setengah, lalu tersenyum samar.
"Ma... Pa... jangan... ke sini..." gumam Kenan pelan.
Langkah lembut menyusul dari belakang mobil.
Suster Ira Elizabeth.
Tubuhnya kecil, berbalut pakaian biarawati tua, tapi kalung salib di lehernya bergetar seolah mendeteksi kehadiran Iblis. Dari lengan bajunya, dia mengeluarkan botol kecil air suci, dan secarik doa kuno dalam Latin.
“Anak ini harus diselamatkan, dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.”
Ia meneteskan air ke luka Kenan, dan luka itu mulai mengecil perlahan, meskipun tubuh Kenan masih lemah.
Sementara itu...
Manglayang Merah berdiri kaku.
Matanya beralih dari Kenan... ke Tri dan Ningsih yang kini berdiri di hadapannya.
"Hmm... siapa ini?"
Dia mengangkat Sasmita lebih tinggi, seperti ingin mematahkan lehernya.
Tri mengatupkan giginya.
“Lepaskan guru kami, sebelum kau kehilangan kepala.”
Manglayang menyeringai. “Berani sekali tikus-tikus baru menantang raja neraka.”
“Kami bukan tikus. Kami murid Rengganis Larang.” ujar Ningsih dingin. Tangannya mulai merapal mantra. Suara yang keluar dari mulutnya bukan lagi suara manusia biasa — tapi bisikan nenek-nenek tua yang sudah mati ratusan tahun lalu.
“ASTAGFIRULLAH!” jerit Maya, melihat Manglayang makin dekat.
Tri menyambar dua sarung di punggungnya, menariknya perlahan, dan dua bilah Kujang Kembar mencuat dari dalam. Bersinar merah tua.
Kujang Larang milik keluarga Wibisana.
Senjata yang konon hanya bisa dipakai oleh darah terpilih, atau murid yang telah melewati sumpah waris.
"Maaf, Guru," gumam Tri. “Tapi sekarang giliran kami.”
Dan mereka menyerang.
---
Ningsih lebih dulu.
Dia menancapkan telapak tangan ke tanah, dan seluruh area di kaki Manglayang meledak dengan jerat gaib — akar-akar pohon mati mencuat dari tanah, terbalut huruf-huruf kuno, menggulung kaki monster itu.
Manglayang meraung. Tapi baru akan bergerak—
Tri melompat, dua Kujang Kembar berputar di tangannya, membentuk lingkaran merah.
CLAAANG!!!
Dia menghantam dada Manglayang — tak menembus, tapi menimbulkan retakan.
Darah hitam menyembur ke wajah Tri, tapi dia tetap menyerang.
“UNTUK GURU KAMI!!”
Manglayang berbalik dan menampar Tri ke arah batu — tubuhnya mental, mulutnya berlumur darah.
Tapi dia bangkit. Kujangnya masih tergenggam.
Ningsih berdiri di sampingnya. Wajahnya mulai berpendar.
Aura putih keunguan keluar dari tubuhnya, membentuk sosok wanita tua bertaring yang berdiri di belakangnya — roh leluhur santet.
“Dulu aku hampir dirasuki Nyai Rante Mayit,” kata Ningsih, suara ganda seperti dua dimensi bertubrukan.
“Sekarang aku sudah berdamai dengannya.”
Dia mengangkat tangan, lalu menghantam tanah sekali lagi — dan dari tanah muncul tombak api yang langsung menyambar Manglayang di sisi kanan.
RAUUUUNG!
Manglayang goyah. Tangannya melepaskan cengkeraman di leher Sasmita.
Tubuh Sasmita jatuh, seperti boneka rusak, tak bergerak.
Tri langsung menyambar tubuh gurunya.
“Guru! Bangun! Kami di sini!”
Sasmita membuka matanya pelan.
Wajahnya penuh luka. Tapi... dia tersenyum samar.
"Dibilangin juga... jangan nyusul..."
“Maaf, Guru,” bisik Tri sambil menahan air mata. “Tapi keluarga itu... enggak bisa ninggalin satu sama lain.”
Sasmita menarik napas. Darah mengalir dari hidungnya.
Matanya melihat dua kujang di tangan Tri.
“Jangan mati sembarangan, ya...”
Tri mengangguk. “Enggak akan. Tapi hari ini... satu siluman bakal kita kirim pulang.”
Maya dan Aditya tetap menjaga Kenan, sementara Suster Ira berdiri di depan mereka sambil memegang salib dan terus berdoa — menciptakan semacam perisai gaib dari cahaya yang menahan aura Manglayang.
“Ayo, Ningsih!” teriak Tri.
Mereka menyerbu lagi.
Manglayang kini mengaum. Tanduknya menyala, tangannya membesar menjadi cakar yang melelehkan batu. Tapi dua murid itu sudah siap. Mereka tak lagi murid biasa. Mereka... penerus Larang.
Sasmita terbaring di bawah pohon altar.
Darah mengalir. Tapi senyum masih tersisa.
Dia melihat langit di antara awan darah.
Dan melihat Tri menari dengan dua kujang di tangannya, siluetnya memotong cahaya neraka.
“Lawan terus... sampai darah terakhir.”
Sementara jauh di bawah, di desa, Kang Ujang dan warga hanya bisa melihat langit merah.
Bersambung...