Bayangkan, kedamaian dalam desa ternyata hanya di muka saja,
puluhan makhluk menyeramkan ternyata sedang menghantui mu.
itulah yang Danu rasakan, seorang laki-laki berusia 12 tahun bersama teman kecilnya yang lembut, Klara.
Dari manakah mereka?
kenapa ada di desa ini?
siapakah yang dapat memberi tahuku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mengare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di balik bayangan
Gudang besar berdiri kokoh di dalam barikade dadi karung tanah yang membentuk dinding tinggi. Pasukan berjaga di atasnya dengan tombak dan panah, mereka penuh kewaspadaan dan tidak membiarkan satu sudut luput dari pandangan.
Danu berjalan sambil menggandeng tangan ibunya. Dia memegang erat tangan itu, berjalan melewati parit yang di gali mengitari barikade, dibantu oleh beberapa pasukan yang telah menyiapkan papan kayu untuk mereka lewati.
Tumpukan barikade itu dibuat menjadi dua tiga lapisan dengan bagian dalam yang berbelok seperi labirin, menghalangi siapa saja yang masuk untuk menerobos langsung ke dalam.
Tidak ada tawa di sana, semua orang murung, berkumpul dengan keluarga mereka masing-masing, bukan karena welas asih tapi lebih karena takut kehilangan. Danu dan keluarganya dibawa masuk ke dalam gudang.
Dulunya tempat ini adalah tempat yang digunakan sebagai penimbunan hasil panen raya, orang-orang akan berkumpul sambil membanggakan hasil panen mereka. Beberapa dari mereka akan tertawa keras sambil bercanda dengan temannya dan yang sebagian yang lain menikmati kebersamaan itu dari dekat tanpa berkomentar apapun.
Kehangatan yang masih kental di ingatan setiap orang yang ada di sana.
Entah kemana perginya kehangatan itu. Orang-orang murung, baik karena terkekang oleh keadaan atau khawatir dengan masa depan mereka.
Kabut hitam meluas hingga tepat di depan barikade. Kabut itu seperti akan mendekat tapi terhalang oleh sesuatu yang tak terlihat dan hanya mengepul ke atas dan ke bawah.
Danu, Klara, Nyonya Cendana, Nyonya Vivi, dan Kakek Surya duduk di ujung bangunan pengungsian, sementara Tuan Senja berdiskusi dengan penjaga di sana.
Danu menatap wajah ibunya yang tampak khawatir dan beberapa kali menghela nafas.
"Bu, apa semuanya baik-baik saja?" Tanya Danu dengan polos.
Nyonya Cendana tersenyum mengelus rambutnya. "Semuanya akan baik-baik saja selama kita bersama jadi Danu yang tenang ya."
Danu mengangguk, meski begitu dia tahu kalau semuanya tidak sebaik yang ibunya katakan.
#####
Sementara itu, di sisi lain gudang.
Fareza duduk di atas pangkuan Ares, suaminya. Dia memegang erat bahu Ares, mengabaikan pandangan orang terhadap dirinya. Fareza membenamkan kepalanya pada dada Ares.
"Maaf, sepertinya trauma ku selalu menjadi beban bagimu," ujar Fareza pelan dan hampir tak terdengar.
Ares mengusap kepalanya, pandangan matanya sayup seolah terbiasa dengannya. "Anda tidak perlu meminta maaf. Ini sudah menjadi tugas saya."
Fareza mencoba memperbaiki posisi duduknya, sedikit menggeliat, dan menatap mata suaminya dengan memelas. "Terkadang aku bertanya-tanya, apakah kamu ada di sisiku karena kamu adalah pengawal yang loyal terhadap gadis suci atau karena murni kamu adalah suami sah ku."
Fareza melirik pada keluarga yang berada di dekat mereka. Dia tersenyum miris, menertawakan dirinya sendiri dalam hati dan bergumam. "Andai saja tubuhku tidak tersentuh oleh para bajingan itu, kita mungkin sudah menjadi keluarga yang normal sekarang."
Suara Fareza terdengar memekik, tubuhnya bergetar hebat begitu telah mengucapkan kalimat yang membuka ingatan kelamnya.
Ares mungkin tidak tahu bagaimana bereaksi dengan emosi orang lain tapi dia sadar kalau dia harus mengalihkan perhatian Fareza pada hal lain.
Dia memperhatikan sekitar dan melihat sosok yang tak asing bagi mereka, itu adalah Danu, anak yang mereka tolong dulu. Ares memutar otaknya dan tersenyum puas.
Menyandarkan kepalanya pada Fareza. "Saya tidak yakin apakah saya mengikuti anda karena saya adalah suami anda di atas kertas atau karena saya ditugaskan untuk mengawal anda, tapi saya tahu kalau anda layak untuk bebas dari kuil. Lihatlah itu, bukankah itu keluarga yang anda tolong."
Fareza menoleh ke arah Danu dan keluarganya, Ares menambahkan, "jika anda tidak menolong mereka mungkin anak itu tidak ada di sini saat ini dan ibu itu mungkin telah kehilangan semangat hidupnya. Saya tidak bisa menjanjikan anda apa-apa saat ini, tapi setelah semua ini saya akan berusaha memenuhi harapan anda."
Fareza tidak menanggapinya secara langsung, dia kembali membenamkan kepalanya pada pelukan Ares, diam-diam tersenyum.
#####
Hayako menatap tajam kabut hitam di depannya, surai rambutnya tergerai di udara oleh tiupan angin dingin. Dia berdiri pada dinding benteng pertama yang telah dikelilingi kabut hitam.
Kabut hitam tipis masuk mengitari area sekitar benteng, suara desiran angin terdengar oleh tiap orang berada di sana, suara itu terdengar jelas di tengah kesunyian. Mereka semua diam, menunggu aba-aba selanjutnya dari Hayako, mengeratkan pegangan senjata mereka.
Cahaya merah dari suar yang mereka tembakan masih menyala di langit, redup perlahan saat jatuh ke tanah.
Hayako menggerutu dalam hati, "Ha.. meski aku harus terus tersenyum, terlepas dari emosi dalam diriku, rasanya sangat menyesakkan saat menghadapi kabut hitam ini."
Dia menghentakkan kotak kayu yang ia tenteng. Tutup kotak itu terbuka oleh hentakan itu, menjatuhkan papan kayu dengan keras ke tanah, dan menampakkan sebuah senapan laras panjang dan golok besar di dalam kotak.
"Baiklah, mari kita tunggu kedua kelompok itu memancing sebagian besar monster itu. Setelahnya, akan aku selesaikan dalam sekali serang," gumam Hayako.
Dia menatap langit biru cerah di atas kabut tebal yang membuat mereka tampak berlawanan. Hayako kembali tersenyum. "Aku rasa aku akan bertemu kembali denganmu, saudari ku."
#####
Di bagian timur hutan,
Dark knight menatap remeh lawannya, seolah melihat sekumpulan serangga. Dia berdiri cukup lama di hadapan mereka Thomas, Rangga, dan squadnya.
2 mage tidak dapat berdiri dan satu healer yang lemah berlindung dibalik seorang tanker yang juga tertekan oleh aura yang dikeluarkan olehnya. Hanya Rangga dan Gurunya, Thomas, yang masih menunjukkan perlawanan nyata dari sorot mata mereka meski mereka berkeringat dingin.
Sang kesatria memandang sekitar, menyusuri tiap sudut yang mungkin ia lewatkan, tapi tak belum sampai dia menemukan yang lain, Thomas menarik nafas dan membalas aura yang dikeluarkan oleh Dark Knight yang secara jelas menantangnya.
Dark Knight mendengus, melangkah perlahan ke arah mereka dan berhadapan langsung dengan Thomas.
Thomas tak ingin kalah, dia juga melangkah mendekat sehingga tersisa hanya beberapa langkah dan pada langkah terakhir, keduanya bergerak secara cepat menghunuskan pedang, dan saling beradu tebasan.
Pedang mereka berbenturan dan melepaskan suara nyaring yang memekakkan telinga.
Mereka segera mundur beberapa langkah untuk bersiap melanjutkan serangan berikutnya.
Thomas tersenyum dan bersemangat, jantungnya berdegup kencang, dalam hati dia berkata. "Meski aku hanya bertugas mengalihkan perhatian, tapi veteran mana yang berkesempatan bertarung langsung dengan Dark Knight."