Semua orang melihat Kenji Kazuma sebagai anak lemah dan penakut, tapi apa jadinya jika anak yang selalu dibully itu ternyata pewaris keluarga mafia paling berbahaya di Jepang.
Ketika masa lalu ayahnya muncul kembali lewat seorang siswa bernama Ren Hirano, Kenji terjebak di antara rahasia berdarah, dendam lama, dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Bisakah seseorang yang hidup dalam bayangan, benar-benar memilih menjadi manusia biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hime_Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 – Janji Persahabatan
Pagi itu, langit di atas sekolah Emerald tampak lebih kelabu dari biasanya—seolah meniru suasana hati Kenji. Ia berjalan memasuki gerbang perlahan, langkahnya berat, bahunya masih terasa nyeri akibat kejadian di fasilitas Takatori. Namun yang lebih sakit dari lukanya adalah sesuatu yang tidak hilang dari pikirannya: wajah Whisperer dan kemiripannya dengan Kazuma. Suara-suara bisik mulai mengikuti Kenji begitu ia masuk halaman sekolah.
“Itu Kenji Kazuma … katanya dia sekarang sering hilang-hilangan,” kata salah satu siswa.
“Wajahnya makin dingin, ya?” tanya teman disampingnya.
“Apa dia terlibat masalah lagi?” tanya kembali ke temannya.
Kenji mengabaikan semuanya, menunduk dan langsung menuju kelas. Ia berharap pagi ini berlalu tanpa gangguan. Tanpa pertanyaan. Tanpa cerita, tetapi harapan itu langsung hancur saat dua suara familiar memanggilnya keras.
“Kenji!” Yuto dan Akira berdiri di pintu kelas, wajah mereka tegang. Yuto menarik lengan Kenji tanpa permisi.
“Kita perlu bicara,” katanya.
“Sekarang juga,” tambah Akira dengan sorot khawatir yang tidak bisa ditutupinya.
Kenji mencoba menghindar. “Aku nggak apa-apa. Beneran. Aku cuma butuh—”
“Berhenti!” potong Akira.
“Kamu ngomong nggak apa-apa seratus kali juga kita nggak akan percaya.” Yuto mengangguk cepat.
“Iya! Kamu itu teman kami. Dan kami nggak mau cuma jadi penonton ketika kamu berubah jadi … ya begini.” Kenji terdiam. Kata-kata itu lebih menusuk daripada yang dia harapkan.
Setelah beberapa detik hening, Yuto menurunkan suaranya. “Ken, kami bukan musuh, tetapi akhir-akhir ini kamu dingin, kamu murung, kamu hilang-hilangan dan kamu selalu bohong soal kondisi kamu.”
Akira menambahkan, “Kami bukan cuma teman sekelas. Kita sahabat. Minimal percayalah sama kami sedikit.”
Kenji menggigit bibirnya ia tahu mereka benar. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum sepenuhnya pahami? Kenji masih memandangi Akira dan Yuto.
“Aku nggak mau kalian ikut bahaya,” jawab Kenji pelan.
Akira langsung merentangkan tangan ke udara. “Lagi-lagi alasan bodoh itu!”
Yuto menepuk bahu Kenji kuat-kuat. “Kalau kamu jatuh, setidaknya biar kami jatuh bareng. Itu fungsi punya sahabat!”
Emosi yang Kenji tahan sejak malam pertemuannya dengan Whisperer tiba-tiba muncul lagi di dadanya, membuatnya sesak. Ia hendak membalas, namun sesuatu yang hangat melingkari tubuhnya dari belakang.
“Kenji!” Itu suara Mira, ia memeluknya dari belakang, pelan tapi kuat.
Kepalanya bersandar di punggung Kenji. “Kalau kamu jatuh, biarin aku yang narik kamu duluan. Jangan biarin aku cuma jadi penonton.”
Jantung Kenji berdegup keras. Dia tidak siap untuk kelembutan itu. Terutama di tengah kepalanya yang kacau.
“Mira, ” kata Kenji dengan lirih.
“Jangan menjauh lagi,” Mira berbisik, suaranya pecah.
“Aku nggak kuat lihat kamu hilang tanpa kabar. Kamu bukan patung. Kamu bisa bicara,” jelas Mira.
Kenji menunduk dan akhirnya menggeleng. “Aku cuma … takut nyeret kalian semua ke dalam masalah yang aku bahkan nggak ngerti.”
Yuto menghela napas panjang lalu menepuk kepala Kenji keras. “Kami sudah masuk duluan ke masalahmu, bego.”
“Ya!” Akira menambahkan sambil menunjuk dirinya.
“Kami sudah di titik nggak bisa mundur! Jadi jangan sok melindungi. Kita jalanin bareng.” Kenji menatap ketiganya Mira yang masih memeluknya.
Yuto yang mencoba tegar meski matanya berkaca-kaca, Akira yang marah karena peduli.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Kenji merasa hangat. Walau sedikit. Karena melihat teman-temannya Kenji akhirnya akan mencoba untuk terbuka dengan mereka.
“Baiklah,” katanya akhirnya.
“Aku akan coba cerita, tetapi tidak semuanya dulu,” tambah Kenji.
“Setengah pun jadi.” Yuto menepuk bahunya.
“Setengah? Seperempat juga gapapa,” tambah Akira.
Mira melepaskan pelukannya perlahan, lalu menatapnya dengan mata yang masih lembut.
“Kami dengar apa pun yang bisa kamu bagi.”
Namun momen itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba Yuto mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Mata Yuto dan Akira langsung berubah serius.
“Ken,” kata Yuto pelan.
“Ada hal yang harus kamu lihat,” tambah Yuto.
Yuto mengeluarkan sebuah kamera kecil, seukuran kotak korek api, tetapi terlihat canggih.
Akira menambahkan, “Ini kita temukan di loker kamu—”
Kenji menegang. “Apa … maksudnya?”
“Kamera ini dipasang tersembunyi di balik dinding loker kamu,” jelas Akira.
“Dan … itu bukan kamera murahan. Ini kamera militer. Atau sebuah organisasi.” Kenji menelan ludah.
“Kita nggak berani lihat rekamannya sebelum kamu datang,” kata Yuto.
“Tetapi … kayaknya bahaya, Ken.” Kenji mengangguk pelan walau jantungnya mulai berdetak tak karuan.
Yuto menyalakan kamera itu dan menghubungkannya ke ponselnya. Layar ponsel menyala dan sebuah rekaman pertama langsung muncul. Mira, Yuto, dan Akira serempak membelalak. Di layar terlihat kamar Kenji malam hari gelap, hanya diterangi lampu meja. Kenji tampak tertidur di ranjang, napasnya pelan, lalu sebuah bayangan masuk ke kamar. Sosok bertubuh tinggi, memakai jas gelap, dan topeng putih tanpa ekspresi. Gerakannya tenang, hampir tanpa suara.
Mira memegang lengan Kenji. “Kenji itu—”
Sosok itu mendekat ke ranjang Kenji, lalu menunduk, menatap wajah Kenji yang tertidur dan menyentuh pipinya dengan lembut. Seperti seorang papa atau seseorang yang sudah mengenal Kenji sejak lama.
Akira mundur, merinding. “W-what the—?”
Yuto menutup mulutnya. “Ken … kenapa dia nyentuh kamu kayak gitu?”
Kemudian, rekaman itu memperdengarkan suara pelan nyaris seperti bisikan yang direkam tepat di depan mikrofon.
“Sebentar lagi,” kata orang tersebut.
“kau kembali padaku.” Kenji serasa tenggelam, dan darahnya berhenti mengalir.
Mira menatap Kenji dengan ketakutan. “Kenji dia bilang kembali jadi kau pernah—”
Belum sempat Kenji menjawab, layar tiba-tiba mengalami gangguan.Gambar bergetar, lalu statis, tiba-tiba saja layar menjadi gelap dan membuat Kenji, Yuto, Akira dan Mira bingung, tidak lama layar handphone kembali menyala tetapi tidak muncul rekaman.
Kali ini suara terakhir terdengar jelas. “Waktu kita hampir tiba, Kenji…”
Bruk! Kenji tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Yuto dan Akira memanggil namanya panik. mereka melihat tatapan Kenji yang kosong.
Mira mengguncang bahu Kenji. “Kenji! Kenji! Kamu kenapa?!”
Kenji tidak menjawab apa pun. Ia hanya memegangi dadanya rasa sesak datang tiba-tiba. Karena suara dalam rekaman itu, dan suara yang seharusnya tidak pernah ia dengar adalah suara yang muncul dalam mimpi-mimpi anehnya sejak kecil. Suara dari ingatan yang bukan miliknya. Suara yang ia kira hanya halusinasi, dan kini suara itu ternyata nyata yaitu Whisperer, Kenji sangat yakin kalau pemilik suara itu adalah suara Whisperer.
Yuto hendak meraih Kenji. “Ken, duduk dulu! Kamu pucat banget!”
Namun sebelum siapa pun sempat melakukan apa pun, lampu koridor tiba-tiba padam. Seluruh sekolah terguncang oleh getaran kecil.
Mira menjerit kecil. “Gempa?!”
“Bukan,” kata Akira, suara bergetar. “Ini … ini suara ledakan kecil.”
Saat agen bertopeng putih itu menghilang dari atap, Kenji merasa seluruh tubuhnya membeku. Akhirnya mereka bertiga hendak keluar dari sekolah sebelum mereka sempat bergerak menuju tangga evakuasi darrr! Sebuah suara keras menggema dari ara lapangan belakang. Gempa kecil terasa di lantai, membuat jendela bergetar. Asap hitam mulai naik dari belakang gedung laboratorium.
Mira menjerit. “Terjadi ledakan lagi!”
“Ken, kita harus turun! Ini sudah gila!” seru Akira.
Kenji diam, sangat diam. Karena ada sesuatu yang lain. Suara desis kecil terdengar dari speaker kelas seperti radio yang menangkap frekuensi asing. Mira memegang tangan Kenji lebih erat.
“Kenji ada suara,” kata Mira.
Yuto menoleh ke speaker. “Ini suara siapa? Guru?”
Tiba-tiba suara berat, dingin, dan sangat familiar mengisi seluruh ruangan. “Kenji Kazuma.”
Kenji tersentak napasnya terputus itu adalah suara Whisperer, masuk ke speaker ruang kelas, masuk ke sekolah, masuk ke ruangannya.
“Sudah cukup bersembunyi.” Akira dan Yuto membeku. Mira pucat seketika.
“Tujuan kami bukan sekolahmu.” Terdengar suara itu bergema pelan tapi jelas, seperti berbicara langsung ke tulang belakang Kenji.
“Tujuan kami … hanya kau.” kata orang tersebut.
Kenji mundur selangkah. “Tidak … tidak mungkin”
Radio itu kembali berdesis lalu suara Whisperer mengucapkan kalimat terakhir. “Tetap di tempatmu. Aku datang menjemput.”