Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
...🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️...
...happy reading...
...⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️...
"Ini bukk! Anak angkat yang tidak tahu diri itu, dia telah mengambil SEMUA yang seharusnya milikku! Selama 16 tahun, dia membuatku menderita tanpa henti! Harusnya dia dikeluarkan dari sekolah ini! Dia tidak pantas berada di antara siswa yang benar-benar berhak bersekolah!"
Suara Aris meledak di kantin sekolah, penuh emosi dan gemetar. Matanya memerah memandang Amirul yang berdiri diam di samping Raka, wajahnya tenang tapi mata menyiratkan kesedihan yang tersembunyi. Tangannya menunjuk ke arah Amirul dengan keras, seolah ingin menembus dinding kebenaran yang dia yakini.
Buk Wati, guru yang ditugaskan di kelas mereka, tiba-tiba muncul tadi. Wajahnya sedikit kusut karena sibuk mengajar, tapi tatapan matanya tajam dan tegas. Dia berdiri tepat di tengah antara Aris dan Amirul, menatap Aris tanpa ragu.
"Apa urusan saya dengan masalah keluarga Anda?" Suaranya tenang tapi penuh otoritas, membuat kebisingan kantin langsung mereda. "Saya di sini sebagai guru, tugas saya mengajar para siswa untuk menjadi orang yang berpotensi dan berprestasi, bukan untuk menjadi mediator masalah keluarga. Jika ada perselisihan di antara keluarga, selesaikan di luar sekolah. Tempat ini dibuat untuk belajar, bukan untuk membenarkan kemarahan pribadi."
Dia menggeser pundaknya, tatapan matanya meliputi semua siswa yang mengelilingi. "Sekarang, kalian semua bubar. Jika tidak, saya akan memanggil BK dan melaporkan ini ke kepala sekolah. Siapa yang mau ikut?"
Aris ternganga. Lidahnya kaku, tidak bisa mengeluarkan suara pun. Semua yang dia rencanakan, menunjukkan pada semua orang bahwa Amirul hanyalah pencuri, tiba-tiba hancur oleh kata-kata Buk Wati yang tidak berbelah bagi. Dia memandang Amirul lagi, dan kali ini dia melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya: kelemahan. Tapi kemarahan di hatinya terlalu besar untuk melepaskan.
Aris berdiri di depan meja Amirul, dada naik turun karena marah, matanya memancarkan api. Dia sudah berdiri sana selama lima menit, hanya menatap Amirul yang tenang di depan makanannya.
"Heh! Kamu tunggu apa lagi!"
Suara Bu Wati membangunkan Aris dari pemikiran. Guru itu berdiri di sebelahnya, tangannya menyilang di dada, tatapan matanya tajam tapi ada nuansa kesabaran di dalamnya. "Kalau tidak ada urusan di kantin ini, mending masuk kelas cepat. Waktu istirahat cuma sepuluh menit lagi."
Aris menggelengkan kepala, tapi tidak berani menentang. Dia memalingkan wajah ke Amirul sekali lagi, bibirnya merobek senyum yang jahat. "Tunggu saja kau, Amirul," ucapnya dengan nada rendah tapi penuh tekanan, seolah ingin kata-katanya menusuk langsung hati. "Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak pernah."
Setelah itu, Aris memutar tubuhnya dan berjalan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Amirul yang masih diam.
Bu Wati menghela nafas dan menatap Amirul dengan perasaan kasihan. Suaranya menjadi datar saat dia berbicara: "Udah, usah kamu pikir dia. Kemungkinan ibu Aris akan datang hari ini lagi untuk meminta kamu menandatangani surat pemutusan hubungan keluarga."
Amirul berhenti makan. Sendoknya terjepit di antara jari-jari, wajahnya memucat sedikit. Tapi kemudian dia mengangguk perlahan, menyembunyikan kesedihan di balik senyum lemah. "Iya, Bu. Terima kasih karena telah membantu saya keluar dari situasi ini. Kalau tidak ada Bu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."
Bu Wati tersenyum sebentar, lalu berdiri. "Baik, kamu lanjut makan. Aku pergi memesan makanan dulu ya." Setelah itu, dia pergi menuju kasir, meninggalkan Amirul yang kembali memandang piringnya.
"Kamu tinggal di mana sekarang, Amirul?" Tanya Raka.
Ia terkejut, tubuhnya melompat sedikit. Amirul menunduk, jari-jari menyentuh ujung meja, merasa gugup. Dia tidak ingin siapa pun tahu tempat tinggalnya sekarang, terutama Raka yang mungkin akan berpikir dia aneh.
"Aku... aku tinggal di pinggir kota," jawabnya dengan suara pelan, hampir tersesat. Matanya tidak berani menatap Raka, khawatir rahasia yang dia sembunyikan akan terlihat di mata.
Raka duduk di sampingnya, wajahnya penuh rasa penasaran tapi tidak memaksakan. "Aku ke rumah kamu boleh? Mau lihat apa suasana pinggir kota yang kamu katakan."
Amirul segera menggelengkan kepala, jari-jari menjadi kaku. "Eh jangan! Aku tinggal dengan orang lain, nggak enak nanti sama pemilik rumah. Dia orang yang suka tenang, gak suka tamu." Kata-kata bohong itu keluar dari mulutnya dengan cepat, seolah ingin menutupi kebenaran yang tersembunyi. Yang sebenarnya, dia takut ada orang yang melihat pohon uang di halaman rumahnya.
Dia mengangkat kepala, memberikan senyum lemah kepada Raka. "Kalau kamu mau ke rumah ku... tunggu sampai aku punya rumah sendiri ya. Baru kita bisa main bersama, main game atau nonton film bareng."
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪