NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20 JELEK SEKALI

Jam di dashboard mobil menunjukkan hampir pukul dua pagi ketika Arash mematikan mesin. Cahaya redup dari lampu taman menyapu wajahnya yang tampak kusut—mata merah, rambut sedikit berantakan, dan garis lelah yang menuruni rahangnya. Ia keluar dari mobil dengan gerakan berat, menutup pintu sedikit lebih keras dari biasanya, seolah tubuhnya tak sanggup lagi mengatur tenaga.

Udara malam menusuk kulit, dingin yang membuat langkahnya terasa semakin berat. Arash berhenti tepat di depan halaman ketika menyadari sesuatu. Kosong. Tidak ada sosok di sudut rumah, tidak ada gadis yang tertidur sambil meringkuk seperti kemarin.

“Sepertinya dia pulang ke rumah ayahnya,” gumamnya, entah sekadar tebakan atau harapan samar agar ia tidak perlu memikirkan Ava lebih jauh.

Arash memasukan kunci lalu mendorong pintu, dan saat itu juga ia di sambut oleh lampu ruang tamu yang menyala terang. Arash mengerutkan kening. “Tumben… biasanya Bi Ana mematikan lampu.”

Ia tak mau memikirkannya lebih jauh. Ia terus berjalan, ingin segera sampai di kamarnya dan menjatuhkan diri ke kasur. Namun langkahnya terhenti begitu ia melihat sesuatu di sofa—sebuah gulungan selimut kecil, naik turun mengikuti ritme napas seseorang.

Arash mendekat. Selimut itu bergerak halus, dan wajah Ava muncul dari sela lipatan kain—damai, tertidur pulas, rambutnya berantakan menutupi sebagian pipinya. Napasnya ringan, teratur, seolah tidak ada satu pun hal yang mengganggunya.

“Kenapa dia bisa masuk?” gumamnya pelan, heran sekaligus bingung.

Arash memandangnya beberapa detik, lalu cepat-cepat menggeleng, membuang pikiran yang tidak perlu, dan berlalu masuk ke kamar tanpa suara.

Beberapa menit setelah Arash masuk, Ava menggeliat kecil. Kelopak matanya terbuka setengah, tubuhnya bergerak gelisah. Dorongan kuat di perut membuatnya tersentak bangun sepenuhnya. Ia hampir berlari kecil, mencoba menahan rasa ingin pipis yang terasa semakin tak tertahankan.

Ia berdiri dengan langkah terburu-buru menuju kamar Arash, meraih gagang pintunya—dan mendorong kuat. Namun pintu itu tidak bergerak. Terkunci.

Itu berarti… Arash sudah pulang.

“Arash!” teriak Ava sambil memukul-mukul daun pintu, tubuhnya sedikit bergetar.

“Ya Tuhan, aku tidak kuat lagi…” Ia menggantung pada gagang pintu sambil melipat kedua kakinya, berusaha menahan sekuat tenaga agar tidak terjadi hal memalukan di depan pintu kamar itu.

“Arash, buka pintunya!” Kali ini ketukannya lebih keras, hampir seperti gedoran.

Pintu terbuka tiba-tiba. Arash berdiri di sana, wajah berantakan—bukan hanya karena lelah, tapi juga karena ia baru saja terbangun dari tidur yang terlalu singkat. Matanya redup, rahangnya mengeras, jelas menunjukkan frustrasi.

"Kau—"

“Terima kasih,” ucap Ava cepat, sama sekali tidak memberi kesempatan Arash memarahi atau bertanya. Ia berjalan melewati pria itu—bahkan sedikit menabraknya—dan masuk ke kamar mandi dengan kecepatan yang memalukan.

Pintu kamar mandi tertutup cepat setelah Ava masuk, meninggalkan Arash yang hanya mampu menatapnya dengan rasa kesal yang nyaris padam. Ia ingin marah—setidaknya melemparkan satu kalimat protes—namun tubuhnya terlalu lelah untuk mengikuti emosinya. Pada akhirnya, ia hanya menghela napas pendek dan membiarkan rasa jengkelnya menggantung tanpa bentuk.

Di balik pintu, Ava segera melangkah ke arah toilet. Setelah cukup lama menahannya di depan pintu kini akhirnya ia bisa melepaskannya, tubuhnya terasa lebih ringan. Sebuah helaan napas lega lolos dari bibirnya—sunyi, namun penuh kelegaan setelah menahan terlalu lama.

“Ah…” Ava mendesah lega beberapa saat kemudian. “Akhirnya..”

Ketika ia keluar, Arash sudah terbaring di kasur. Setelan kerjanya masih lengkap—dasi miring, kemeja terlipat tidak rapi di satu sisi tangannya, kaus kaki masih terpasang seolah ia jatuh begitu saja tanpa sempat memikirkan apa pun.

Ava mendekat perlahan. Ia berjongkok di sebelah kasur, membuka kaus kaki Arash satu per satu, lalu melonggarkan dasinya. Gerakannya hati-hati, seolah takut membangunkan anak muda yang keras kepala itu.

Saat ia membetulkan posisi tidur Arash, wajah pria itu terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang lembut. Wajah yang biasanya penuh kemarahan kini tampak… tenang. Berbeda. Lebih muda, bahkan sedikit rapuh.

Tanpa sengaja, kata-kata itu meluncur begitu saja, lebih cepat daripada kesadarannya. “Kau lebih tampan saat tidur…”

Ava membeku. "Astaga, apa yang aku katakan?" Matanya membesar, tangannya refleks menutup mulut. Ia menggeleng kecil, malu pada diri sendiri.

Karena kantuk mulai menyerang lagi, Ava berdiri. Dengan langkah ringan dan hati-hati, ia keluar dari kamar, dan menutup pintu perlahan—meninggalkan pria itu dalam keheningan malam yang akhirnya tenang.

...----------------...

Arash mengerjap pelan ketika sinar matahari menembus tirai dan jatuh tepat di wajahnya. Cahaya itu hangat, namun bagi kepalanya yang masih berat, terasa seperti gangguan yang terlalu terang. Ia mengangkat tangan, menutupi sebagian mata yang masih sulit fokus. Begitu penglihatannya mulai jelas, ia menoleh—lalu mendapati Ava berdiri di depan lemari, pintu kayunya terbuka lebar, tubuhnya setengah tenggelam di antara barisan pakaian yang rapi.

“Jangan coba-coba menyentuh barangku!” serunya refleks, suaranya serak dan kasar karena baru bangun. Ava terhenti, memalingkan wajah dengan alis terangkat.

“Kenapa? Aku hanya menggantung bajumu, bukan membakarnya,” balas Ava, nada datarnya terdengar seperti pukulan kecil yang disengaja. Ia lalu kembali melanjutkan aktivitasnya, menata jas itu hati-hati, justru seolah sengaja memperlihatkan bahwa ia tidak melakukan kesalahan apa pun.

“Aku tidak suka orang lain menyentuh milikku!” ulang Arash, lebih ketus. Ia bangkit dari kasur, langkahnya berat namun tegas, lalu masuk ke kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun.

Ava memandang punggung itu sejenak. Diam. Lalu menghela napas panjang. “Dasar bocah pemarah.” gumamnya lirih. Ia menutup pintu lemari dengan hati-hati, kemudian keluar dari kamar untuk memulai rutinitas paginya.

Hari itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Bi Ana tidak muncul sejak pagi—entah apa alasannya. Tidak ada suara dari perkakas dapur, tidak ada aroma sup atau roti hangat yang biasanya ia siapkan. Ava menunggu hingga matahari mulai naik, namun tetap tidak ada tanda kedatangannya. Ia akhirnya meraih tasnya dan pergi setelah menyiapkan sarapan untuk Arash.

Sementara itu, Arash keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya. Uap hangat masih menempel di kulitnya, Rasa lelah semalam sudah terangkat; tubuhnya terasa lebih ringan meski agenda hari ini penuh rapat dan berkas yang menumpuk. Langkahnya terhenti ketika melihat setelan hitam rapi tergeletak di atas ranjang—lengkap dengan dasi, kaus kaki, bahkan... pakaian dalam pun ikut tertata.

Arash mendesis, merasakan panas naik ke kepala. “Aku sudah bilang padanya untuk tidak menyentuh barangku.” rahangnya mengencang. Meski begitu, ia tetap meraih pakaian itu dan mengenakannya.

Setelah menyisir rambut dan menyemprotkan parfum, ia menuju dapur bersiap memarahi Ava karena mengabaikan ucapannya. Namun dapur kosong. Ruang tamu pun sama sunyinya.

Arash mengernyit bingung sebelum akhirnya membuka kulkas dan mengambil susu dingin. Ketika ia menoleh ke meja makan, sesuatu menarik perhatiannya: sepiring roti panggang dengan alpukat dan telur, tersusun rapi. Di samping piring itu, secarik kertas terlipat rapi.

Arash meraih kertas itu dan membuka lipatannya.

Bi Ana hari ini tidak datang, jadi aku menyiapkan sarapan untukmu. Maaf aku tidak bisa menemanimu sarapan karena aku buru-buru.

Arash menatap tulisan itu lama—bukan karena terharu, tapi karena bentuk hurufnya benar-benar berantakan. “Jelek sekali tulisannya,” gumamnya sebelum meremas kertas itu dan melemparkannya ke tempat sampah.

Namun ia tetap duduk. Tetap mengambil roti itu. Dan tanpa sadar, tetap memakannya.

.

.

.

.

.

.

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!