NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Bab 18

Malam itu desa diselimuti sepi. Angin hanya sesekali berhembus melewati celah bambu, menimbulkan suara lirih seperti bisikan halus. Di rumah panggung Nek Wan, suasana terasa begitu berat. Yasmin duduk di tepi ranjang kayu, menunduk, jemarinya meremas ujung selendang lusuh yang selalu dipakainya sejak ayahnya meninggal.

Hari-hari belakangan terlalu melelahkan baginya. Sejak kejadian di balai desa, gosip semakin membakar. Orang-orang bukan hanya membicarakan, tetapi juga menunjuk langsung. Setiap kali ia melangkah ke pasar, selalu ada mata yang mengikuti, ada bibir yang berbisik.

“Lihat, itu Yasmin…” bisik seorang perempuan dengan nada sinis.

“Kasihan Nek Wan, cucunya keras kepala begitu…” ujar yang lain dengan nada mencibir.

Bisikan itu melekat di telinga Yasmin seperti paku karat. Tak peduli seberapa keras ia menunduk, kata-kata itu terus menusuk. Dan kini, di dalam rumahnya sendiri, ia merasa seperti seorang tawanan yang terikat oleh gosip.

Nek Wan duduk di kursi goyang di sudut ruangan. Matanya menatap cucunya yang terdiam. Ada keriput dalam di wajahnya, tapi sorot matanya masih menyimpan keteguhan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bicara.

“Min, mari duduk dekat nenek,” ucap Nek Wan lirih dengan nada lembut.

Yasmin mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, pipinya basah karena air mata yang tak pernah kering sejak siang tadi. Ia berpindah, duduk di samping Nek Wan, namun tetap menunduk.

Nek Wan mengelus pundak cucunya. “Kau tahu, sejak kecil kau selalu jadi cahaya untuk nenek. Tapi belakangan ini… hatiku merasa semakin berat melihatmu,” ucapnya lirih dengan nada getir.

Yasmin terisak kecil. “Nek… aku hanya ingin bahagia. Apa salahku, Nek, kalau aku mencintai Ziyad?” ucapnya pelan dengan nada penuh luka.

Nek Wan menutup mata sejenak, lalu menatapnya lagi. “Cinta memang tak pernah salah, Min. Yang salah adalah ketika cinta membawa lebih banyak luka daripada bahagia. Kau lihat sendiri bagaimana desa memperlakukanmu. Kau lihat sendiri bagaimana Ridho melindungimu, dan bagaimana Ziyad menanggung caci maki. Semua ini bukan hal ringan, Min,” ucapnya pelan dengan nada penuh beban.

Yasmin menggeleng cepat, air matanya kembali jatuh. “Tapi aku tidak bisa, Nek. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Aku sudah mencoba. Setiap kali aku menutup mata, aku hanya melihat Ziyad. Setiap kali aku berdoa, aku berharap Allah masih mengizinkan aku bersamanya. Aku… aku lelah menolak hatiku sendiri,” ucapnya lirih dengan nada tersedu.

Nek Wan menggenggam tangan Yasmin erat. “Nenek tahu kau mencintainya. Tapi ingatlah, Min, cinta itu bukan hanya tentang kau dan dia. Cinta juga tentang keluarga, tentang kehormatan, tentang masa depan. Bagaimana kau akan hidup bila setiap hari orang mencaci? Bagaimana kau akan membesarkan anak-anakmu bila selalu disebut cucu pembunuh? Apa hatimu cukup kuat menanggung semua itu?” ucapnya tegas dengan nada menekan.

Yasmin terdiam. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan tentang masa depan yang digambarkan neneknya terasa menakutkan. Ia bisa membayangkan anak-anaknya diejek, rumah tangganya selalu dipenuhi bisik-bisik.

“Tapi Nek… aku juga takut kehilangan dia. Ziyad adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti perasaanku setelah ayah tiada. Dia hadir ketika aku hampir menyerah. Kalau aku kehilangan dia… apa yang tersisa dariku?” ucapnya lirih dengan nada putus asa.

Air mata Nek Wan jatuh, meski ia berusaha menahannya. “Min, dengarkan aku. Nenek sudah tua. Hidup nenek tinggal sebentar. Yang nenek inginkan hanya satu: melihatmu bahagia tanpa beban. Ridho mungkin bukan pilihan hatimu, tapi dia bisa jadi pelindungmu. Ziyad… dia terlalu banyak membawa bayangan masa lalu,” ucapnya parau dengan nada pilu.

Yasmin menangis semakin keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa dunia begitu kejam padaku, Nek? Kenapa aku tidak boleh bahagia dengan pilihanku sendiri?” ucapnya tersedu dengan nada perih.

Nek Wan memeluk cucunya erat-erat. “Bukan dunia yang melarangmu, Min. Kadang takdir memang menutup satu jalan, meski kita sudah jatuh cinta pada jalan itu. Kau masih bisa bahagia, asal kau mau membuka hati. Percayalah, Allah tak akan menutup semua pintu untukmu,” ucapnya lembut dengan nada penuh kasih.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara tangisan Yasmin yang sesekali pecah.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Yasmin dan Nek Wan saling berpandangan. Dengan langkah berat, Yasmin bangkit dan membuka pintu. Di luar, berdiri seorang pemuda yang begitu dikenalnya.

Ziyad.

Wajahnya letih, matanya sembab seperti kurang tidur. Ia berdiri dalam rintik hujan malam, tangannya gemetar menahan dingin.

“Yasmin…” ucap Ziyad lirih dengan nada getir.

Yasmin terkejut, hatinya bergetar. Ia ingin segera meraih lelaki itu, namun bayangan wajah Nek Wan di belakangnya membuat langkahnya tertahan.

Nek Wan bangkit, berdiri dengan tegap meski tubuhnya renta. “Ziyad, kau pulanglah. Malam ini bukan waktu yang tepat. Yasmin butuh tenang, bukan semakin gelisah,” ucapnya tegas dengan nada menolak.

Ziyad menunduk, suaranya bergetar. “Nek Wan… saya mohon. Izinkan saya bicara sebentar dengan Yasmin. Hanya sebentar. Saya tidak kuat lagi menanggung semua caci maki tanpa bisa menatap matanya,” ucapnya lirih dengan nada memohon.

Nek Wan menggeleng, wajahnya keras. “Kalau kau benar mencintainya, beri dia ruang untuk bernapas. Kau sudah tahu akibat dari semua ini, Ziyad. Kau sudah melihat bagaimana desa menekan kami. Jangan tambah luka cucuku,” ucapnya tajam dengan nada menahan amarah.

Ziyad terdiam. Air hujan bercampur dengan air matanya yang menetes. Ia menatap Yasmin dengan sorot mata yang begitu dalam.

“Min… percayalah, aku tidak akan menyerah. Meski seluruh dunia melawan, cintaku padamu tidak akan padam. Aku hanya butuh kau percaya, walau sedikit saja,” ucapnya lirih dengan nada pilu.

Yasmin menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis agar tidak pecah di depan lelaki itu. Ia hanya mampu mengangguk kecil, meski hatinya berteriak ingin memeluk.

Nek Wan melangkah ke depan, menutup pintu perlahan. “Pulanglah, Ziyad. Jangan buat cucuku semakin hancur,” ucapnya dingin dengan nada tegas.

Pintu pun tertutup.

Yasmin jatuh terduduk di lantai, menangis sejadi-jadinya. “Nek… aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup kalau harus memilih,” ucapnya parau dengan nada putus asa.

Nek Wan berjongkok, merangkul cucunya yang menggigil. “Kau tidak sendirian, Min. Ada nenek di sampingmu. Tapi tolong, jangan biarkan dirimu hancur hanya karena satu cinta. Kau lebih berharga dari itu,” ucapnya lirih dengan nada penuh kasih.

Malam itu, rumah kecil mereka dipenuhi tangisan dan doa yang menggantung. Yasmin tahu cintanya masih menyala, tapi juga sadar beban yang harus ditanggung makin berat. Dan di luar sana, Ziyad berjalan pulang dengan langkah gontai, menahan luka yang terus menganga.

***

Pagi berikutnya, matahari belum tinggi ketika Yasmin terbangun dengan mata sembab. Semalaman ia menangis di pelukan Nek Wan, sampai akhirnya tertidur karena kelelahan. Begitu membuka mata, kepalanya terasa berat, seperti menanggung beban yang tidak pernah bisa ia lepaskan.

Dari dapur, terdengar suara dentingan panci dan sendok. Yasmin melangkah pelan, mendapati Nek Wan sedang menyiapkan bubur sederhana. Nenek itu tampak lebih letih dari biasanya, garis lelah terpahat jelas di wajahnya.

“Nek, biar aku saja yang masak,” ucap Yasmin lirih dengan nada sungkan.

Nek Wan tersenyum tipis. “Tidak usah, Min. Nenek sudah terbiasa. Kau duduk saja, makanlah, kau butuh tenaga,” ucapnya lembut dengan nada penuh kasih.

Yasmin duduk, tapi pandangannya kosong. Sendok di tangannya hanya diaduk tanpa benar-benar menyentuh makanan. Hatinya masih terikat pada wajah Ziyad semalam, pada sorot mata lelaki itu yang penuh luka.

Nek Wan memperhatikannya. “Min, kau masih memikirkan Ziyad, ya?” ucapnya pelan dengan nada memahami.

Air mata Yasmin kembali menggenang. “Aku tidak bisa menghapus wajahnya dari pikiranku, Nek. Setiap kali aku mencoba melupakan, justru rasa itu semakin kuat. Aku tahu aku salah, tapi hatiku tidak mau diajak berkompromi,” ucapnya lirih dengan nada getir.

Nek Wan menghela napas panjang, menaruh sendok di atas meja. “Cinta memang seperti itu, Min. Ia bisa membuatmu merasa hidup sekaligus mati dalam waktu yang sama. Tapi ingatlah, hidup ini tidak hanya tentang perasaanmu. Ada masa depan yang harus kau jaga,” ucapnya tenang dengan nada menasihati.

Yasmin menggenggam sendoknya erat. “Aku tahu, Nek… tapi setiap orang memaksaku untuk memilih jalan yang tidak aku inginkan. Aku merasa seperti boneka yang ditarik ke sana ke mari. Kenapa aku tidak bisa punya hak atas kebahagiaanku sendiri?” ucapnya parau dengan nada memberontak.

Nek Wan menatapnya lekat-lekat. “Karena kau hidup di tengah masyarakat, Min. Kehidupan kita bukan hanya milik pribadi. Apa yang kita lakukan akan selalu jadi sorotan. Nenek tidak ingin melihatmu hidup dalam cercaan sepanjang umur,” ucapnya tegas dengan nada menekan.

Yasmin menunduk, air matanya menetes ke bubur yang sudah dingin.

***

Siang itu, ketika Yasmin keluar untuk mengambil air di sumur, ia kembali merasakan tatapan tajam dari beberapa ibu-ibu yang lewat.

“Itu dia, masih berani keluar rumah…” bisik seorang ibu dengan nada sinis.

“Kasihan Nek Wan. Harus menanggung malu di usia tuanya,” ujar yang lain dengan nada getir.

Yasmin meremas ember di tangannya. Ia ingin menjerit, ingin mengatakan bahwa dirinya hanya manusia biasa yang berhak mencintai. Tapi lidahnya kelu, dan air matanya kembali jatuh sebelum sempat ia angkat timba dari dalam sumur.

Saat itulah Ridho muncul, membawa karung beras di pundaknya. Melihat Yasmin, ia segera mendekat.

“Biar aku saja yang angkat airnya, Yasmin. Kau tidak usah repot,” ucapnya ramah dengan nada ringan.

Yasmin tergagap, hatinya campur aduk. “Tidak usah, Ridho. Aku bisa sendiri,” ucapnya cepat dengan nada canggung.

Ridho tetap tersenyum, lalu menurunkan karung berasnya. “Aku hanya ingin membantu. Aku tidak suka melihatmu dipandang rendah. Kau pantas mendapat perlakuan baik,” ucapnya tulus dengan nada lembut.

Tatapan itu membuat Yasmin semakin bingung. Hatinya bergejolak antara rasa terima kasih dan rasa bersalah.

“Aku… aku menghargai niatmu, Ridho. Tapi aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja,” ucapnya pelan dengan nada gelisah.

Ridho menatapnya serius. “Aku tahu hatimu masih bersama Ziyad. Tapi kau harus melihat kenyataan, Min. Kau berhak bahagia tanpa harus menanggung beban masa lalu. Kalau kau memberiku kesempatan, aku akan menjaga hatimu dengan sepenuh jiwa,” ucapnya tegas dengan nada berjanji.

Yasmin menelan ludah, tak mampu menjawab. Ia hanya menunduk, memeluk ember kosong di dadanya.

***

Sore menjelang, Ziyad memberanikan diri datang kembali. Ia berdiri agak jauh dari rumah Nek Wan, menunggu. Dari kejauhan ia melihat Yasmin yang baru pulang dari sumur, berjalan dengan langkah lesu.

“Yasmin…” ucapnya lirih dengan nada rindu.

Yasmin menoleh, tubuhnya langsung kaku. “Ziyad… kenapa kau datang lagi? Nek bisa marah kalau tahu,” ucapnya panik dengan nada cemas.

Ziyad mendekat perlahan, wajahnya penuh duka. “Aku tidak bisa menjauh. Aku sudah mencoba, tapi rasanya seperti tercekik. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” ucapnya lirih dengan nada penuh kasih.

Air mata Yasmin jatuh lagi, ia menggenggam erat ember di tangannya. “Aku tidak baik-baik saja, Ziyad. Aku merasa hancur setiap hari. Tapi aku juga tidak bisa memintamu terus datang. Aku takut semakin banyak yang membenci kita,” ucapnya tersedu dengan nada perih.

Ziyad mendekat, hampir menyentuh tangannya. “Biarlah aku yang dibenci, Min. Asal kau tidak merasa sendirian, aku rela menanggung semuanya,” ucapnya tegas dengan nada mantap.

Tiba-tiba suara batuk keras terdengar dari beranda. Nek Wan berdiri di sana, wajahnya kaku. “Ziyad! Sudah nenek bilang, jangan datang lagi. Kau hanya membuat cucuku semakin tertekan,” ucapnya keras dengan nada menolak.

Ziyad terdiam, menatap Yasmin dengan tatapan yang penuh luka. “Aku akan pergi, Nek. Tapi percayalah, hatiku tidak pernah berpaling dari Yasmin,” ucapnya lirih dengan nada getir.

Ia lalu melangkah mundur, pergi dengan langkah berat. Yasmin hanya bisa menangis, tubuhnya melemah.

Nek Wan turun dari beranda, memegang pundak cucunya. “Kau lihat, Min? Dia tidak bisa memberimu apa pun selain air mata. Nenek tidak tega melihatmu terus menderita begini,” ucapnya parau dengan nada pilu.

Yasmin menutup wajahnya, terisak semakin keras. “Tapi Nek… aku tidak bisa berhenti mencintainya,” ucapnya lirih dengan nada putus asa.

Malam itu, Yasmin berdoa panjang di kamarnya. Suaranya lirih, air matanya tak berhenti jatuh ke sajadah.

“Ya Allah… aku tidak tahu jalan mana yang harus kupilih. Hatiku terbelah. Jika aku mengikuti cintaku, aku melukai nenekku. Jika aku mengikuti nenek, hatiku sendiri yang binasa. Tunjukkan jalan-Mu, Ya Allah,” ucapnya parau dengan nada merintih.

Di luar, angin malam berhembus, membawa doa itu ke langit yang sunyi.

***

Sementara itu, di rumahnya, Ziyad menatap langit yang sama. Di tangannya ada foto lama Aulia, tunangan yang ia kehilangan malam tragedi itu. Ia menutup mata, air matanya menetes.

“Aku sudah kehilanganmu, Aulia. Tapi kenapa hatiku tak bisa melepaskan Yasmin? Apakah aku egois kalau aku masih berjuang untuknya?” ucapnya lirih dengan nada getir.

Dan jauh di tempat lain, Ridho duduk di tepi sawah, menatap purnama yang perlahan naik. “Aku akan menjaga Yasmin, meski harus melawan takdir. Aku tidak akan menyerah,” ucapnya pelan dengan nada bertekad.

Tiga hati kembali berserakan di malam yang sama, mencari jawaban yang tak kunjung tiba.

Bersambung.

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!