NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17

Aku tahu, setelah kepergianku akan ada banyak hal yang berubah: urusan perusahaan, keluarga, dan masa depan Amira. Aku tidak khawatir tentang harta atau bisnis—semua itu bisa dicari dan dibangun lagi. Yang membuatku berat melepaskan dunia ini adalah Amira.

Hendra, aku memintamu dengan tulus, jagalah Amira sebagaimana kau menjaga anakmu sendiri. Ia keras kepala, mudah terluka, tetapi ia memiliki hati yang lembut dan sering menyimpan lukanya sendiri. Ia butuh seseorang yang mampu membimbing, menuntun, dan menahannya agar tidak tersesat oleh emosinya.

Kau mengenal Angga sejak kecil. Aku melihat dalam dirinya sosok yang bisa menjaga dan melindungi Amira saat aku tak lagi di sisinya. Bukan hanya karena Angga putramu, tetapi karena aku percaya ia memiliki jiwa yang kuat dan hati yang tidak mudah goyah.

Itulah sebabnya aku meminta kau dan keluargamu untuk menyatukan Amira dengan Angga. Aku tahu mungkin mereka berdua tidak akan langsung menerimanya, mungkin mereka akan marah atau menolak. Namun kumohon, jangan lepaskan tangan mereka sampai mereka mau mencoba saling memahami.

Jika suatu saat keputusan ini membuatmu merasa berat, ingatlah: ini bukan untukku, melainkan untuk masa depan Amira. Aku menitipkan bukan hanya anakku, tapi juga seluruh harapanku padanya—kepada kalian.

Terima kasih, sahabatku. Semoga Tuhan menjaga kalian semua dan memberiku kedamaian karena tahu Amira berada di tangan yang tepat.

Sahabatmu,

Renaldi

"Saya terima nikahnya Amira binti Renaldi dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dan cincin emas dibayar tunai.” Ucap Angga di depan penghulu, Hendra, dan warga sekitar yang menjadi saksi atas pernikahannya bersama Amira.

Tanpa pesta, tanpa dekorasi, bahkan baju pengantin yang nampak begitu sederhana, semua saksi mengucapkan kata sah secara bersamaan dan penuh khidmat.

Amira duduk sambil menahan air matanya yang menggenang di samping Angga, yang kini telah sah menjadi suaminya. Mengenakan kebaya putih polos yang ia kenakan tampak jatuh anggun mengikuti lekuk bahunya yang kecil. Tidak ada kilau payet, hanya renda tipis di ujung lengan yang sudah sedikit kusut karena genggaman jemarinya yang gelisah.

Di sampingnya, Angga duduk tegak, diam dengan kemeja putih yang disetrika rapi dan celana hitam sederhana. Jas dan dasi kantor yang dikenakannya kemarin kerja—hanya seorang lelaki dengan wajah dingin namun tampak sedikit tegang di ujung mata. Ia tidak menoleh, tetapi tangannya yang bertumpu di atas lutut terlihat menggenggam dengan erat, seolah sedang menahan sesuatu di dadanya.

Amira mengangkat wajahnya sesaat, sekadar melirik Angga di sampingnya. Tatapan itu hanya sepersekian detik sebelum matanya kembali tertunduk. Air matanya jatuh lagi, membasahi kebaya putihnya yang dingin di kulit. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia nanti itu bersama Satria, kini terasa bagai luka yang baru disulam dengan janji yang tak diucap, namun sudah terpatri di hati oleh seseorang asing yang bahkan tak pernah sempat ia taruh sedikitpun perasaan disana.

Bagaimana kalau Satria mengetahui ini semua? Pikirnya. Ketakutan itulah yang sejak awal membuat dadanya sesak. Ia tahu berita ini cepat atau lambat akan sampai ke telinga Satria, dan ketika itu terjadi, semua akan berbeda.

Amira menggigit bibirnya sendiri. Pernikahan ini tak pernah ada dalam bayangannya tentang masa depan. Semua terlalu mendadak, terlalu jauh dari mimpi yang dulu ia simpan diam-diam. Ia pernah mengira hari bahagianya akan diwarnai senyum orang-orang yang ia sayangi, dan di sampingnya akan ada Satria yang menggenggam tangannya. Namun kenyataannya, kini ia duduk di samping Angga—lelaki yang wajahnya dingin dan hampir tak pernah ia mengerti.

Ia menahan napas, berharap waktu berhenti sejenak agar Satria tak pernah mendengar kabar ini. Ia takut Satria marah, atau lebih parah lagi… terluka.

Tatapannya kembali tertuju ke lantai, jemarinya meremas ujung kebayanya yang berenda. Ia merasa seperti ditarik jauh dari masa depan yang ia harapkan dan dilempar ke kenyataan yang tak pernah ia pilih.

Di sampingnya, Angga tetap diam, duduk tegak dengan kemeja putihnya yang kaku. Tidak ada kata yang terucap, namun bayangan tanggung jawab besar terpantul di wajahnya.

Bagi orang lain, mungkin ini hanya pernikahan yang terjadi karena keadaan, seolah kecelakaan takdir yang tak terduga. Namun bagi Amira, ia tahu persis bahwa ini adalah keinginan terakhir sang Ayah. Amanah yang tak pernah ia bayangkan harus ia jalani secepat ini.

Ia menunduk, mengingat kembali surat ayahnya yang dititipkan sebelum kepergian. Kata-kata itu bergaung lagi di benaknya—tentang harapan agar Angga yang menjaga dan menuntun langkahnya saat sang Ayah sudah tiada.

Amira menahan napas. Ia tidak ingin mengecewakan keinginan terakhir ayahnya. Itu saja yang membuatnya mampu bertahan duduk di samping lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia masih merasa seolah sedang menapaki jalan yang bukan pilihannya sendiri. Ada bayangan masa depan yang dulu ia impikan, yang perlahan runtuh di hari ini juga.

"Selamat ya, Amira." Kata Hendra mengejutkan. "Om senang kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kami."

Amira hanya mampu menoleh perlahan. Senyum kecil mencoba ia bentuk di sudut bibirnya, namun tidak sampai benar-benar mekar. Tatapannya masih menyimpan sisa air mata yang belum kering.

Hendra menatapnya dengan hangat. Wajahnya yang tadi tampak kaku saat akad, kini terlihat lebih tenang. Ada sorot lega di matanya, seolah beban yang ia pikul akhirnya sedikit terangkat.

“Om tahu ini tidak mudah untukmu,” Lanjut Hendra pelan. “Tapi percayalah… ini juga yang diinginkan Ayahmu. Dan Om akan selalu berusaha menjagamu seperti anak sendiri.”

Kata-kata itu menembus hati Amira, membuat dadanya kembali berdesir. Ia menunduk, berusaha menahan air mata yang hendak pecah lagi. “Terima kasih, Om…” Ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.

Angga yang duduk di sampingnya hanya melirik singkat tanpa berkata apa-apa. Sorot matanya sulit ditebak, antara dingin dan berat, seolah ia juga menyadari betapa canggungnya momen itu bagi Amira.

Hening sejenak memenuhi ruangan. Hanya terdengar suara napas yang ditahan dan derik kursi kayu yang disentuh jemari Hendra.

Tiba-tiba, ponsel Angga bergetar di saku celananya—bunyi nada dering sederhana yang selama ini tak pernah terlalu menarik perhatiannya. Tapi saat layar menampilkan nama “Mama”, Jantungnya ikut berdetak lebih cepat.

"Siapa, Angga?" Kata Hendra.

"Mama."

"Bilang sebentar lagi kamu pulang. Jangan beri tahu soal ini dulu ke Mama."

Angga hanya berpaling lalu beranjak dari kursi. Sedangkan, Amira sempat menoleh, sekadar melirik ke arahnya, namun tidak berani bertanya. Ada sesuatu pada wajah Angga yang membuatnya memilih diam.

Angga melangkah berat namun mantap, meninggalkan ruangan menuju teras rumah. "Halo, Ma?"

Dari sela pintu yang terbuka sedikit, terlihat punggung Angga berdiri di teras, menempelkan ponsel ke telinganya. Suaranya rendah dan tidak jelas terdengar ke dalam, hanya beberapa potongan kata yang hilang tertelan angin.

"Angga, kamu baik-baik aja? Kenapa kamu belum pulang? Katanya sepuluh lima belas menit lagi kamu pulang. Ini udah hampir mau sore. Gimana, si?"

"Iya, Ma. Bentar lagi aku pulang."

"Gak terjadi apa-apa kan dengan kamu? Perasaan Mama dari tadi gak enak lho, ngga."

"Engga, Ma. Aku siap-siap pulang dulu ya, Ma."

"Siap-siap? Bukannya kamu bilang tadi lagi di jalan?"

Tuuuuut.

Angga mematikan ponselnya secara sepihak. Tangannya menurunkan ponsel itu perlahan, genggamannya masih kaku dan gemetar. Ia masih tidak percaya atas apa yang terjadi padanya hari ini. Ia seperti berhasil menelan pisau ketika mengucapkan sebuah janji kepada seseorang yang kini telah sah menjadi istrinya. Seorang wanita yang harus ia jaga dengan penuh rasa tanggungjawab. Amira. Sosok asing. Sosok yang tak pernah ia cintai sebelumnya.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!