NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semakin Canggung

Emily langsung menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa salah tingkah yang sulit ia sembunyikan, terlebih panggilan sayang itu terasa begitu natural di telinganya.

Haidar tersenyum tipis, lalu melirik jam di dinding. "Kita salat berjamaah," ajaknya santai, seakan tak menyadari kegugupan istri bocilnya.

"O-oke!" sahut Emily cepat, langsung bangkit dan bergegas masuk ke kamar mandi, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Pagi itu, mereka salat berjamaah untuk memulai komitmen pernikahan yang kini mereka jalani dengan keseriusan—meski rasa canggung masih kerap menyelip di antaranya.

Usai salam terakhir, Haidar tetap duduk di sejadahnya, sementara Emily merapikan posisi duduk di sampingnya. Hening sesaat, hanya suara napas mereka yang terdengar.

"Terima kasih, Sayang," ucap Haidar pelan, menoleh menatap Emily.

Emily berkedip bingung. "Untuk apa?"

"Untuk mau menjalani ini bersamaku," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Aku tahu ini nggak mudah, apalagi… kita berdua sama-sama masih beradaptasi."

Pipi Emily memanas. Ia menunduk, memainkan ujung mukenanya. "Aku juga mau berterima kasih… karena kamu serius."

Ada jeda, dan mata mereka saling bertemu. Tatapan itu cukup membuat Emily ingin buru-buru mengalihkan pandangan, tapi Haidar lebih dulu berkata, suaranya tenang tapi dalam, "Aku janji nggak akan main-main sama kamu."

Emily mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya, janji itu terasa seperti jangkar yang menenangkan.

Rasa canggung semakin terlihat diantara keduanya. Emily mulai melipat mukenanya, berusaha fokus, tapi ekor matanya menangkap Haidar yang masih memperhatikannya.

"Kenapa liatin aku kayak gitu?" tanyanya, pura-pura cuek.

Haidar tersenyum miring. "Nggak boleh liat istri sendiri?"

Emily langsung menunduk, pura-pura sibuk merapikan sejadah. "Ya… boleh sih," gumamnya pelan.

Haidar maju sedikit, jarak mereka hanya beberapa jengkal. "Sayang…" panggilnya lagi, kali ini suaranya dibuat lebih lembut.

Emily menelan ludah. "I-iya?"

"Kalau setiap kali aku panggil ‘sayang’ kamu selalu kaku gitu, lama-lama aku bisa ketagihan g0dain kamu," ucapnya sambil terkekeh.

Emily spontan memukul lengannya pelan. "Ih, kok gitu?"

Haidar tertawa, lalu berdiri. "Ayo sarapan. Tapi… kamu harus siap, karena aku bakal sering panggil kamu ‘sayang’ mulai sekarang."

Emily hanya menggeleng sambil tersenyum malu, tapi dalam hati, ia merasa hangat dengan perhatian Haidar.

Emily menaruh mukenanya di atas lemari pendek yang sudah tersedia di kamarnya. Begitu juga dengan Haidar. Ia mengikuti kemana Emily berjalan sampai akhirnya keduanya bertabrakan saat Emily berbalik.

Beruntung tangan Haidar bergerak cepat, menahan Emily supaya tidak jatuh ke lantai. Sesaat tatapan keduanya bertemu, mengunci satu sama lain. "Astagfirullah..." Emily menggelengkan kepalanya kemudian ia bangun dan berdiri tegak.

"Bapak ini sengaja banget, ya?" kesal Emily, ia mengerucutkan bibirnya.

"Mumpung libur," jawabnya enteng.

"Hah?" mulut Emily menganga.

"Kalau hari kerja kita bertemunya sebentar. Manfaatkan waktu yang ada untuk semakin dekat."

"Tapi gak ngikutin kemana aku melangkah juga, Bapak..."

Cup!

Haidar mengecup singkat bibir Emily. "Panggil bapak lgi, satu jam."

Bugh!

"Yang benar saja!" Emily merasa Haidar berlebihan.

"Manis, aku candv." jawab Haidar.

Emily kembali terbelalak, mulutnya menganga. Pikirannya melayang jauh. Dia membayangkan Haidar yang melahap bibirnya dengan... "Aaaa!" Emily memekik kemudian berlari keluar kamar.

Haidar mengikutinya dari belakang sampai akhirnya keduanya tiba di meja makan.

***

Di meja makan, aroma teh hangat dan roti bakar memenuhi ruangan. Emily duduk sambil menatap piringnya, berusaha menenangkan detak jantung yang masih belum stabil sejak dipanggil "sayang" berkali-kali dan semua yang terjadi sebelumnya.

Teh itu sudah tersaji di meja, mungkin bibi yang membuatnya.

Haidar duduk di seberangnya, menuangkan teh untuk Emily. "Minum yang hangat biar nggak gugup," ucapnya sambil menatap penuh arti.

Emily langsung meneguk tehnya. "Siapa bilang aku gugup?"

Haidar mengangkat alis. "Oh, jadi muka kamu yang merah itu karena kepanasan?"

Emily pura-pura memotong roti dengan serius, menghindari tatapannya. "Iya, panas."

Haidar terkekeh. "Oke, kalau gitu aku bakal bikin kamu panas tiap hari."

Emily nyaris tersedak. "Bapak!" protesnya sambil melotot kecil.

"Kenapa?" tanyanya polos, tapi senyumnya jelas-jelas mengg0da.

Emily tidak menjawab lagi, dia langsung memakan roti panggang yang sudah tersedia di piring.

Sarapan itu berlangsung dengan sedikit canggung, tapi juga dipenuhi gurauan kecil yang membuat Emily mulai terbiasa dengan kehadiran suaminya—dan panggilan sayang yang masih membuat pipinya memanas.

***

Sementara itu, di tempat lain.

"Kak, lo harus tanggung jawab." ucap Disa pelan. Keduanya sedang berada di jalan.

"Disa... itu mau lo, kan?" tanyanya, tidak ingin disalahkan.

"Ya, tapi kita sama-sama mau." Disa tidak mau kalah.

"Tanggung jawab bagaimana, Disa? Lo aja masih sekolah. Lo lakukan apa yang sudah gue katakan dari kemarin."

"Hmm... gue takut..."

"Gak usah takut, lagian lo pakai lupa segala, kan, sudah gue bilang jangan sampai lupa."

"Iya, gue yang salah."

"Tapi lo jangan lupa perjanjian kita."

"Lo mau enaknya doang." Disa tidak terima.

"Lah... ini keinginan lo, gue juga harus mengorbankan harga diri gue. Pokoknya kita impas. Lo mau memiliki gue, kan?"

Disa mengangguk. "Gue cinta sama lo."

"Gue udah cinta dari dulu, tapi..."

"Lo lebih memilih dia..."

"Ya, gue cuma mau nyoba. Ternyata dia gak mau."

"Tapi, lo jangan pernah niggalin gue ya?"

"Nggak, gue gak akan ninggalin lo. Gak akan ada yang kayak lo."

Akhirnya perdebatan keduanya berhenti setelah mereka sampai di sebuah apatemen.

Disa menatap pintu apartemen yang menjulang di hadapannya. Nafasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena campuran rasa takut, gelisah, dan entah apa lagi. Orang di sebelahnya—yang dari tadi berdebat dengannya—memegang kunci dengan santai, seakan semua yang mereka bicarakan barusan bukan hal besar.

"Masuk," ucapnya singkat.

Disa ragu. "Kita beneran di sini?"

"Tadi lo yang minta ketemu di tempat aman." Senyumnya tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan.

Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan wangi ruangan yang asing langsung menyambut. Disa melangkah masuk, matanya menyapu setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan orang lain—atau mungkin rahasia yang disembunyikan.

"Kenapa lo diem?" tanyanya, sambil meletakkan tas di sofa.

Disa memandangnya lama. "Gue cuma... mau yakin kalau kita masih di pihak yang sama."

Dia mendekat, tatapannya dalam. "Selama lo pegang janji, gue gak akan ke mana-mana."

Tapi Disa tahu, kata-kata itu hanya setengah kebenaran. Bisa saja orang itu menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

***

Disa menyandarkan punggung di sofa, kedua tangannya bersilang di dada. “Kalau emang ada yang lo sembunyiin, bilang sekarang. Gue benci setengah mati ditebak-tebak.”

Laki-laki itu menyerahkan segelas air padanya. “Minum dulu.”

“Jawab,” potong Disa dingin.

Lelaki itu menatapnya lekat, matanya menyiratkan dilema. “Kalau gue cerita, gue nggak yakin lo siap nerimanya.”

Disa mengangkat dagu. “Gue udah cukup kuat buat hadapin lo, apalagi cuma omongan.”

Senyum tipis melintas di wajah lelaki itu, tapi cepat menghilang. Ia duduk di kursi seberang, mengetuk jari di meja. “Gue ngatur lo bukan karena gue sok pahlawan, Dis… tapi karena ada orang yang nggak akan pernah gue maafin kalau sesuatu terjadi sama lo.”

“Siapa?” Disa mendesak.

“Lo nggak perlu tahu sekarang,” jawab lelaki itu sambil berdiri, beranjak ke balkon.

Disa menatap punggungnya yang membelakangi. Ada keinginan untuk bangkit dan memaksa laki-laki itu bicara, tapi ada juga rasa takut kalau jawaban yang keluar justru mengubah segalanya.

Dia menatap sesuatu yang ia keluarkan dari saku jaketnya. "Apa gue ikuti kemauan dia, ya?"

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!